[]
Memang bukan salah Gilbast. Jelas dirinya yang memaksa. Memang dari awal, Tasya tahu akan hal ini. Tetapi dia tetap tidak bisa menerima begitu saja, tanpa penjelasan pasti dari Gilbast. Tapi, bahkan setelah mendengarnya langsung, Tasya seolah kehilangan pegangannya. Gadis itu hanya bisa diam, menatap lurus, dan tidak lagi menjawab apapun yang Gilbast tanyakan. Tidak peduli cowok itu berekspresi khawatir. Tidak peduli cowok itu mengguncangnya dengan sekuat tenaga. Meneriakinya. Pupilnya mengecil, terlihat ketakutan.
"Ka-kamu baik-baik aja, kan?"
Tasya mendongak, menatap lurus dengan mata penuh takut pada Gilbast. "Gue rasa emang kita nggak boleh dekat-dekat. You have your own live. And me too."
"Tapi Na, aku ... aku kira kamu bakalan ngerti setelah aku cerita semuanya." Gilbast mengeratkan pegangannya pada bahu gadis itu. Merasa frustasi karena dia tidak akan menyangka, hasil terburuklah yang akan dia dapat. "Aku pikir kita bisa kembali bersama-sama."
"Lo sinting?!" Tasya meledak, menepis kedua tangan Gilbast. "Lo berharap kita baikan setelah semua ini? Lo bener-bener gila. Gue mungkin cukup hilang akal saat gue bilang bakalan kasih nyawa gue demi lo. Tapi keluarga? Itu sesuatu yang lebih besar dan gue nggak bisa kasih."
"Jadi kita akan kembali seperti dulu?" Gilbast lesu. Tidak ada lagi semangatnya dalam mata cowok itu. Dia benar-benar menghentikan mereka berdua. Benar-benar putus asa dengan hubungan keduanya. Hubungannya dengan Tasya.
"Iyalah. Kayak yang lo mau, kita cuma orang asing mulai detik ini."
[ᆞᆞᆞ]
Tasya menutup matanya dengan lengan kanan. Hari ini terasa memuakkan. Kepalanya pening dan perutnya terasa diaduk-aduk. Ludahnya terus-menerus tidak mau berhenti untuk keluar. Hingga dia harus sering kali tersedak. Tubuhnya sedikit gemetaran dan dia merasa nafsu makannya menurun. Melihat makanan hanya membuatnya mual. Tapi lambungnya sudah sangat perih, karena tidak ada makanan yang masuk. Lebih dari semua itu, Tasya takut pada Gilbast.
Suara ketukan menghentikan pemikiran Tasya. "Cha, Abang boleh masuk?"
"Masuk aja."
Pintu terbuka dan Miko terlihat di sana. Dengan wajah bahagia, meskipun kemejanya lusuh dan menampakkan penampilah lelah. Namun, sorot matanya tidak benar-benar lelah. Kebalikannya, laki-laki muda itu terlihat sangat-sangat bahagia. Seolah-olah mendapatkan uang ratusan triliun rupiah.
"Seneng banget. Kenapa?" Tasya menangkap semua itu tanpa terkecuali. Dan dia merasa sangat penasaran dengan itu. Tidak biasanya Miko akan terlihat bahagia dengan masalah dalam keluarga mereka. Terlebih ini soal perceraian.
Apa mungkin ... hubungannya?
"Ayah sama Mama nggak jadi cerai!" Suaranya girang sekali. Miko berlari masuk dan memeluk Tasya dengan cepat. Tidak peduli betapa baunya gadis itu karena masih bersimbah peluh, belum melepas seragam, dan belum menyentuh air.
"Semuanya berakhir damai. Dan Mama percaya kalau semua itu cuma omong kosong. Prank dari Ayah. Abang seneng banget!"
Wow. Tasya tidak tahu hal ini akan terjadi. Karena dia pikir, semuanya sudah selesai. Keluarganya hancur dan Gilbast pergi. Keluarganya terancam kalau dia tidak sesegera mungkin berjauhan dengan Gilbast. Tapi sekarang, keluarganya baik-baik saja.
Mungkin ... kalau aku minta dia ....
"A-abang beneran?" Tasya bertanya gugup. Diam-diam mencubit kulit tangannya sendiri.
"Bener Dek, suer deh. Kalau kamu nggak percaya, kita telepon Mama sekarang. Biar Mama yang jelasin semuanya sama kamu."
"Then call her."
Miko melakukan perintah Tasya dengan segera. Masih dengan raut wajah gembira yang sangat jelas, pria itu menghubungi Mama-nya yang masih berada di Bogor. Raut wajah Miko semakin gembira saat berbicara dengan ibu kandungnya.
"Ma, Acha mau bicara nih." Miko berbalik, menjulurkan ponselnya kepada Tasya.
"Halo ... Ma?" Suara Tasya bergetar.
"Hai sayang. Maaf, Mama baru bisa telepon kamu hari ini. Mama baru dapat kepastian tentang semua ini hari ini sayang. Maaf ya sudah buat kamu dan Miko nunggu lama."
"Jadi ... jadi, nggak ada yang cerai?" Tasya semakin mengecilkan suaranya. Tercekat sendiri dengan ludahnya.
"Iya sayang. Kamu tau, ternyata Ayah cuma mau kasih surprised untuk ulang tahun pernikahan kami, nak." Suara Mama-nya sangat bahagia. Bahkan di ujung sana sudah terdengar suara berat khas milik ayah Tasya.
"Ta-tapi, Ayah mukul Mama!" Tasya masih tidak percaya dan dia masih sangat janggal untuk masalah ini.
Mungkin sedikit menyedihkan, tapi rasanya ini terlalu cepat selesai.
"Oh, masalah itu, Ayah udah minta maaf langsung malam itu juga. Ayah lagi banyak kerjaan di kantor dan Mama juga salah, karena nampar Ayah lebih dulu." Ada tawa kecil dan senda gurau yang hangat di ujung sana. Itu semua membuat Tasya tidak habis pikir. Sama sekali tidak mengerti semudah itu untuk membolak-balik hati manusia.
"Mama sama Ayah pulang akhir minggu ini. Kalian juga harus pulang ke rumah, ya?"
Tasya menjawab kecil dan memilih mengembalikan ponsel Miko pada pemiliknya. Membiarkan ketiganya larut dalam suasana bahagia. Gadis itu memilih untuk kembali masuk ke dalam kamar. Merenungi kejadian hari ini. Dan Tasya benar-benar merasa ada kesalahan. Keluarganya sempat terancam, tapi sekarang baik-baik saja. Sedangkan hubungannya dengan Gilbast yang dulu sempat terancam, sekarang tengah di ujung tanduk.
"Sebenarnya ada apa?"
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Teen FictionSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...