[]
Pagi itu jalanan Kota Jakarta tak sedingin kemarin. Namun berbeda dengan diri Tasya, tatapannya sedingin es dan sangat kosong. Tidak ada rona kehidupan pada wajahnya. Kondisi di dalam mobil juga tidak bagus. Miko dan Tasya masih dalam perang dingin, meskipun lelaki itu ingin sekali menyapa adiknya.
"Nanti pulangnya bisa naik angkot? Abang masih ada kerjaan dan Pak Anwar lagi nganterin Mama."
Mendengar kata 'Mama' keluar dari mulut Miko. Tasya bereaksi, gadis itu seketika menoleh dan menatap Miko penuh tanda tanya.
"Mama untuk sementara pindah dulu ke rumah Bogor."
Tasya kembali memalingkan wajahnya. Dia diam, meskipun pikirannya tengah berkecamuk saat ini. Dia tidak tahu harus bagaimana, dia tidak mengerti harus mengambil tindakan apa. Dia benar-benar bingung.
"Masih ada Abang. Kamu nggak usah khawatir." Miko memeluk singkat tubuh adiknya. Merengkuh bahu kurus Tasya ke dalam dekapannya barang sejenak, sebelum gadis itu melepaskan paksa dan keluar dari mobil.
[ᆢᆢᆢ]
"Pagi Sya." Dion menyapa, tapi gadis itu tidak menghiraukan. Hal itu terus berlanjut hingga bunyi bel istirahat pertama terdengar. Tasya langsung pergi begitu saja, tanpa mempedulikan teman-temannya yang sedari tadi sudah memanggilnya.
"Udah aku tebak kamu bakalan di sini." Suara itu mengejutkan Tasya.
Dia tetap diam. Memandang kosong ke arah bunga rumput yang tumbuh liar di halaman belakang sekolah.
"Ngapain ke sini?"
Gilbast merasakan itu, ada yang berbeda dari gadis di depannya itu. Nada yang Tasya keluarkan berbeda dari biasanya. Sunyi, tidak ada keceriaan seperti biasa.
"Nyari bidadari."
Tasya tidak menjawab lagi. Membuat hening keduanya. Hanya semilir angin yang sesekali terdengar. Bahkan kicau burungpun tidak ada.
"Kamu sendiri ngapain ke sini Na?"
"Di sini sepi." Tasya menengadah melihat matahari yang terhalang oleh awan.
"I guess, something bad was happened."
Tidak ada jawaban. Gilbast memilih untuk diam. Cowok itu tahu jika nanti Tasya pasti akan membuka mulut. Gadis itu pasti akan bercerita kepadanya.
"Udah makan belum?" Gelengan singkat yang di dapat oleh Gilbast sebagai jawaban.
"Nih, kebetulan aku lagi bawa makanan lebih." Cowok itu menyodorkan sebungkus roti dengan isian cokelat. Tasya tidak langsung menerimanya, melainkan menatap Gilbast dengan pandangan bertanya.
"Gak ada racun. Aman. Aku udah kenyang, buat kamu aja."
Gilbast memberikan senyuman, membuat dimple pada pipi kirinya terlihat. Manis, kira-kira begitu menurut Tasya. Gadis itu akhirnya menerima rotinya, memakan dengan perlahan tanpa ada minat.
"Kalau mau teman cerita, bilang aja sama aku. Teman hangout juga bisa. Kaburpun aku mau kalau sama Natasya."
"Ngaco." Tasya tersenyum geli dengan penawaran yang Gilbast tiba-tiba berikan.
"Yes!" Gilbast mengepalkan tangan ke atas. "Akhirnya ketawa juga bidadari. Senang deh."
Pipi Tasya rasanya terbakar. Gadis itu tersipu, memalingkan wajahnya agar Gilbast tidak melihat dan tidak mengejeknya.
"Senyum terus ya Na." Cowok itu mengusak kepalanya. "Kamu jauh lebih cantik kalau senyum."
[ᆢᆢᆢ]
Gadis itu kembali menghubungi ponsel mamanya yang masih saja tidak aktif. Untuk beberapa saat dia merasa menyerah dan memilih untuk duduk diam. Hingga pada detik berikutnya kembali mencoba.
"Mama nggak apa, kan? Acha lihat semuanya. Maaf, Acha gak bantu Mama waktu itu. Acha takut Ma, kalian nggak bakalan pisah, kan? Ma, Acha sayang Mama."
Air mata kembali meluruh pada pipi putihnya. Sambungan teleponnya dijawab oleh kotak suara. Dia hanya bisa memberikan pesan yang mungkin akan tersimpan pada partikel-partikel elektrik di sana, dan berakhir berdebu.
Tasya mengalami sangat banyak kemunduran hari ini. Hatinya hancur, lebih hancur saat dia mengetahui Farhan berselingkuh dengan gadis lain. Tubuhnya tidak ada luka, tapi pikiran dan jiwanya terluka berat. Atas apa yang Ayahnya lakukan, atas apa yang terjadi setelahnya dan sebelumnya. Tasya kira hubungan keluarganya sudah cukup baik. Meskipun dia masih suka bermusuhan begitu saja dengan Miko, Tasya tidak menyangka akan ada keretakkan seperti ini.
Gilbast's calling ...
Tasya mengangkatnya dengan malas. Dia tidak sedang ingin berhubungan dengan siapapun di dunia nyata. Dia hanya ingin Mama dan Ayahnya. Tidak lebih, tidak kurang. Sesederhana itu kebahagiaan menurutnya.
"Ya?" Walaupun dia sudah mencoba setenang mungkin. Getar pada suaranya masih keluar. Tasya hanya bisa berdoa supaya Gilbast tidak sadar akan hal itu.
"Kamu kenapa Na? Habis nangis?"
Kalah telak. Gilbast bisa membaca dirinya dengan mudah. "Gak." Tapi Tasya masih memutuskan untuk berbohong.
"Suara kamu menjelaskan semuanya."
"Terserah mau percaya apa nggak." Ketus Tasya menjawab, sialnya gadis itu mendengar suara tawa teredam dari ujung sana.
"Iya deh bidadari. Biar senang, aku iya-in aja."
Hening sejenak, tidak ada yang ingin melanjutkan topik. Tidak terdengar suara sama sekali dari balik sana, hanya samar suara berisik lembaran kertas di balik. Tasya sendiri memang lebih suka seperti ini. Entah kenapa, tapi gadis itu jadi lebih suka mengheningkan diri.
"Besok weekend mau ikut aku gak? Hitung-hitung refreshing setelah tiga ulangan beruntun." Suara renyah Gilbast kembali terdengar.
Mendapati tak ada jawaban, Gilbast kembali bertanya. "Na?"
"Na."
Tasya tidak menghiraukan. Pandangannya kosong menatap lantai kamar sementaranya di apartemen Miko. Gelap. Mungkin sama seperti masa depannya nanti.
"Natasya!"
"Ya?" Gadis itu tersentak dan mengeratkan genggamannya pada ponselnya.
"Dari tadi dipanggil nggak jawab-jawab. Ngelamun lagi?" Tasya tersenyum tipis. Meskipun dia tahu Gilbast tak akan bisa melihatnya. "Jadi mau ikut?"
"Ke?"
"Tempat yang bakalan kamu suka."
Tasya tidak tahu apa ini keputusan yang tepat. Tapi dia percaya dia butuh pencerahan. Liburan.
"Hm."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...