[]
Hari ini Sabtu pagi. Tasya masih mempertahankan diri di atas kasurnya. Tidak ada eskul yang harus dirinya hadiri. Dan tidak ada kegiatan apapun. Sore nanti mungkin dia akan berangkat bimbingan belajar, tapi pagi ini, dia hanya ingin tiduran. Rebahan selama yang dia sanggup.
Tasya menatap langit-langit. Ingatannya terputar pada Kamis siang kemarin. Apa yang dikatakan Gilbast masih berdengung pada pikirannya. Tahap terakhir dari hal-hal gila yang Aura berikan. Tasya benar-benar mempertanyakan bagaimana kondisi Aura saat ini. Lebih-lebih soal kejiwaannya. Harusnya orang tua gadis itu membawa Aura ke psikiater.
"Merinding kalau punya anak macem Aura."
Ponselnya berdering. Kali ini bukan nomor yang tidak dia kenal. Kali ini nomor Gilbast. Melihat namanya yang terpampang, gadis itu segera mengangkat.
"Masih pagi juga."
"Hai juga Na. Aku ganggu nggak?"
Dih klasik banget topiknya.
"Banget. Lo ganggu gue ngelamun." Tasya menjawab ketus. Satu tangannya menggapai guling di kaki ranjang, menariknya cepat. Lalu memeluk benda empuk tersebut dengan erat.
"Udah makan belum?"
Tasya mengerutkan kening, bingung. "Kenapa emang?"
"Udah mandi?"
Lipatan pada keningnya bertambah. "Lo ngapain sih tanya-tanya begituan? Kepo amat jadi manusia."
"Lima belas menit lagi aku sampe depan rumah kamu."
"Ebuset!"
Tasya hanya bisa teriak dan segera melompat dari ranjangnya. Beranjak secepat kilat untuk mandi bebek. Mengambil baju apa saja dan merias diri. Tidak ada kata sarapan dan bersantai-santai Sabtu ini. Dan semua itu karena Gilbast yang tiba-tiba hadir. Merusak suasana tenangnya.
"DEK INI ENAKNYA DIUSIR APA DISURUH MASUK?"
Anjir!
[ᆞᆞᆞ]
"Sumpah lo ngeselin amat sih jadi cowok!"
Gilbast hanya tertawa. Kedua tangan dan matanya masih fokus pada kemudi setir dan jalanan. Tapi otaknya sangat-sangat merespon cepat segala kata-kata yang Tasya keluarkan. Dan semuanya dia respon dengan suara tawa yang merdu. Tawa yang membuat Tasya tidak bisa untuk terus marah pada cowok di sebelah-nya itu.
"Gue lagi marah, bukan lagi ngelawak!" Wajah gadis itu tertekuk kusut. Dipastikan cemberut. Tapi, sayangnya, membuat jantung Gilbast cenat-cenut.
"Tapi, kamu lucu banget Na."
Tasya tidak merespon, kepalanya menoleh ke luar jendela. Menatap jalanan yang sedikit familiar. Rasanya seperti dia pernah berada di sini sebelumnya. Dia ingat papan nama jalan itu. Kelokan itu. Pom bensinnya.
Dan Gilbast menangkap itu semua. "Kenapa?"
"Gue pernah lewat sini ya?" Spontan. Pertanyaan itu keluar begitu saja dan tatapan Tasya sangat polos saat bertanya hal itu. Menjadikan tawa terlepas begitu saja dari mulut Gilbast.
"Ini jalan mau ke rumah aku Na. Jelas kamu pernah lewat sini."
Wajah Tasya memerah. Sama sekali tidak pernah berpikir tentang jawaban cowok itu. Dan saat Tasya kembali menoleh ke arah jendela, dia mengerti perasaan familiar yang dia rasakan. Kali ini dia tidak akan bingung bagaimana bisa dia mengingat segalanya dan memprotes dalam hati saat beberapa hal terlihat tidak ada atau berpindah. Karena dia tahu jawabannya, dia pernah singgah.
"Kamu diem banget hari ini. Ada masalah? Masih kepikiran sama kelakuan Aura, ya? Aku minta maaf."
Mereka tengah duduk di dalam mobil dengan satu jendela terbuka. Lampu merah baru saja hidup dan menimbulkan kesunyian. Meskipun ada lagu yang terputar, tapi rasanya lebih sunyi. Tidak ada pertengkaran seperti biasanya. Dan Gilbast merasakan semua itu.
"Enggak, gue cuma lagi kepikiran satu hal."
"Kepikiran apa?" Lampu lalu lintas menyala hijau, membuat Gilbast tidak lagi dapat menatap wajah gadis di sampingnya.
"Kenapa lo bisa serandom ini?"
Ada jeda dan Gilbast hanya mengangkat sebelah alisnya. Memunculkan seraut wajah bingung. Cowok itu tahu Tasya tengah menatapnya saat ini.
"Maksud gue, kenapa lo tiba-tiba aja kepikiran buat jemput gue di hari ini? Dan kenapa lo bawa gue ke tempat itu lagi? Padahal lo tahu terakhir dan pertama kali kita ke sana, lo ditangkap dan gue pulang dalam keadaan pingsan. Apa lo nggak mikir kalau gue bisa jadi trauma?"
Gilbast diam. Bukan karena dia memikirkan jawabannya, tapi karena dia menemukan hal lain. "Ini pertama kalinya kamu ngomel sepanjang ini. Lucu juga."
"Aish! Gue bicara panjang lebar soal kebingungan gue. Lo malah salah fokus. Sialan banget tahu nggak?!"
Gelak tawa sekali lagi terdengar. Tidak terasa mereka sudah memasuki jalanan kawasan rumah Gilbast. Dan Tasya mengerutkan kening.
"Kok cepet sih? Ini juga mobil kenapa bisa masuk? Eh, waktu itu juga mobil-mobil mereka bisa masuk ya?"
"Aduh Na, jadi orang jangan lucu-lucu tolong. Ini jalan depan, mobil memang bisa masuk. Waktu itu kita kabur lewat jalan ini. Tapi pas kita dateng, kita lewat jalan samping karena lebih deket lewat sana."
"Ih, gue kan nggak tahu Gil!"
Gelak tawa kembali terdengar. Dan mereka telah sampai pada garasi rumah Gilbast. Masih dengan pembicaraan yang panjang dan seperti tiada habisnya. Hingga Gilbast harus berhenti dan memandang Tasya penuh senyuman. Senyuman yang aneh.
"Ngapain lo lihat-lihat gitu?" Masih tersisa lengkungan besar pada wajah cantiknya.
Gilbast menggeleng, mengikis jarak. Menjadikan mereka hanya terpaut satu jengkal. Tangannya bergerak, menyusup pada helaian rambut Tasya. Mengusap pipi gadis itu perlahan.
"Jangan macem-macem deh, Gi! Gue bisa giling lo."
"Mungkin sekarang aku bisa nyentuh kamu. Tapi rasanya, bakalan ada banyak jarak di antara kita."
"Ha?" Tasya sama sekali tidak mengerti arah pembicaraan ini. Dia bingung.
"Aku ngerasa kamu bakalan pergi jauh."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Fiksi RemajaSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...