[]
"Ada ide di mana Acha sekarang?"
Kali ini mereka tengah di pom bensin. Entah karena sial atau memang semesta yang tidak memihak, mobil keduanya tiba-tiba berada dalam kondisi kehabisan bensin. Dan antrean pom ini cukup panjang. Brian bahkan yakin seribu persen kalau dua orang yang duduk di mobil di depannya itu, tidak bisa untuk bersabar sedikit lagi. Brian sendiri menikmati duduk dan bersandar pada tempat duduknya, mengamati orang-orang yang lalu lalang di pom ini. Dan bersyukur tidak terlibat perbincangan tegang yang terjadi di mobil di depannya.
"Gue gak tahu. Aura gak pernah ngasih jejak apapun. Gue bahkan hampir memuji dia, karena cukup berani nyulik Tasya di depan mata gue sendiri." Gilbast menatap geram ke arah antrean di depannya. Ini benar-benar panjang dan dia bahkan belum menghitung antrean sepeda motor.
"Itu berarti ni cewek tahu lo bakalan diem doang. Kayak bocah umur lima tahun. Gue salut lo gak nangis sambil pipis di celana."
Gilbast menatap Miko tidak suka, "Bang, gue gak separah itu. Ya ... oke, gue gak bisa gerak, tapi gue bukan bocah balita."
Sialnya Miko tertawa kencang. Dan membuat suasana mencair untuk beberapa saat. Atmosfernya tidak lagi tegang dan parah seperti sebelumnya. Tapi, Gilbast tidak suka jika dirinya yang dijadikan bahan ejekan.
"Benar ya kata Acha, lo tuh gak bisa dijelekin dikit."
Dan atensi Gilbast berubah, "Emang Tasya cerita apa aja, Bang?"
"Nah kepo lo."
Kesal kembali hadir dan Miko semakin tertawa melihat raut wajah Gilbast yang jelek itu. Iya jelek, karena memang seburuk itu wajah Gilbast saat dirinya sedang kesal setengah mati. Mungkin hanya itu yang Miko bisa suka dari Gilbast. Karena terlepas dari fakta bahwa cowok di sampingnya itu yang telah menjadi alasan adiknya diculik, Miko tetap bisa tertawa dan menjadikan Gilbast sebagai bahan ejekan.
"Jadi lo gak ada pikiran di mana adek gue?" Miko kembali serius dan Gilbast hanya harus menggeleng pelan.
"Turun lo."
"Hah? Iya Bang gue tahu gue gak guna, tapi jangan turunin gue di pom bensin juga." Gilbast sudah memelas. Melepaskan tawa Miko sekali lagi.
"Anjir lo kocak amat sih. Gue nyuruh lo turun buat tukeran. Lo yang nyetir, gue coba lacak Acha lewat ponsel dia."
Gilbast hanya meringis dan tertawa kecil. Segera turun dan memutar mobil. Dan mendapat pandangan bingung dari Brian. Gilbast hanya mengangkat tangan sejenak dan segera kembali masuk ke dalam mobil.
"Gue gak tahu lo bisa lacak ponsel orang, Bang."
"Emang lo siapa sampe harus tahu gue bisa apaan?"
Buset galak bener dah, untung adeknya gak segalak ini.
[ᆞᆞᆞ]
"Lo gak mau tobat gitu? Gak capek terus-terusan gini?"
"Diam! Kamu gak ada hak buat bicara di sini."
Tasya mengatupkan mulut rapat-rapat. Mencoba mengubah Aura memang tidak mungkin, tapi dia harus tetap bertahan untuk hidupnya. Karena bagi Tasya, dia tidak bisa bergantung pada siapa-siapa. Gilbast yang dia harapkan dapat membantunya dari awal, hanya bisa berdiam diri dan memandang penuh ketakutan.
"Ra, serius dah. Gue bakalan jauh-jauh dari Gilbast, tapi lo lepasin gue sama keluarga gue." Tasya masih mencoba bernegosiasi. Mencoba segala keberuntungannya.
"Mudah ya buat kamu lepasin Gilbast gitu aja? Padahal Gilbast sayang banget sama kamu. Emang gak cocok kalian berdua sama-sama. Harus ada yang mati."
Tasya mengepalkan tangan, menahan emosinya sendiri. Dia tidak mengertiㅡsama sekali tidakㅡdengan cara berpikir Aura yang abstrak. Gadis itu tidak suka jika Tasya berdekatan dengan Gilbast. Tapi saat Tasya ingin menjauh, bukannya menyetujui dan berdamai. Alih-alih, Aura semakin beringas.
"Mau lo apa ha?" Dan Tasya meledak, dia cukup lelah terkurung di tempat temaram, pengap, dan lembab ini. Dihadapkan dengan seorang Aura dan segala keanehannya bukanlah pilihan yang baik. Dia lelah. Tasya sangat lelah.
"Mau ku sederhana, kamu pergi dari hidup Gilbast selamanya."
"Gue pergi! Butuh berapa kali bilang sih? Gue pergi, gue bakalan pergi. Selamanya. Selama yang lo mau."
Bukannya senang mendengar jawaban Tasya yang sarat emosi, Aura hanya tertawa. Tawa sinis yang menyeramkan. Bulu kuduk Tasya sampai harus berdiri mendengar suara tawanya. Itu menggema dan melengking, benar-benar mengganggu.
"Because that Princess, I'll make you go forever. Tenang aja, ini gak akan sesakit itu. Aku udah profesional."
Tasya mulai bingung. Dia tidak tahu harus menggunakan bahasa apa pada Aura untuk menjelaskan maksud dari perkatannya. Tasya hanya ingin kebebasan dan ketentraman dalam hidupnya. Bukan dikurung dan akan dibunuh semacam ini.
"Ra dengar, gue akan pergi sejauh mungkin dari Gilbast. Ke benua lain kalau perlu. Jadi please, lepasin gue dan keluarga gue. Berhenti neror gue lagi."
Aura kembali tertawa dan Tasya sama sekali tidak nyaman dengan tawanya. Itu mungkin menyenangkan saat mendengarnya pertama kali. Tapi untuk skala yang sering, Tasya menjadi takut pada gadis sakit jiwa di depannya ini.
She is pyscho. Love make her blind and being a monster. Creepy as fuck.
"Kamu pikir dengan menjauh sampai Antartika, Gilbast akan berpaling dari kamu?" Jemari lentik Aura terulur, mengusap pelan pipi Tasya yang dingin. Diri Tasya semakin meremang, sama sekali tidak suka dengan perlakuan yang Aura berikan.
"Big no. Gilbast akan terus cari kamu sampai dapat! Karena dia udah cinta mati. Dan satu-satunya jalan keluar cuma buat kamu mati."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...