[ 25 ]

29 1 0
                                    

[]

Gilbast diam. Bukan karena dia berniat untuk menyudahi segala hal ini, tapi karena dia terkejut dengan nada pilu yang Tasya berikan. Bahkan dia bisa merasakan tangannya sedikit gemetaran dan berkeringat.

Apa aku salah?

Gilbast menggigit lidahnya sendiri. Meneriakkan kata tidak keras-keras dalam kepalanya. Dia harus berhenti mengatakan semua ini salah, karena dia tidak bisa terus-menerus berada di samping Tasya. Kecuali dia ingin melihat gadis itu menderita, dan hal ini tidak akan terjadi.

"Aku... aku nggak ngerti apa yang kamu pikirin. Aku bahkan nggak paham kenapa kamu tiba-tiba minta aku buat pura-pura nggak kenal sama kamu. Aku sama sekali nggak bisa nemuin sesuatu yang benar di sini. Di antara semua hal ini."

Tasya menunduk, menatap langsung pada kedua tangannya yang memegang seragam bagian pinggang Gilbast dengan erat. Tangannya tegang dan gemetaran, sebelum merasa relaks. Seolah-olah gadis itu menemukan pegangannya saat badai terjadi. Tasya bahkan terang-terangan memohon untuk bisa menghentikan waktu. Untuk bisa merasakan hal semacam ini lebih lama lagi. Karena dia ingin hal ini berlangsung selamanya. Menyentuh Gilbast lagi, berbicara dengan cowok ini lagi, dan melakukan banyak hal bersama lagi.

Benar kata orang, hal yang berharga akan terasa berharga saat itu hilang.

"Lo udah tanya banyak hal waktu itu. That's enough."

"Ya, itu cukup. Tapi permintaan kamu selanjutnya yang bikin semua pertanyaan lain muncul di kepalaku."

Gilbast berbalik, menggenggam tangan Tasya erat. Seolah-olah gadis itu akan pergi dengan cepat jika dia lepas begitu saja. Matanya juga memancarkan pandangan yang sama seperti dulu. Hal yang mampu membuat Tasya kembali tersenyum semanis dulu. Kembali memberikan senyuman penuh kelegaan. Namun semua itu hanya untuk sementara, karena Gilbast langsung melepas genggaman mereka.

Gilbast kembali membentangkan jarak. Melepas genggaman mereka. Kembali menatap dingin dan acuh. Persis seperti melihat gadis sebagai orang asing. Seperti gadis-gadis yang sering mengelilinginya dulu. Dan Tasya membalas pandangan itu dengan tatapan tertegun. Terkejut dengan sangat dan melunturkan senyuman manisnya.

"You have the answer."

"What answer?! Jawaban apa yang aku punya? Aku bahkan nggak ngerti kenapa aku bisa sesakit ini kamu tinggal! Aku nggak punya jawaban apa-apa Gilbast. I don't have anything." Tasya berteriak, air matanya turun lagi dan itu membuat Tasya kembali memaki dalam hati. Dia mungkin memang berniat untuk memprotes segalanya, tapi tidak dengan air mata.

"You will. Apapun yang lo rasain soal gue. Soal kelakuan gue. Soal semua itu, lo tau jawabannya." Gilbast kembali berbalik. Mengepalkan kedua tangannya erat-erat. Menahan gejolak emosi yang dia rasakan dengan kuat.

Tasya memilih jawaban umum, "Kamu bosen?"

"Exactly. I'm bored with you."

[ᆞᆞᆞ]

Itu bohong. Dia bohong. Jangan percaya.

Tasya terus merapal mantra-mantra itu dalam kepalanya. Terus-menerus tidak percaya dengan apa yang terjadi. Dengan percakapan tidak masuk akal mereka. Tasya menolak untuk percaya, meskipun kesadarannya selalu berkata itu benar.

Kini tubuhnya bersandar pada dinding bangunan. Masih tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk bangun. Gadis itu masih sepenuhnya terkejut, meskipun sudah mencoba untuk mensugesti diri sendiri.

"Kamu yang namanya Natasya?"

Tasya menoleh, mendapati seorang gadis dengan rambut pirangnya yang terlihat asli. Meskipun Tasya yakin itu hanya sebuah cat rambut mahal yang terlihat berkilauan saat tertimpa cahaya matahari.

"Siapa ya?" Tasya menyelidik, menatap gadis yang berdiri menjulang di hadapannya dengan teliti. Berharap menemukan secuil kenangan yang mungkin bisa menjadi acuan baginya. Tapi, hasilnya adalah nihil. Tasya tak pernah bertemu dengan gadis ini sebelumnya.

"Nggak penting siapa. Kamu Tasya, kan?" Gadis itu melangkah mendekat. Sekarang berdiri lima langkah di hadapan Tasya.

"Nggak penting lo tau siapa gue." Tasya memberi balik ucapan gadis itu. Rasa-rasanya hatinya semakin buruk bertemu dengan gadis tidak jelas itu. Ingin Tasya menarik rambut bercat imitasinya dengan kuat dan berteriak memaki, tapi dia harus tenang. Tasya tidak boleh melampiaskan emosi gilanya pada orang yang salah.

"Kamu!" Nada gadis itu naik dua oktaf. Pandangannya berubah sengit. "Ini yang katanya Queen Bee? Nggak ada akhlak."

Tasya memilih diam. Tidak peduli dengan ucapan sembrono si pirang ini. Dia bahkan dengan santainya membuka bungkus permen dan memakannya. Menatap koridor-koridor yang tampak mulai ramai. Bel istirahat sudah berbunyi rupanya. Dan Tasya melewatkan waktu biologi yang sangat dia suka. Tidak apa, dia masih punya banyak waktu.

"Heh! Kamu nggak tau sopan santun ya? Aku lagi bicara, dengerin."

Tasya melirik sedikit. Terlihat sama sekali tidak tertarik. "Emang lo siapa? Perlu banget gue dengerin."

"Orang tua kamu nggak pernah ngajarin etika ya? Oops, I forgot! Mereka lagi proses cerai. Pantes anaknya jadi liar gini."

"Brengsek! Mau lo apa, Bitch?" Emosinya tersulut. Kali ini benar-benar menarik kerah seragam gadis itu. Matanya memancarkan kemarahan yang mendalam.

"Jauhin Gilbast atau hidup kamu sengsara."

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang