[ 21 ]

37 4 1
                                    

[]

Ini pagi yang muram. Tasya masih tidak bisa bertemu dengan Gilbast. Ponsel laki-laki itu benar-benar di luar jangkauan. Tidak bisa dihubungi. Bahkan Tasya sudah meminta beberapa temannya untuk ikut serta, mengambil andil dalam pencarian Tasya. Namun, hasil yang diberikan tetap nihil. Gilbast sepenuhnya hilang dari permukaan. Dan Tasya sudah sepertiga frustasi untuk sekadar mencari tahu.

Ekspresi Tasya selalu tertekuk, dimanapun dia berada dia selalu bertanya soal Gilbast. Remaja laki-laki itu sudah menghilang hampir seminggu lamanya. Dan Tasya benar-benar gusar. Dia sangat, sangat, dan sangat ingin tahu di mana tepatnya Gilbast berada. Bagaimana keadaannya sekarang. Dan yang terpenting adalah, alasan-alasan di balik pengejaran mereka seminggu lalu.

Tasya sudah berkeliling, mencari segala informasi tentang Gilbast dimana-mana. Pada administrasi sekolah, alamat rumahnya berpindah-pindah atau bahkan tidak terisi. Begitu pula dengan nomor telepon rumah atau orang tua. Sebagian salah sambung, sebagian besar tidak lagi terpakai. Tasya juga sempat mengunjungi rumah Gilbast yang merupakan pemberian dari neneknya. Namun, tetap kosong. Tak ada siapapun di sana dan suasananya masih sama seperti kali pertama Tasya berkunjung. Gilbast benar-benar menghilang.

"Lo Brian, kan?" Pagi itu Tasya sekali lagi mendatangi kelas Gilbast. Bergumam syukur pelan saat melihat seorang yang katanya adalah sahabat Gilbast.

Brian mengangguk ragu, "Iya. Kenapa?"

"Lo harusnya tau di mana Gilbast." Tasya tak pernah mau berbasa-basi lagi. Dirinya telah lelah dengan pencarian ini.

"Maybe no, maybe yes." Brian menjawab acuh, sibuk dengan ponselnya sendiri. Bermain game.

Tasya menggebrak meja, mengejutkan siapapun yang berada di dalam kelas dan beberapa murid yang berdiri tepat di luar kelas. "Gue lagi nggak mau main-main."

"Lah gue juga," jawab Brian meneguk ludah. "Kan gue bukan peramal yang bisa tau di mana pastinya Gilbast sekarang."

"Ok. Jadi, di mana Gilbast? Minimal lo pasti tau di mana rumahnya kan?"

Brian melihat jam tangannya sekilas, mengangguk kecil sebelum menjawab, "Paling lagi makan. Jam segini, dia biasanya makan."

"Gue tanya di mana, bukan lagi apa!" Kemarahan jelas terlihat dari raut wajah Tasya yang memerah. Berang sekali.

"Gue nggak tau!" Brian ikut tersulut emosi. Nada bicaranya naik, meskipun dirinya juga masih merasa takut.

"Tapi lo tau alamat rumahnya kan?"

Brian tidak menjawab. Laki-laki itu sibuk dengan pikirannya yang berdebat dengan dua pilihan yang memiliki dampak berpuluh-puluh risiko. Beberapa dengungan ingin tahu dari banyak orang mengganggu konsentrasinya untuk berpikir. Terlebih tatapan intimidasi dari mata sipit Tasya membuatnya gugup. Dia ingin berbohong, tapi dia tahu akan ada akibat lain jika dirinya berbohong. Akibat yang akan merugikan dirinya.

"Brian," panggil Tasya tidak sabar. Gadis itu tidak suka dengan keterdiaman Brian yang menyiksa.

"Bentar, gue perlu mikir dulu."

Jawaban Brian benar-benar membawa petaka. Tasya sekali lagi melewati batas emosinya. Gadis itu menarik kerah seragam Brian dan membuat wajah Brian ikut tertarik mendekat. Keduanya saling pandang dengan tatapan Tasya yang tajam dan menusuk, beradu dengan pandangan Brian yang sekarang sangat terlihat gentar.

"Gue butuh jawaban. Sekarang."

"Fine, fine. Gue kasih."

[ᆞᆞᆞ]

Di sinilah Tasya berakhir, menatap gerbang besi bercat hitam yang menyembunyikan rumah tinggi dengan balkon di kedua sisinya. Rumah bercat putih dan kelabu pada pilar-pilarnya. Agung sekali. Menakjubkan. Bahkan rumah ini dirasa Tasya lebih besar tiga kali lipat dari rumah orang tuanya.

"Benar-benar kawasan elit." Gadis itu melihat ponselnya, pada sebaris kalimat yang Brian kirim. "Tapi kok meragukan ya?"

Tasya memotret keadaan depan rumah yang Brian tunjukkan sebagai rumah Gilbast, lantas mengirimnya pada Brian. Menunggu jawaban cowok itu.

Iya Sya, itu rumahnya. Lo kira gue berani bohong sama lo? Gila kali gue

Melihat isi chat yang Brian kirim, keraguan Tasya menguap sedikit. Gadis itu memberanikan diri menekan bel pada samping gerbang. Menunggu beberapa detik sebelum gerbang kecil di sampingnya terbuka, menampakkan wajah seorang ibu paruh baya dengan pakaian daster dan rambut dicepol.

"Cari siapa ya?" Suara melengking yang tidak Tasya duga datang. Sama sekali belum Tasya prediksikan.

"Eh ... Bu, ini bener rumahnya Gilbast?" tanya Tasya tiba-tiba kikuk.

"Gilbast saha? Teu ada yang namanya Gilbast di dieu'." Ibu itu masih tetap menjulurkan sebagian badannya dari dalam gerbang.

"Yakin Bu?" Tasya skeptis. Dia tahu ini rumah Gilbast. Brian tidak mungkin membohonginya. Iya kan?

"Iya neng, yakin." Ibu itu memberi jawaban pasti. Berusaha membuat Tasya mengerti dan percaya.

Tasya mengangguk dan menjauh sedikit dari sana. Mengambil ponselnya dan menghubungi Brian. Cowok itu harus diberi pelajaran. Tak butuh waktu lama untuk menunggu Brian mengangkat panggilannya.

"Lo bohong sama gue?" Dan Tasya juga tidak memiliki banyak waktu untuk berbasa-basi terlebih dahulu.

"Lah? Apaan dah? Gue nggak tau maksud lo apa."

"Sekarang lo ke sini, sepuluh menit sampai. Terlambat satu menit, gue pastiin lo menderita."

"Lah! Sya, lo giㅡ"

Tasya memutus paksa sambungan mereka. Tidak sudi lagi untuk mendengar suara Brian. Terlebih untuk mendengar penjelasan cowok itu, yang pastinya tidak akan masuk akal. Dia pasti bakalan nyari alasan yang nggak penting.

Pada akhirnya, Tasya memilih duduk di depan gerbang rumah yang katanya milik orang tua Gilbast. Berdiam seperti gadis yang kebingungan karena tidak tahu cara untuk kembali ke rumahnya.

"Tasya!"

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang