[]
Tasya menatap butiran salju yang turun dan hinggap pada kaca mobil yang dia naiki. Tangannya terulur, menyentuh ujung kaca yang telah mendingin sejak tujuh jam lalu. Tepat pada saat dirinya keluar dari kelab malam, tempatnya memergoki pacar tercintanya tengah bercumbu dengan begitu panasnya pada meja setengah bundar.
Dia menggelengkan wajah sekilas, berusaha menghilangkan bayangan menjijikan itu dari kepalanya. Bahkan jika bisa, ia ingin menghapus selamanya dari bank memorinya. Getar pada ponsel mengalihkan pandangannya dari salju-salju itu.
Matanya menatap sekilas notifikasi yang muncul. Segera merasa tidak senang saat nama mantan sialannya yang muncul.
"Pak lebih cepat ke bandara." Tasya memberi perintah pada sopir pribadinya. Perjalanannya di New York kali ini, benar-benar membuat kenangan yang buruk.
"Emang semua cowok sama aja, kalau nggak brengsek, ya homo."
[ᆢᆢᆢ]
Tasya menghirup napas perlahan, suara gemericik terdengar mengingatkan. Pesawat yang ia tumpangi hampir masuk ke lintasan. Butuh beberapa menit untuk landing, dan para penumpang harus bersiap diri. Duduk tenang dan jangan memainkan ponsel atau benda elektronik lainnya.
Badan pesawat mendarat dengan mulus pada lintasan. Suara pilot terdengar dan para pramugari-pramugari cantik memberi senyum saat masing-masing penumpang keluar dari badan pesawat.
Tasya mengambil tas hitam miliknya, gadis itu menatap malas pada beberapa manusia-manusia berpakaian seragam jas hitam dan kacamata hitam. Padahal gadis berusia enam belas tahun itu telah berdoa sepanjang perjalanan agar tidak perlu di jemput dengan antek-antek ayahnya ini.
"Mereka cuma bikin repot aja," gumamnya singkat.
Namun meskipun begitu, Tasya tetap mengikuti para pengawalnya tersebut. Memasuki salah satu dari tiga mobil hitam yang sudah terparkir rapi di depan salah satu gerbang bandara, ia memasang earphonenya. Dia mau tidur. Tak butuh waktu lama untuk segera pergi dari bandara.
Kabut menaungi pagi Kota Jakarta kali ini. Tasya menatap bosan pada jalan tol yang lengang. Ini hari Minggu, harusnya jalan tol penuh, tapi mungkin karena kondisi cuaca yang seperti ini mereka lebih memilih untuk tidur atau beraktivitas di dalam rumah. Dering telepon menghentikan aktivitas Tasya mengamati kota kelahirannya.
"Halo?"
"..."
Tasya menatap lurus, mobil mulai memasuki kawasan padat ibukota. Gerbang tol telah tertinggal jauh di belakang badan mobil terakhir.
"Hm, bentar lagi." Tasya menjawab patah-patah. Tidak terlalu menanggapi penelepon di ujung sana.
"..."
"Maaf, aku tutup dulu." Tanpa menunggu persetujuan dari si penelepon, Tasya tetap memutuskan sambungan ponsel. Napas berat berhembus dari hidung bangirnya.
"Pak Anwar, Miko ada di rumah?"
Orang yang Tasya panggil Pak Anwar melirik dari kaca kecil mobil. "Ada Non, baru sampai dari kemarin sore."
"Bisa tolong antar ke hotel saja? Aku males ketemu dia."
"Baik, Non."
Pak Anwar segera memberi kode untuk keluar dari iring-iringan mobil. Satu mobil hitam keluar dari jalur dan berbelok ke arah kiri. Bergerak semakin jauh dari dua mobil lainnya.
Empat puluh lima menit kemudian, mobil yang Pak Anwar kendarai berhenti pada salah satu hotel ternama. Pak Anwar segera turun dan membuka pintu mobil kiri, mempersilahkan Tasya untuk turun.
"Makasih Pak, nanti aku yang langsung bilang sama Mama. Bapak bisa langsung balik ke rumah aja." Tasya menggendong tas hitamnya, bersiap memasuki lobi hotel.
"Baik Non, kalau ada apa-apa segera hubungi saya atau Nyonya dan Tuan."
"Sip." Tasya memberi tanda 'ok'nya dan pergi dari depan pintu mobil.
[] K.R
Dedicated to : NatasyaShafaKhairana
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...