[]
"Duh, kenyang banget." Tasya menepuk perutnya beberapa kali.
"Maaf nih, aku nggak bisa bawa kamu ke tempat yang lebih layak."
Tasya mengangkat bahu acuh tak acuh, "Well, tempat ini juga layak."
"Tapi tetep aja aku sungkan sama kamu, Na."
Tasya tidak menggubris ucapan Gilbast. Gadis itu memilih untuk melambaikan tangan dan berjalan ke luar dari warung lesehan tersebut.
"Abis ini kita mau ke mana?"
"Masih mau jalan-jalan lagi? Udah malem loh, Na."
"So what?" Tasya berbalik, menatap Gilbast bingung.
"Nggak baik buat cewek keliaran malem-malem gini. Banyak kejahatan yang terjadi dan korbannya hampir sembilan puluh persen perempuan."
Tasya mendengkus sebal, memilih untuk duduk kembali. Tidak suka dengan kata-kata soal hal-hal semacam itu. Baginya sekarang adalah waktu untuk emansipasi wanita. Perempuan dapat melakukan apa saja.
"Serah lo dah maunya gimana. Capek gue mau debat sama lo."
Gilbast ikut duduk di sebelahnya, menatap raut wajah cemberut yang Tasya pasang. "Nggak usah ngambek juga dong princess. Ayo dah kita jalan-jalan lagi. Apapun yang bisa aku lakukan, bakalan aku kasih ke kamu." Tak lupa satu telunjuknya menoel pipi Tasya yang cukup gembil.
"Apaan sih, lo kira gue anak kecil apa?" Meskipun nada suaranya masih ketus, tapi ada sebuah senyum samar pada bibir Tasya. Bahkan pipinya berubah kemerahan. Bersemu.
Giblast berdiri, mengulurkan tangan. "Kuy, kita bedah Jakarta."
"Dikira Jakarta itu tubuh manusia kali, pake di bedah segala." Tasya mencibir, mengambil uluran tangan Gilbast.
"Biar aku kelihatan pinter."
Dan mereka tertawa, kalimat yang aneh. Kalimat yang seharusnya tidak membuat keduanya tertawa. Meskipun begitu keduanya tetap tertawa, mentertawakan kebodohan masing-masing. Dalam hati, bertanya-tanya kenapa menjadi seperti ini.
Lama dalam sunyi dan hening. Keduanya masih berjalan di pinggir jalan, menyusuri trotoar dengan deru knalpot sebagai pengiring. Keduanya masih bergandeng tangan. Tanpa sadar tak ingin melepaskan ikatan yang baru saja terjadi dengan spontan.
Tasya menengadah, menatap langit kota Jakarta yang gelap. Hanya ada sepotong bulan sabit di sana, menggantung sendirian dengan kerlap-kerlip bintang yang terkadang muncul. Namun, lebih banyak menghilang.
"Na, aku boleh tanya sesuatu nggak?" Gilbast membuka suara.
"Tumben pakai izin. Kesambet jin di mana?" Bukan tanggapan yang ingin Gilbast dapatkan. Tapi lebih baik dari pada tidak sama sekali.
"Ntar kamu marah lagi kalau aku tiba-tiba tanya."
Tasya terkekeh sejenak, merasa geli karena Gilbast khawatir dengan hal semacam itu. "Lo tuh aneh, jauh lebih aneh daripada gue. Dah lah, tanya aja."
"Apa yang kamu pikirkan soal semua hal yang terjadi hari ini?" Ada remasan singkat pada kedua tangan mereka yang bertaut. Gilbast pelakunya. Cowok itu mungkin sedikit gugup dengan jawaban yang akan Tasya berikan.
Dia sudah memikirkan hal paling buruk. Hal terburuk dari yang paling buruk. Dan itu bukan sesuatu yang Gilbast inginkan untuk terjadi. Itu satu-satunya bayangan yang dia doakan untuk tidak pernah menjadi nyata.
"Gue takut." Tasya membuka suara, meningkatkan degup jantung Gilbast.
Jelas takut, siapa juga yang nggak takut setelah ngelihat penyerangan kayak begitu. Gilbast memberikan argumennya dalam hati.
"Tapi lebih dari semua itu. Gue ngerasa tertantang." Gilbast menoleh ke arah Tasya. Melihat ada pancaran kekuatan dan rasa yang pekat pada kedua mata gadis itu.
"Gue ngerasa senang aja waktu kita kejar-kejaran. Waktu kita kucing-kucingan sama orang-orang berseragam itu. Dan gue, ingin suatu saat nanti tonjok salah satu di antara mereka. Sekalian ngelatih teknik bela diri gue."
Tinjunya terkepal, kilatan pada matanya semakin menjadi. Tasya benar-benar bersemangat, terlalu bersemangat. Hal ini adalah hal yang tak pernah Gilbast sangka, bagaimana mungkin gadis di sebelahnya bisa berkata seperti itu setelah semua hal yang mereka lewati. Aneh.
"Kamu emang aneh Na."
Tasya hanya tertawa. Terkikik pelan sebelum tiba-tiba berhenti. Ada remasan kecil pada tangannya. Lagi-lagi pelakunya adalah Gilbast. Tasya menatap cowok itu, melihat wajahnya yang berubah gelap. Lebih ke arah tegang dan takut. Namun, bukan takut mengenai dirinya. Gilbast takut hal buruk menimpa dirinya.
"Na, kalau aku bilang lari kamu harus lari sekencang-kencangnya. Jangan pernah sekalipun kamu noleh ke belakang. Apalagi sampai bertindak bodoh. Ngerti?" Nadanya tiba-tiba mendingin. Tasya tahu ada hal salah yang tengah terjadi pada Gilbast. Cowok itu pasti melihat sesuatu. Lebih tepatnya orang-orang berseragam. Mereka-mereka yang baru saja keduanya bicarakan.
"Gue nggak mau." Tasya menolak mentah-mentah. "Gue bisa bela diri. Gue nggak tolol kalau cuma ngadepin orang-orang aneh itu. Gue nggak takut. Gue sangat-sangat berani dan gue lagi gatel banget mau nonjok orang."
"Please Na, sekali aja turuti apa kataku. Aku mau kamu selamat. Selalu selamat."
"Tapi bukan dengan cara egois kayak gini Gi."
Bantahan Tasya dan sikap berani gadis itu yang tidak pernah disangka Gilbast hanya membuat pikiran pusing. Jika Tasya benar-benar tidak mau untuk bekerja sama dengannya. Maka hancur sudah. Gilbast mungkin bisa bertarung dengan orang-orang itu, tapi tidak jika dia berada di kondisi untuk juga melindungi. Gilbast masih belum bisa melakukan keduanya. Dan dia tidak akan mengambil risiko untuk membiarkan Tasya ikut mengambil peran dalam perkelahian nanti.
"Na, please. Aku mohon sekali ini."
Tasya menggeleng, masih kokoh dengan pendiriannya. "Lo bisa terluka kalau cuma berantem sendiri."
"Ok. Kalau kamu nggak mau, aku bisa sendiri."
Lalu cowok itu pergi. Berlari memasuki kerumunan orang-orang di sana. Mungkin terlalu berisiko, tapi untuk keamanan Tasya apapun akan Gilbast lakukan. Anggap cowok itu gila, tapi dia akan bahagia selama Tasya baik-baik saja.
"Bodoh!"
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Fiksi RemajaSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...