[]
Aura berbalik, berjalan mendekat ke arah pintu baja yang masih tertutup. Pandangannya tidak segarang awal, dia seperti mengenang sesuatu. Sesuatu yang menyakitkan.
"It's been nice to have your own knight in shinning armour, right?"
Dan Tasya dengan berat hati harus menggeleng. Karena memang kenyataannya tidak semenyenangkan itu. Memang ada banyak masalahnya yang teratazi semenjak Gilbast berada di sisinya. Tapi, ada lebih banyak masalah yang timbul karena dia juga.
"Gak semua kesatria membawa keberuntungan. Di kasus gue, lo salah. Hadirnya cuma bikin hidup gue sengsara. Mungkin emang awalnya bahagia, tapi ujungnya? Gue gak melihat hal baik dari sini."
Aura tertawa, tawa yang menyenangkan sebenarnya. Jenis tawa yang membuat orang lain ingin tertawa juga, atau minimal sekadar merasa bahagia juga. Ini jelas bukan tawa yang mengerikan atau menyeramkam seperti khas orang-orang jahat. Aura jelas sangat baik dan lembut.
"You can said that, because you never ever in my side. Kamu gak pernah berdiri di posisiku. Lihat dunia dari jendelaku. Lihat perilaku Gilbast dari kacamata aku."
Tasya menggeleng, mengakui kalau dia memang tidak pernah melihat bagaimana perilaku Gilbast pada Aura. Karena memang sejauh ini, dia tidak berniat untuk tahu. Selama dia baik-baik saja, selama tidak ada yang mengganggunya. Dia tidak akan mau tahu.
"You know, it's never fair. He really knows how to make me cry."
Tatapan gadis itu sendu, mengingat betapa banyak air mata yang tumpah. Betapa banyak rasa sakit yang tergores. Dan betapa banyak hal bodoh yang telah dilakukan. Dia lelah, ingin berhenti. Aura lelah.
Lantas seorang Natasya dapat menangkap semua itu dengan jelas. Dapat dengan mudahnya mengangguk dan merasa kasihan pada gadis yang sempat Tasya kira gila. Aura cuma korban cinta bertepuk sebelah tangan, meskipun tindakannya tetep suatu kesalahan.
She's still a victim.
"Tapi lo nggak bisa benerin semua hal yang lo lakuin selama ini. Lo tetep monster."
Aura kembali memusatkan pandangan pada Tasya. Matanya menelisik, tidak ada lagi gurat khawatir. Bahkan ketakutanpun tidak ada. Hanya ada iba dan pandangan manusiawi lainnya. Sayang sekali, itu tidak membuat Aura tersadar akan kesalahannya. Hal itu hanya membuatnya semakin menjadi-jadi.
"You just can judging me. Coba kalau kamu rasain sendiri gimana nggak enaknya jadi aku! Banyak orang di luar sana yang bilang hidup ku ini udah sempurna banget. Tapiㅡ"
"Yeah, your live is perfect." Dengan tenang Tasya memotong. Semakin membuat Aura geram.
"DIAM!"
Gunting berpegangan biru itu melayang. Ujung tajamnya menggores leher sekaligus memotong beberapa helai rambut Tasya. Menjadikan rambut panjang gadis itu tidak lagi sama rata. Tasya menutup mulut, menggigit lidahnya keras-keras agar rasa perihnya tersalurkan.
"Berani banget kamu! Sekali lagi motong ucapanku, mati kamu." Kali ini Aura maju, mengikis jarak kembali dan menyodorkan pisau lipat kecilnya.
Pisau itu masih sama seperti gunting tadi, berujung tajam dengan gagang biru. Tasya baru dapat menarik napas saat pisau itu telah pergi dari bawah hidungnya. Gadis itu segera menepis segala sikap iba yang baru saja melintasi kepalanya. Aura benar-benar sakit jiwa. Dia benar-benar butuh pertolongan medis saat ini. Mentalnya berada di ambang kehancuran.
"Mau sampai kapan lo ngurung gue? Lo bisa ketangkep polisi."
Aura tertawa meremehkan. "Natasya sayang, kamu kira ini baru terjadi sekali-dua kali? Ya enggak lah! Dan polisi juga udah disuap berkali-kali untuk kasus yang sama. So, terserah aku mau ngurung kamu berapa lama."
"Sakit jiwa! Lo tetep nggak bisa ngurung gue selamanya. Somebody will know."
"Tinggal bungkam aja. Jangan ribet. Tapi tenang, aku akan lepasin kamu. Tergantung dari jawabanmu sih."
"Kalau ini masih tentang pertanyaan yang sama. Jawaban gue tetap sama. Gak ada orang gila yang sanggup relain nyawa demi orang semacam Gilbast."
[ᆞᆞᆞ]
"Lo ada pikiran di mana mereka sekarang?" Miko gusar. Jelas.
Sudah seharusnya dia gusar, takut, dan khawatir. Adiknya, satu-satunya orang yang dia harap untuk pergi dari dunia ini. Sekarang telah berada entah di mana dengan seorang penggemar gila cowok di sampingnya ini. Orang yang baru saja mendapat bogem mentahnya. Bahkan menurut Miko, itu masih kurang.
"Gue gak tahu pasti, Bang. Gue gak pernah lihat penculikan yang Aura lakuin."
Dan jawaban itu hanya menjadi alasan bagi Miko untuk melayangkan pukulan lainnya. Kali ini keras sekali dan menyakitkan. Karena itu satu kali dan dilakukan sungguh-sungguh.
"Dari awal udah gue duga, lo pasti gak bener."
Gilbast diam, berpikir apa yang seharusnya dia berikan untuk tanggapan. Ada banyak kata-kata, tapi dia tidak tahu mana yang seharusnya dia lontarkan di saat seperti ini. Pada akhirnya, Gilbast hanya menarik napas dalam dan menghembuskannya dengan perlahan. Masih ada rasa sakit yang sama dengan sebelumnya. Dengan saat dia melihat Tasya yang dibawa pergi di depan matanya. Terasa tidak berguna.
"Gue gak tahu pandangan lo bakalan kayak gitu Bang. Gue cuma tahu satu hal, kita harus temuin Tasya secepatnya."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...