[ 26 ]

25 2 0
                                    

[]

"Jauhin Gilbast atau hidup lo sengsara."

Kata-kata itu masih terngiang-ngiang di kepala Tasya. Padahal kejadian itu sudah dua hari yang lalu. Padahal dia tidak lagi bertemu dengan si pirang menyebalkan itu lagi. Padahal dia juga tidak lagi bertemu dengan Gilbast. Atau bisa dibilang, Gilbast benar-benar gencar menghindari dirinya.

Teman-temannya menyimpulkan jika gadis itu adalah pacar Gilbast yang sesungguhnya. Dan Tasya hanya pelampiasan sesaat yang ironis sekali. Mereka sudah mengatakan untuk sesegera mungkin menjauhi Gilbast. Tapi Tasya masih merasa ada yang ganjil. Si pirang itu mungkin memang pacar Gilbast, tapi dia tahu ada hal yang lebih besar dari itu untuk menjadi alasan Gilbast untuk tidak menganggapnya teman lagi. Pasti ada alasan lain yang Gilbast miliki untuk semua ini.

"Dor!"

Tasya mengerjap, refleks memukul Dion yang sudah berada di depannya. "Paan si lo? Kaget gue anjir."

"Ciaelah, gue-lo nih sekarang? Mau jadi anak bar-bar lagi, Sya? Padahal udah susah payah bangun image anak manis, masa mau dihancurin gitu aja?"

"Suka-suka gue. Dan gue nggak pernah bangun image-image gitu. Gue selalu apa adanya."

"Bunda lagi pms ya? Sensi amat, dah kayak singa lepas."

"Apaan sih Yon! Lo ngomong sekali lagi, gue acak-acak muka lo itu."

Dion tidak mengindahkan ancaman Tasya dan semakin gencar membuat emosi gadis itu meletup-letup. Membuat keduanya berlari-lari di dalam kelas yang juga sudah cukup gaduh. Kedua terus saling melancarkan aksi kejar-kejaran, sampai-sampai tidak sadar ada seorang yang memasuki kelas mereka.

"Ekhem." Orang itu berdeham. Menghentikan langkah Tasya, hingga Dion tanpa sadar sudah berada di belakang gadis itu dan menabrak bahu Tasya.

"Kenapa berhenti tiba-tiba dah, Sya?" Dion mengusap bahunya yang sedikit sakit. Dan menundukkan wajah, menatap raut terkejut pada paras cantik Tasya.

"Gilbast." Ada getaran yang kentara pada cara Tasya menyebutkan nama Gilbast. Lidahnya sedikit kelu untuk mengucapkan nama cowok ini keras-keras. Gadis itu bahkan tidak siap untuk bertemu dengan cowok ini setelah sekian hari tidak saling bersua.

"Ada yang harus kita bicarakan."

[ᆞᆞᆞ]

Bukan hal mudah untuk kembali berbicara dengan Gilbast setelah dua hari yang lalu cowok ini benar-benar tidak memikirkan perasaan Tasya. Dan bukan perkara sepele untuk kembali memedulikan Gilbast, saat gadis itu bahkan mati-matian berjuang untuk melupakan cowok itu dengan giat.

Lima menit keduanya hanya saling diam dan berdiri di atap aula. Berhubung hanya gedung aula yang beratap datar dan lumayan teduh dari pada bangunan-bangunan sekolah yang lain. Tasya masih setia dengan pandangannya pada lapangan futsal di bawah dengan beberapa murid laki-laki yang sudah berpeluh. Sedangkan, Gilbast hanya sibuk memandang langit dengan awan berarak.

"Udah ketemu Aura?" Terdengar seperti pertanyaan, tapi pada dasarnya Gilbast hanya memberikan sebuah fakta.

"Aura? Maksudnya Si Pirang Gila itu? Yep, aku ketemu dia, lusa kemarin." Tasya memang tidak pernah berniat untuk menutup-nutupi segala hal dari Gilbast.

Ada helaan napas panjang yang berat. Bersamaan dengan tubuh Gilbast yang terduduk dan bersandar pada dinding pembatas. "Dia alasan aku minta kamu jauh-jauh."

"I see. She's your real girlfriend."

"Actually my fiance."

Tasya diam. Tidak tahu harus menanggapi bagaimana kenyataan ini. Dia memang tidak jatuh cinta dengan Gilbast. Tasya hanya merasa sayang dan terkejut saat cowok itu mengatakan hal ini. Aura bukan gadis yang baik menurut Tasya. Gilbast jelas bisa mendapatkan gadis yang lebih baik.

"Dan kamu takut dia cemburu dengan betapa dekatnya kamu sama aku? Sounds like, she is so insecure." Ada nada ejekan pasti di sana.

"Ya itu salah satunya. Tapi alasannya jauh lebih besar dari itu. Alasan yang bisa bikin kamu dalam masalah."

Tasya merotasikan bola matanya. Duduk beraila di hadapan Gilbast. Terlihat kesal, "Dengar, aku nggak peduli dia marah. Dia kesel. Dia cemburu. Atau dia bakalan bunuh aku. Yang penting temanku, sahabatkuㅡorang yang ngaku-ngaku pacarkuㅡnggak pergi begitu aja. Apalagi kamu punya janji untuk nggak pergi begitu aja dari hidupku. How dare you broke that?"

Gilbast diam. Tidak berani menatap ke dalam mata Tasya. Tidak berani, karena takut segalanya akan terbongkar. Tentang alasan berbahayanya. Tentang betapa dia rindu. Tentang betapa dia ingin gadis itu selamat. Gilbast tidak akan pernah membiarkan Tasya untuk terluka. Terlebih karena dirinya.

"I'm sorry. I do that 'cause that is the right things I must to do."

"Dan membiarkan aku nggak tau apa-apa? Egois banget."

"You can't handle this, Na. Terlalu beresiko."

"I can! Aku nggak tau apa, tapi aku yakin aku bisa. Aku udah cukup gede untuk tau apa yang mungkin akan terjadi sama hidupku. Apa yang mungkin menunggu di masa depan. Dan karena kamu tau itu, please tell me what happen?"

"Kamu cuma perlu tau satu hal. Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku."

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang