[ 37 ]

18 1 0
                                    

WARNING!
17+

Terdapat adegan kekerasan dan darah. Yang tidak mampu dan belum cukup umur, mohon tinggalkan part ini.
Masih ingin membaca? Silahkan, tapi risiko ditanggung masing-masing. Saya sudah ingatkan.

tolong bijak memilih bacaan.


[]

"SINTING LO RA!"

"Iya, teriak aja. Teriak aja sampai pita suara kamu putus!"

Aura tertawa dan tertawa. Gadis itu benar-benar telah kehilangan akal. Dan Tasya semakin yakin dia harus cepat-cepat mencari jalan keluar dari tempat ini. Dia tidak mau untuk mati muda. Apalagi mati dengan alasan konyol seperti seorang cowok yang bahkan tidak memiliki tempat di hatinya. Harusnya Aura tahu itu, harusnya gadis itu sadar bahwa Tasya hanya menempatkan Gilbast sebagai sahabat. Orang asing yang menolongnya beberapa kali dan mereka berubah menjadi teman berbicara, lalu berakhir dengan persahabatan yang terjalin dan sering mengelilingi kota bersama. Harusnya Aura tahu tidak ada yang istimewa.

Atau lo cuma nyangkal perasaan Gilbast yang kentara banget?

Tasya menggeleng mendengar sebaris kalimat dari pikirannya. Dari awal dia sudah berjanji untuk tidak jatuh hati pada Gilbast, karena dari awal Tasya sudah merasakan hal aneh. Semua hal yang Gilbast lakukan dan punya hampir semua, jadi pasti ada yang tidak beres dengan orang-orang disekelilingnya. Terbukti dengan beberapa rahasia yang Gilbast ceritakan padanya dan lalu Aura yang adalah calon tunangannya nanti. Gadis sakit jiwa yang tidak bisa menerima takdir. Menyedihkan.

"Nah, mau kita mulai dari mana?" Gadis itu mengeluarkan beberapa peralatannya. Menyusunnya pada meja di ujung ruangan dan terlihat sangat senang saat memilah mereka.

"Mending lo sekarang ke terapis. Otak lo butuh dibetulin."

"Segera setelah mayat kamu membusuk."

GOD! Ini cewek gila banget. Kenapa gue harus terjebak sama manusia macem ini? Gue mau pulang!

Rasanya Tasya ingin menangis saat itu juga, tapi gadis itu menahannya mati-matian. Dia tidak ingin terlihat lemah dan takut di hadapan Aura, meski itu kenyataannya. Dan ketakutan semakin meningkat saat Aura mulai berbalik, tersenyum lebar, mulai melangkah ke arahnya. Kedua tangan gadis itu tersembunyi di balik punggung.

"You sweating. Are you afraid Princess?" Ada siulan bahagia diakhirnya. Benar-benar psikopat.

"Kalau lo bunuh gue, gue bersumpah Gilbast bakalan bunuh lo."

"Hahaha ... bunuh aku? Gilbast? Dia terlalu lembut untuk membunuh. Dia malaikat, terang dan lembut. Tidak ditakdirkan untuk membunuh Natasya." Aura semakin dekat dan jantung Tasya ingin sekali meloncat keluar. "Yang ditakdirkan membunuh di sini adalah aku. Iblismu yang manis."

"BRENGSEK! Lo gak waras Ra! Apa yang orang tua lo katakan kalau tahu anaknya itu psikopat gila cuma gara-gara cintanya sepihak? Harusnya lo pikirin orang tua lo."

Aura tidak memberikan respon, gadis itu terus mendekat hingga sampai tepat di hadapan Tasya. Lagi-lagi menyentuh pipinya, meninggalkan sensasi kengerian yang aneh di sana.

Aura memutarinya, melepas ikatan rambut Tasya. Membiarkan rambutnya menjuntai dan menariknya perlahan. Terus menarik hingga kepala Tasya menengadah. Lalu semuanya terjadi dengan cepat.

Aura menggerakkan tangan kanannya. Melayangkan pisau rotinya yang bergerigi dan tajam pada pelipis kirinya. Menciptakan goresan melintang tidak rata. Jeritan Tasya terdengar mengerikan. Dan semakin mengerikan saat gadis itu tahu, Aura kembali melancarkan serangan. Tasya sudah menggerakkan kepalanya saat pisau itu kembali mendarat pada permukaan pipinya. Tapi, tarikan Aura pada rambutnya menguat dan itu membuat rasa sakitnya meningkat.

"Diam Tasya atau pipimu akan benar-benar terkoyak." Suaranya terdengar sangat pelan. Dingin. Jauh. Gadis itu tidak lagi berada dalam tubuhnya.

Tasya pada akhirnya diam. Pisau itu terlalu dekat dengan matanya. Bergerak sedikit saja, bukan hanya kulit pipinya yang robek, dirinya akan kehilangan kesempatan untuk melihat dunia lagi.

"Anak pintar." Telinga Tasya tidak menyukai sensasi dingin saat Aura berbisik di sana. "Dan yah, orang tuaku tidak peduli anaknya bersikap seperti apa. Selama tidak ada yang tahu. Selama aku bisa bermain dengan aman."

"Jadi selamat datang di neraka."

Tangan kiri Aura bergerak. Menancapkan pisau lain pada lengan kiri Tasya. Sangat dalam dan itu menyakitkan. Lengan kirinya ngilu dan pening seketika menyerang kepalanya. Tasya tidak sanggup untuk hal semacam ini. Satu jeritan lain kembali lolos dari mulut Tasya.

"Ups maaf, apa aku terlalu kuat menancapkannya? Sebentar akan aku keluarkan." Dan Aura memutar pisau menteganya. Membuat rasa sakit menjalar ke seluruh tubuh Tasya.

Pisau itu mungkin berujung tumpul, tapi itu yang membuat Tasya semakin kesakitan. Aura benar-benar menghujamkan dengan keras hingga bisa menembus kulit dan dagingnya. Darah segar merembes keluar. Mengalir sama derasnya dengan air mata pada pipinya. Membuat luka pada pipinya semakin sakit. Pening dan nyeri pada kepalanya pun tidak membantu sama sekali.

"Jangan menangis, Tuan Putri. Ini baru permulaan."

Itu hal terakhir yang dapat Tasya dengar. Pandangannya mengabur dan kemudian gelap. Tasya memilih menyerah.

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang