[]
"Mau bawa gue ke mana?" Tasya melirik Gilbast dari balik kaca spion. Sepasang mata itu menatap balik padanya. Melihat dengan sebuah senyuman, Tasya yakin itu. Menilik dari matanya yang menyipit dan kerutan di kedua sudut matanya.
"Jangan senyum aja! Awas kalau lo berani macem-macem sama gue. Abis lo." Tasya berusaha mengancam untuk menyembunyikan getar kegugupan yang melanda. Gadis itu sedikit merasa senang berada di samping Gilbast.
"Kamu nggak perlu takut, cukup percaya aja. Itu udah lebih dari cukup." Gadis itu tidak tahu harus berkata apa, tapi jujur dia merasa aliran darah naik dan merambat pada kedua pipinya. Salah satu bagian tubuhnya itu menghangat tanpa Tasya tahu mengapa.
Tasya memilih mengalihkan perhatian pada jalanan. Melihat ada begitu banyak gedung-gedung di Jakarta. Tasya tidak terlalu banyak keluar rumah, dan dia tidak lahir di sana. Dia lumayan banyak asing dengan Jakarta.
"Kenapa muka kamu kayak pendatang baru di sini?" Suara Gilbast tenang saat melewati telinga Tasya. Motor tengah berhenti pada lampu merah ketiga mereka.
Gadis itu masih memandang ke arah sekitar. Udaranya terasa mulai memanas saat matahari bergerak menuju titik tertinggi. "Aku jarang lewat daerah sini. Bahkan mungkin gak pernah."
"Kamu gak lahir di sini?" Lampu merah tinggal lima detik lagi, Gilbast bersiap pada pegangan motornya.
"Ya." Jawaban singkat dari Tasya mengawali keberangkatan mereka sekali lagi.
[ᆢᆢᆢ]
Pukul satu lewat tiga menit, tengah hari, mereka berhenti pada pom bensin. Entah sejauh apa dan berapa lama perjalanan yang akan mereka lewati, Tasya hanya berasumsi dan berandai-andai.
"Sejauh apa sebenarnya lo mau bawa gue?" Tasya kembali bertanya.
"Pernah dengar nama Kampung Warna-Warni gak?"
"Ha? Lo mau bawa gue ke kampung itu? In midday, what so crazy boy." Tasya memutar bola matanya. Menatap sebal ke arah Gilbast yang hanya terkekeh. "Seriously Gi, I don't like to see my skin become a dark."
"Yes, I'm. Tapi Na, aku nggak bawa kamu ke tempat itu di tengah hari untuk buat kamu jadi hitam. Aku seratus persen percaya kamu akan takjub dengan kampung ini. You must see that, promise you'll be happy." Gilbast mematikan motor, membuatku turun dan berdiri di sampingnya. Menunggu antrian hingga sampai di depan petugas pom.
"I don't believe that." Tasya membuka tutup helm. Turun dan berdiri di samping kanan.
"Just trust me, this's good."
Tasya hanya menghembus napas lelah. Dia tidak mau berdebat dengan cowok itu. Tasya tahu Gilbast bukan orang yang akan mau mendengarkan saran orang lain. Dia itu keras kepala, sangat-sangat keras kepala.
"Masih jauh?"
Gilbast tersenyum, "Deket lagi. Lima sampai sepuluh menit lagi. Sabar ok?"
"Always."
Pada akhirnya mereka melanjutkan perjalanan. Sekitar sepuluh menit kemudian, Gilbast kembali menghentikan motornya. Menyuruh Tasya untuk turun dan melihat sekililing. Gadis itu masih memandang datar dan setengah kesal.
"Gimana? Udah ngerasa lebih baik?"
Tasya menatap Gilbast dengan pandangan masih kesal. Gadis itu masih tidak bisa melihat di mana letak faedah dari tempat itu untuk pikiran dan hatinya. Tapi Tasya tahu, senyuman Gilbast cukup untuk membuat hatinya lebih baik.
"Masih kesel tapi dikit," ketus Tasya dan menyerahkan helmnya.
Lengkungan bahagia pada bibir Gilbast semakin naik. Cowok itu senang saat melihat Tasya senang. Rasanya seperti dia bisa merengkuh bintang paling terang. "Aku tahu tempat ini pasti bikin kamu jauh lebih bahagia. Nah, ayo kita ke dalam. Ada banyak hal yang mau aku tunjukkan."
Gilbast menarik tangan Tasya. Tanpa sadar menggenggam jari-jari putih dan kecil gadis itu. Hal sederhana ini ternyata mampu membuat pipi Tasya terasa panas. Gadis itu mencoba menyembunyikan rautnya dengan melihat-lihat kampung dengan berbagai macam gaya. Gilbast mengajak gadis itu menelusuri kampung warna-warni. Berjalan melewati beberapa kelokan sebelum sampai pada sebuah rumah dengan pagar biru setinggi dada. Rumah yang bisa dibilang jauh lebih baik dari rumah-rumah yang lain.
"Yuk masuk." Gilbast membuka pagar tersebut dengan mudah.
"Eh, lo kok main masuk aja? Ini rumah orang woy! Nanti dikira maling."
Tasya diam di tempat, beberapa kali menoleh pada jalanan tanah yang sepi. Tidak ada siapapun di sana, gadis itu mulai curiga jika Gilbast memang sengaja mengajaknya kemari pada tengah hari hanya untuk menemaninya menjarah rumah orang lain.
"Pfft, maling? Nggak mungkin lah." Gilbast tertawa, lesung pipitnya terlihat dengan jelas. "Siapa juga orang bodoh yang mau maling di rumah sendiri? Kamu?"
Tasya terdiam, memproses ucapan Gilbast dengan sedikit cepat. Dan saat gadis itu menyadarinya, wajahnya berubah semerah tomat. Malu, karena salah mengira bahwa rumah ini milik orang lain, bukan milik Gilbast.
"Rese' banget sih lo! Kenapa nggak langsung bilang aja ini rumah lo." Tasya menutup wajahnya dengan kedua tangan. Sangat malu, ingin rasanya menghilang dari hadapan Gilbast sekarang dan selama-lamanya.
Masih dengan tawa yang belum mereda, Gilbast mencoba untuk menanggapi ucapan Tasya. "Maaf, maaf. Lagian kamu juga nggak nanya."
Gadis itu diam, tidak bereaksi karena masih merasa malu. Hal ini menyebabkan Gilbast menarik sebelah tangan Tasya. "Sorry ya. Aku ngetawain kamu, karena kamu lucu. Aku nggak bermaksud ngejek kamu."
"Hm, terserah." Tasya mencoba untuk tidak terpesona dengan pandangan Gilbast yang lembut dan intens padanya. Gadis itu akhirnya berjalan masuk terlebih dahulu. "Jadi ini rumah siapa?"
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Roman pour AdolescentsSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...