[]
Sudah hampir seminggu lamanya dan mereka berdua memang semakin menjauh. Gilbast benar-benar berakting sebaik mungkin. Dia bertingkah seolah-olah tidak pernah ada yang namanya Natasya. Tidak pernah ada sejarah dalam hidupnya di mana ia mendeklarasikan sebagai pacar gadis itu. Dia tidak menyapa Tasya saat mereka berdua berpapasan di koridor. Dia bahkan tidak sedikitpun tersenyum pada gadis itu dan melupakan fakta bahwa Tasya tersenyum ke arahnya. Melupakan fakta bahwa Brian berteriak memanggil nama gadis itu saat pelajaran olahraga. Bersikap acuh tak acuh saat mereka duduk dalam jarak yang dekat. Tidak peduli saat saling berbagi udara dan hawa panas tubuh masing-masing. Dan jangan lupakan saat di mana Tasya terlihat sangat khawatir saat Gilbast jatuh waktu bertanding basket dengan teman-teman sekelasnya.
Semua hal itu membuat Tasya muak. Dia lelah dengan tingkah Gilbast yang semacam itu. Senin pagi kemarin, Tasya bersikap seperti biasa. Mengira Gilbast hanya bercanda dan menjebaknya. Tapi kemudian, hanya ada kenyataan pahit setelahnya. Gilbast sama sekali tidak membalas sapaan, bahkan tepukannya tidak cowok itu gubris.
Semua perlakuan Gilbast ini berdampak buruk bagi Tasya. Gadis itu mungkin bisa tersenyum manis, tapi nyatanya ada tangis yang dia bawa setiap malamnya. Rasanya sesak, seperti ada segenggam batu berada di dadanya. Mengimpitkan jantungnya untuk bekerja secara normal.
"Lo berdua lagi marahan ya?" Ines yang pertama kali menyadari keanehan setelah seminggu kejadian itu berlangsung.
"Siapa?" Tasya sedikit tersedak dalam gugupnya untuk menjawab pertanyaan Ines.
"Lo sama Gilbast. Siapa lagi couple goals di sini."
Tasya memilih bungkam, menyedot kuat-kuat jus apelnya yang terasa hambar. Padahal sebelumnya terasa sangat manis.
"Sya, kamu benar ada masalah dengan Gilbast?" Sekarang ganti Frista yang bertanya.
Tasya sendiri masih memilih setia untuk bungkam. Tidak ingin menjawab apapun. Kedua orang itu masih terus bertanya, hingga membuat kegaduhan kecil dan menarik perhatian Dion. Cowok yang hari ini tiba-tiba duduk di depannya.
"Napa Sya?" Tasya hanya memandang cowok itu, mengucapkan segalanya tanpa kata-kata. Gadis itu tahu Dion akan mengerti apa maksudnya, karena mereka sudah bersahabat sejak kecil.
Tiba-tiba Dion bangkit, duduk tepat di sebelah Tasyaㅡdengan paksa mengusir Frista yang duduk di sana. Lalu tangannya melingkari bahu kurus gadis itu. "It's alright. Nangis aja udah nangis, puas-puasin. Tapi abis ini, janji lo nggak akan nangis lagi."
Dan air mata mulai mengalir. Beruntung kelas mereka sudah sepi karena waktu telah menunjukkan pukul setengah lima sore. Hampir semua kelas sudah kosong. Jadi beruntunglah Tasya bisa menangis di sana, tak apa bila mereka bertiga melihat. Tasya mungkin akan merasa malu sedikit nantinya. Yang terpenting, dia harus merasa lega terlebih dahulu. Dia harus mengembalikan banyak energinya yang terbuang sia-sia.
[ᆞᆞᆞ]
Matanya masih sangat bengkak dengan bola mata yang memerah. Ujung hidungnya pun ikut memerah dan berair. Sampah tisu bertebaran di atas mejanya, menggantikan buku-buku yang seharusnya ia buka dan pelajari. Tasya mengambil ponselnya, menatap layar yang memantulkan bayangan dirinya sendiri. Terkejut dalam diam saat melihat bayangannya.
Gila! Ini aku?
Refleks, gadis itu langsung bangkit. Melangkah cepat ke arah toilet untuk membasuh muka. Setidaknya membersihkan sisa-sisa kekacauan yang berada pada wajahnya.
"Aku nggak bisa lagi ketemu sama dia." Bahkan sekarang rasanya sedikit getir saat menyebut namanya keras-keras. Ada yang seperti menusuk.
Sial bagi Tasya, karena saat gadis itu keluar dari toilet. Langkahnya bertemu dengan seseorang dari ujung tangga. Hampir saja membuat tumbukan di antara keduanya. Beruntung cowok ini bisa menghentikan langkahnya tepat waktu.
"Sorry gueㅡ"
Tasya membeku. Tidak dapat melanjutkan ucapannya sama sekali. Pandangannya bertemu dengan pemilik netra hangat itu. Menarik Tasya semakin dalam untuk kembali mengenalnya. Untuk kembali bermain bersama. Untuk kembali sekadar berbincang lagi. Namun sungguh disayangkan, dia menarik pandangannya terlebih dahulu. Melewati Tasya seolah-olah gadis itu tidak berada di sana. Seolah-olah mereka tidak pernah bertemu, tidak pernah saling tatap, dan Tasya adalah makhluk tembus pandang.
Detik itu juga, Tasya berbalik. Menarik dengan cepat tangannya dan membawa dia menuju taman belakang. Setidaknya tidak akan ada yang berkeliaran di sana pada jam ini dan Tasya bisa menyelesaikan segala masalah mereka dengan baik.
"Lepas." Kata pertama yang Gilbast ucapkan saat mereka akhirnya kembali bertatap muka. Kata pertama yang harusnya tidak dia ucapkan dengan nada yang keras.
"Gueㅡ"
"Gue ada kelas. Bisa lo lepas?"
Tasya terkejut. Dia tidak menyangka Gilbast akan sampai mengubah caranya berbicara dengan Tasya. Bahkan tatapan mata yang Gilbast berikan benar-benar seperti orang asing.
Tasya refleks mundur satu langkah. Tangannya tak lagi menggenggam erat pergelangan tangan Gilbast. Gadis itu sepenuhnya terkejut dengan semua hal. Semua hal baru yang tidak dia sangka-sangka. Hal baru yang mengerikan.
Gilbast masih menatapnya satu detik sebelum kembali berbalik dan mulai berjalan menjauh. Terlihat sangat tidak acuh dengan reaksi Tasya akan perubahan yang dia lakukan. Namun, sebelum dia sempat melangkah sejauh-jauhnya, Tasya sudah kembali menarik sedikit seragamnya.
"Aku nggak suka kita kayak gini."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...