[]
Senja semakin suram saat Gilbast memilih untuk turun. Sebenarnya dia tidak ingin, karena rencananya sore ini adalah mendekam teru di dalam kamarnya. Dia melakukan itu sebagai aksi menolaknya atas apa yang orang tuanya katakan. Sialnya, Brian sudah berada di rumahnya. Dan sebagai teman sekaligus tuan rumah yang baik, dia harus menemui teman mengesalkannya itu.
"Yan, lo kenapa jadi pengen main basket dah? Perasaan kemarin bilang, tulang kayak mau copot abis tanㅡNatasya!"
Kejutan yang tak pernah dia bayangkan. Kejutan yang nyaris membahagiakan, tapi menjadi terasa sedih saat ini. Gilbast tercengang, tidak pernah ada dalam pikirannya jika Tasya akan berada di lapangan basketnya. Berpikir untuk membawa gadis itu ke rumah utama saja tidak.
"Ngapain kamu di sini?"
"For surprise you of course. I miss you so much." Tasya tersenyum, melangkah maju mendekati Gilbast yang masih berdiri di ambang pintu pagar.
"Aku tau kamu ada maksud lain, Na." Cowok itu tidak melangkah mundur. Alih-alih dia menghela napas berat, menatap Brian yang berada di sudut dengan tajam.
"She threatened me, Bro! Don't hate." Brian berucap dengan canggung. Mengangkat sebelah tangan ke udara.
"Kamu mau minta kejelasan soal apa?" Gilbast mengerti dia tidak akan bisa selamanya menghilang dari Tasya. Dia tidak akan bisa selamanya menghindari gadis itu.
"Semuanya, Gi. Semuanya. Apa yang terjadi malam itu? Apa mereka akhirnya nangkap lo? Kenapa lo hilang gitu aja? Kenapa lo harus ngehindarun gue? I want to know everything."
Tasya tidak suka saat dirinya berada di posisi yang tidak tahu apa-apa. Tangannya terkepal, menahan luapan emosi yang tiba-tiba membuncah. Dia ingin marah, tapi dia tahu dia tidak boleh marah.
"Kita duduk ya? Nggak enak bicara sambil berdiri." Gilbast berjalan terlebih dahulu, menuju gazebo kecil dengan makanan dan minuman yang tadi di bawa Bi Irah.
Tasya mengikuti, menatap punggung Gilbast yang berbalut kaos putih dengan kerah hitam. Dirinya menyiapkan telinga, menyiapkan pikiran, dan menyiapkan hatinya mendengar semua penjelasan dari Gilbast.
"Secara garis besar, mereka berhasil tangkap aku. Setelah sebelumnya aku buat kamu pingsanㅡmaafㅡdan nganter kamu pulang. Dan masalah aku hilang atau menghindar, aku memang lagi sibuk. Bukan berniat hindarin kamu."
Tasya mengangguk, "Oke, anggep aja itu benar. Then what's now?"
Gadis itu memicing, seakan tahu ada sesuatu yang ingin Gilbast katakan. Sesuatu yang mungkin penting atau tidak sama sekali. Sedangkan Gilbast, memilih untuk menggigit bibir bawahnya kuat-kuat.
"Bisa kita bersikap nggak saling kenal?"
[ᆞᆞᆞ]
Bangsat! Bangsat, bangsat! Batin Tasya berteriak kencang. Kepalan tangannya memukul berkali-kali boneka beruang kesayangannya. Kamar apartemen kakaknya yang kini ia tempati porak-poranda dengan kertas, seprai, dan bantal-bantal.
Sore itu, Tasya tidak habis pikir dengan permintaan Gilbast. Itu permintaan konyol menurut Tasya, karena setelah cowok itu mengatakan mereka sudah pacaran dan mendekatinya sedemikian rupa. Akhirnya Gilbast memintanya untuk pergi. Untuk menjaga jarak. Untuk kembali menjadi dua orang asing yang tidak pernah saling bertatap muka.
Tasya diam dan tidak menjawab apapun mengenai pertanyaan Gilbast. Dia bahkan tidak merespon panggilan cowok itu dan langsung berlari menuju Brian. Memaksa lagi cowok itu untuk segera mengantarnya pergi dari sana. Tidak peduli dengan kenyataan bahwa Brian tidak membawa kendaraan apapun ke sana. Tidak peduli dengan kenyataan bahwa dia harus berjalan beberapa meter menuju rumah Brian. Yang Tasya tahu, dia harus pergi secepatnya dari rumah itu. Harus menjauh secepatnya dari Gilbast.
"Bangsat." Sebuah bantal terlempar.
"Anjing!" Pintu kamar Tasya terbuka, menampilkan Miko yang terkejut dengan keadaan salah satu kamar apartemennya.
"Dek kamu kenapa?"
"Cowok tai!" Tasya masih berteriak, tidak peduli dengan Miko yang mengucapkan kata-kata istigfar dan mulai memeluk Tasya.
"Brengsek. Bajingan."
Suara Tasya memelan, air matanya meluruh. Dia tidak tahu jika diminta menjauh akan sesakit ini. Dia tidak tahu jika rasanya sesesak ini. Gilbast benar-benar tepat menancapkan mata pisaunya pada Tasya.
"Padahal dulu dia yang nggak mau pergi. Kenapa sekarang jadi brengsek gini?" Tasya sesenggukan.
"Siapa dek yang bikin kamu kayak gini?"
"Sekarang dia yang pergi. Padahal aku nggak minta pergi. Kenapa? Kenapa?" Tasya tetap tidak mengindahkan kedatangan Miko. Gadis itu tetap dengan marahnya yang meluruh dan berubah menjadi tangisan.
"Siapa dek? Cowok ya? Cowok yang waktu itu jemput kamu ya? Kamu diapain sama dia?" Miko menebak dengan tepat.
Tasya menggeleng lemah. Tidak berminat untuk mengatakan segalanya kepada Miko dan dia jelas tidak akan mengatakan apa-apa. Tidak dengan risiko Miko akan mendatangi Gilbast langsung.
"Bang, aku pusing. Bisa nggak bicarain itu?"
"Oke, oke." Miko secara otomatis mengangguk. Menurunkan volume suaranya dan melonggarkan sedikit dekapannya pada adiknya itu. "Kamu mau dengar kabar Mama nggak?"
"Hm."
Bagi Tasya, mendengar kabar ibu dan ayahnya jauh lebih baik dari pada terus menerus memikirkan seorang Gilbast dengan permintaan anehnya itu. Permintaan yang akan Tasya turuti walau terasa berat.
Cause you want that, so I'll give it.
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Подростковая литератураSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...