[ masa kecilnya ]

24 1 0
                                    

[ b r i a n ]

Kayaknya, emang dari gue kecil, gue gak pernah lepas dari Gilbast. Bukan berarti gue homo atau sejenisnya, gue cuma gak bisa aja. Ada sisi di mana gue ingin melindungi anak satu ituㅡasek, sisi lainnya adalah dekat-dekat sama Gilbast itu enak. Lo mau apa tinggal bilang sama bokap-nyokapnya, nanti mereka akan penuhi semuanya. Enak kan, gue hidup terima beres aja. Tinggal napas sama urusan toilet doang. Masalah gue tinggal di mana, mereka yang kasih. Gue pernah nginep juga di rumah gede Gilbast itu, sampai akhirnya dapat rumah sendiri. Masalah sekolah juga sama, gue jadinya dari kecil pasti satu sekolah sama Gilbast. Masalah gue gak bisa belajar atau apalah itu, mereka ngasih gue les di tempat terbaik. Gilbast tentunya juga ikut. Intinya, semua fasilitas yang Gilbast punya, gue juga punya. Begitu juga sebaliknya. Jadi jangan salah sangka, dari zaman masih tiga tahun, gue sama Gilbast udah sering di sangka anak kembar. Meskipun, emang harus gue akuiㅡdengan berat hati tentunya, kalau Gilbast lebih ganteng daripada gue yang burik ini.

Yah, nasib anak lokal. Beda sama dia yang anak campuran.

Tapi, hidup dengan ngikutin Gilbast ke mana-mana itu gak akan selalu bahagia. Karena emang gak ada hidup yang sempurna. Semuanya pasti ada masalah. Dan kehidupan berat gue di mulai saat kita bertigaㅡgue, Gilbast, dan Aura, naik ke tingkat menengah pertama.

Gue masih inget hari itu, sabtu sore. Gue dan Gilbast lagi jalan-jalan di pinggiran trotoar. Maunya sih jalan-jalan di pemantang sawah atau kebun teh, tapi kita masih sadar diri ini Jakarta yang susah banget cari lahan hijau kayak begituan. Kalau kita mau jalan-jalan nikmati sore yang indah kayak di Tv-Tv, minimal kita ada di Bogor atau Bandung.

Gue juga masih inget hal apa yang gue bicarain waktu itu.

"Bast, mending lo tegasin deh. Aura makin jadi."

Dengan muka kesal gue bilang hal itu. Bukan gue kesal sama Gilbastㅡmana berani gue, gue kesal sama Aura. Gadis cantik yang satu itu, benar-benar gak paham dengan ucapan Gilbast dulu. Dan malah melakukan hal gila. Gue salah satu saksi pas Aura lagi bertingkah kayak orang gila.

Yah, mungkin karena masih kecil kali ya. Makanya, otaknya masih nggak jalan.

"Itu bukan dia. Aura nggak akan melakukan hal aneh-aneh. Dia bukan anak yang kayak gitu."

Sialnya, Gilbast gak pernah percaya karena emang nggak pernah ada bukti. Saksi yang lain pada dibungkam sama Auraㅡfyi, dia anak orang kaya juga jadi gampang ngelakuin hal-hal kayak gitu. Apalagi, Gilbast itu optimis banget, hidupnya lurus aja gitu. Positif aja pikirannya, gak tahu kalau gue udah gedeg dan ingin banget geplak kepala dia sambil teriak,

"SADAR BEGO!"

Sayang itu semua cuma ada di dalam imajinasi gue. Gue gak pernah bisa nyakitin Gilbast. Karena selain takut sama bokap-nyokapnya, gue juga gak bisa mukulin orang yang udah baik sama gue. Iya gue lemah sama orang baik.

"Lo harus percaya sama gue Bast, gue kan gak mungkin bohong sama lo. Pelakunya ya Aura. Dia yang bikin itu cewek pergi."

Gilbast cuma diem saat itu dan pergi. Waktu gue ikutin, ternyata malah kabur ke Aura. Sumpah detik itu juga gue maunya menjadikan dua orang itu jadi sate manusia. Bukan kambing lagi yang gue jadiin sate, mereka juga bisa.

Akhirnya gue tinggal aja mereka berdua aja, ya kali gue mau ikutan nimbrung dan tetap nyoba menyakinkan Gilbast soal itu. Yang ada gue yang jadi sate manusia.

Dan sialnya, itu permulaannya. Kalau aja waktu itu gue gak pergi gitu aja, mungkin Gilbast akan cepat membuat Aura sadar. Biar itu cewek tobatㅡkalau dia bisa sih. Hal-hal itu terus berlanjut dan mulai parah saat kita kedatangan satu orang lagi, Ravino.

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang