[]
Sebenarnya hari ini Gilbast masuk sekolah. Dia datang lima menit sebelum bel masuk berbunyi. Dia berbohong saat mengirim pesan pada temannya. Dia tahu jika yang mencarinya adalah Tasya. Dan bodohnya, dia tidak bisa bertemu dengan gadis itu. Tidak dalam waktu yang dekat ini.
"Lo kenapa dah? Ngelamun aja." Brian, sahabatnya dan orang yang tadi pagi menjadi tempat pelampiasan emosi Tasya. Menurut Gilbast dia teman yang baik. Terlalu baik hingga mau menjadi tameng bagi Gilbast.
"Gue merasa bersalah."
"Bakal panjang nih ceritanya." Brian membenarkan posisi duduknya. Membuka plastik kerupuk dan memakannya dengan rakus.
Gilbast menatap tidak percaya pada sahabat satu-satunya itu. Bisa-bisanya Brian menganggap permasalannya seperti sebuah dongeng atau sejarah yang bisa mencapai berjuta-juta kata.
"Mukul orang ngeselin, dosa nggak?"
"Gue bukan samsak. Cerita aja ngapa dah?"
Gilbast menghembus napas lelah. Sulit rasanya kalau berbicara dengan Brian. Tetapi, walaupun begitu, Brian adalah pendengar yang baik. Cowok itu tahu kapan waktu yang tepat untuk memberi saran dan kapan yang tepat untuk diam dan mendengarkan.
"Gue bawa Tasya ke dalam masalah." Tangan Gilbast menekan ujung penanya. Mencorat-coret sketchbook yang dia selalu bawa.
"Hm, masalah. Lo emang selalu bawa masalah, Beast."
Gilbast meninju lengan Brian, membuat cowok itu terhuyung. Brian mengangkat kedua tangan, tanda menyerah dan meminta maaf.
"Nama gue Gilbast bukan Beast. Dan lagi masalah ini lebih rumit dari apapun yang ada di pikiran lo. Jauh lebih rumit dari tragedi setahun kemarin." Wajahnya kembali mendung. Tangannya masih sibuk dengan sketsanya.
"Gue tau Natasya, dia nggak bakalan bawa lo ke masalah yang gila. She's not her."
"Tapi mereka udah tau Yan, tinggal tunggu waktu aja buat mereka ikut campur lagi. Dan cepat atau lambat dia juga bakalan tahu."
Brian mulai mengerti bagaimana bahaya yang mengintai Tasya. Dan akan sangat sulit bagi Gilbast untuk menjauh dari Tasya. Gadis itu jelas tidak akan pernah menyerah sebelum apa yang dia inginkan tercapai.
"Tapi gue masih yakin kalau Tasya nggak bakalan pergi dengan mudah. Lo udah bikin dia penasaran, tadi aja sampai ngumpat gitu di kelas."
Gilbast tersenyum sembari memproyeksikan bagaimana Tasya mengumpat kesal tadi pagi. "Harusnya gue di sana aja kali ya? Jarang-jarang gue lihat Tasya ngumpat. Dingin seh ke gue, tapi nggak sampai ngumpat."
"Masokis lo." Brian bergidik ngeri melihat sahabatnya itu.
"Mungkin cuma gila." Gilbast tertawa kecil. Tangannya menutup buku sketsa. Memandang ke bawah, pada Tasya yang tengah menunggu jemputan.
"Gue beneran takut, Yan. Lo tau kan, setiap gue bahagia, pasti ada kesedihan di baliknya."
"Semua orang juga gitu elah. Namanya hidup harus imbang, kalau nggak imbang bukan hidup. Kalau lo cuma mau bahagia, mending gila aja."
Gilbast menggeleng, menolak opini Brian padanya. "Something will happen, Yan. Something bad."
"Lo terlalu pesimis, Bast."
[ᆞᆞᆞ]
Nyatanya, hal yang Gilbast takutkan datang juga. Malam itu, dia harus mendengar ucapan menusuk dari kedua orang tuanya. Ucapan yang membuat Gilbast akan semakin hati-hati ke depannya. Membuat remaja laki-laki itu akan terus membuat Tasya jauh-jauh darinya. Akan terus menjaga jarak mereka dan membuat jarak itu semakin jauh.
"Ma maaf mencela, saya keberatan dengan keputusan Mama. Saya ingin hidup seperti remaja laki-laki pada umumnya. Dan jatuh cinta adalah hal biasa, tolong jangan jauhkan dia dari saya." Gilbast mencoba peruntungannya. Bersikap sopan adalah hal yang selalu mereka sukai, hal-hal semacam itu mungkin dapat membuat keduanya berpikir ulang.
"Tidak." Mamanya berkata keras. "Mama suka kamu bisa sesopan itu, tapi tidak. Mama sudah menarik poinnya, sudah ditetapkan. Jangan membuat segalanya rumit Dariel."
Gilbast menahan napas, tidak mengerti pada bagian mana dari permintaan umumnya yang membuat segalanya berubah rumit. Gilbast tidak lagi mengerti dengan jalan pikir kedua orang tuanya. Dengan sikap antipati mereka yang luar biasa pada semua gadis. Itu aneh dan menggelikan, Gilbast jelas tidak ingin seorang diri selamanya.
"Ma, saya sudah pacaran dengan dia." Gilbast menyatakan perasaannya terang-terang. Tidak peduli wajah berang Mama nya yang terlihat mengerikan.
"Putuskan! Mama tidak suka kamu berpacaran atau memiliki hubungan lain dengan gadis kotor semacam dia. Kamu sudah punya Aura! Apa yang kurang dari gadis itu?" Mama nya membanting garpu dan pisau. Meja makan malam beratmosfir berat kali ini. Sangat berat.
"Aura bukan gadis yang aku suka, Ma. Tolong mengerti, aku selalu sanggupi semua keinginan Mama. Sekali ini aja Ma, aku mau Mama dengerin aku dan kabulin permintaan aku."
"Karena itu Dariel! Kamu harus mengikuti apa kemauan Mama sampai akhir. Kamu lahir di dunia ini untuk semua itu!"
"Tapi Ma ...."
Dan begitu saja, percakapan tegang mereka berakhir dengan keputusan yang berat sebelah. Gilbast jelas tidak menyukai keputusan sepihak itu, dia tidak mau mengorbankan satu-satunya yang berharga baginya. Sedangkan Mama nya sudah pergi dengan langkah marah yang panjang, tidak lagi sudi melanjutkan makan malam mereka. Papa nya sama saja, beliau tidak membantu apapun untuk Gilbast. Sama sekali hanya diam dan menikmati makan malamnya. Membuat Gilbast gusar dan frustasi.
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...