[]
"Kemarin siapa?"
Tasya yang tengah duduk langsung berdiri terkejut. Menoleh ke arah samping dan mendapati Gilbast yang menatapnya dengan jenaka. Harusnya sejak kemarin Tasya jawab saja pesan Gilbast. Sepertinya cowok itu tidak akan berhenti bertanya sebelum mendapat penjelasan darinya.
"Lo kok bisa sampai di sini sih?" Gadis itu menyipitkan mata sipitnya. Hingga terlihat bahwa dia seperti tengah memejamkan mata.
"Kenapa memang? Kan masih wilayah sekolah. Berhak juga dong aku." Gilbast duduk, membuka kotak bekalnya. Tasya diam, masih memandang cowok itu.
"Jangan dilihat sampai segitunya. Nanti jatuh cinta," celetuk Gilbast membuat gadis itu salah tingkah. Tasya memilih membuang muka dengan ketus, lantas membuka plastik pembungkus rotinya.
"Makan roti lagi? Gak pernah bawa bekal ya?"
"Bukan urusan lo."
Tasya tidak tahu mengapa. Tapi jika dengan Gilbast dia hanya merasa harus berbicara kasar. Dia harus menggunakan nada-nada tinggi. Dia harus terlihat seperti orang bar-bar. Seperti dirinya yang dulu.
Tapi kenapa?, dalam hati gadis itu selalu bertanya heran. Gilbast yang melihat Tasya diam, tiba-tiba memiliki sebuah ide. Tangan kanan cowok itu terangkat dan terulur pada Tasya.
"Aaaa~"
"Apaan sih?! Lo pikir gue bayi?"
Gilbast tersenyum mendapat tanggapan seperti itu dari Tasya. "Cuma mau berbagi aja sama bidadari."
Merona sudah pipi Tasya. Dia bukan gadis yang akan begitu saja termakan rayuan gombal seorang lelaki. Tapi entah mengapa, jika itu Gilbast, maka akan selalu berhasil. Dia akan terpesona. Salah tingkah tidak jelas dan berujung dengan keluarnya sifat bar-bar nya, sebagai pengalih rasa yang menjalar itu.
"Ayo buka mulut." Gilbast masih menyodorkan sesendok bekalnya. Ada nasi goreng, brokoli, dan potongan sosis juga telur. Bekalnya cukup sehat.
Meskipun sempat menolak, tapi perut Tasya tidak bisa diajak kompromi. Gadis itu sangat lapar saat mencium bau khas dari nasi goreng. Pada akhirnya, dengan malu-malu yang kental sekali, Tasya melahap makanan Gilbast.
"Enak!" Mata Tasya mengerjap. Mencecap rasa yang tersisa di lidahnya berkali-kali. Dia bisa memasak nasi goreng, tapi ini, nasi ini yang paling enak yang pernah dia makan.
"Makasih. Ini buatanku sendiri." Gilbast tersenyum simpul, membuat cekungan kecil di sana. Pipi kanannya.
"Ganteng."
"Iya tau."
Tasya menutup mulutnya. Tanpa sadar dia menyuarakan terlalu keras isi pikirannya. Gadis itu memukul kepalanya sendiri begitu dia mendengar tawa halus dari Gilbast. Dalam hati memaki, bodoh, bodoh, Tasya bodoh.
Gilbast menarik sebelah tangan Tasya. Menghentikan kekerasan yang gadis itu perbuat sendiri. "It's okay. Kamu lucu, tambah gemesin."
Gilbast please, jangan buat aku jantungan.
[ᆢᆢᆢ]
Tasya tengah berada di dalam mobil jemputannya dengan masih Pak Anwar sebagai sopir. Gadis itu mendesah lega saat akhirnya dia terbebas dari hal yang bisa membuatnya jantungan setiap waktu. Siapa lagi jika bukan Gilbast.
Entah hal apa yang Gilbast gunakan, tapi kata-kata cowok itu selalu sukses memberikan gelayar aneh pada jantungnya. Tasya tidak bisa berhenti untuk berpikir soal Gilbast dan akan merasa sedikit gugup saat laki-laki itu berada di sampingnya untuk waktu yang lama. Meskipun sikap yang ia berikan sangat berkebalikan.
"Non, udah sampai." Pak Anwar mengalihkan perhatian Tasya. Gadis itu hanya tersenyum kecil dan beranjak turun dari mobil.
Saat kakinya menapaki lantai ubin pada beranda depan, Tasya mendengar suara gaduh. Gaduh yang hebat. Gadis itu memilih untuk mengintip.
"Dia siapa, Mas? Jangan bilang kamu selingkuh sama perempuan itu!" Itu suara ibunya, air mata sudah membalut pipi putihnya. Hijab yang wanita itu kenakan tampak awut-awutan, tidak keruan.
"Jangan seenaknya bicara. Dia cuma teman kerja." Ayahnya berbicara dengan nada tinggi.
Tasya tidak tahu apa yang sebelumnya terjadi, tapi gadis itu dapat menarik benang merah. Ayahnya sepertinya ketahuan bermain api dengan wanita lain.
"Jangan bohong, aku tau kamu pasti ada main sama perempuan ini. Gak mungkin teman kerja panggil sayang-sayangan di chat. Kamu selingkuh kan!" Final, Mamanya menuduh Ayahnya selingkuh. Bukti sudah perempuan itu kantongi, beliau melihat dengan mata kepala sendiri betapa mesra hubungan keduanya.
"Aku bilang teman, ya teman!" Sekali lagi, nada suara Ayahnya naik satu oktaf.
"Bohong! Aku kurang apa, sampai kamu tega bohongin aku." Mamanya masih terus mendera ayahnya. Tasya tahu sebentar lagi Ayahnya akan mencapai batas.
Dan saat itu tiba, Tasya hanya bisa menahan napas. Membelalakkan mata saat melihat kejadian yang cepat itu. Namun di matanya terasa sangat lamban. Denting gelas pecah dan suara tamparan terdengar. Gadis itu membekap mulutnya, mencoba tidak berteriak ataupun menerjang masuk. Tasya terlalu pengecut untuk terlibat dalam urusan rumah tangga orang tuanya, walaupun sebenarnya dia sangat ingin.
"Dek, ngapain di sana?" Suara Miko, Tasya dengan cepat berbalik dan mendapati Miko di belakangnya. Baru saja pulang kerja. Tak peduli dengan apapun, gadis itu menghambur dalam pelukan Miko. Tasya menangis.
"Udah, udah, kita pergi dari sini." Miko yang mengerti kondisi tidak kondusif di dalam sana memilih untuk mengungsikan Tasya terlebih dahulu.
Di tengah tangisnya, gadis itu berkata serak, "Iya Bang, bawa Acha kemanapun asal jangan pulang." Prahara baru saja di mulai dalam keluarganya.
[] K.R
Dedicated to : NatasyaShafaKhairana
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...