[]
Tasya bangun dari tidurnya saat merasakan ponselnya terus berdering. Mengganggu mimpi indah gadis itu. Tasya meraih dalam gelap, menggapai ponselnya pada pinggir nakas. Tanpa melihat siapa nama penelepon, Tasya mengangkat panggilan tersebut.
"Aku mengganggu mimpimu, Tuan Putri?"
Mata Tasya terbuka sepenuhnya, menyadari itu bukanlah suara yang selalu dia dengar. Dan sapaan itu membuat bulu kuduknya berdiri. Yang menghubunginya adalah seorang gadis, tapi Tasya tidak bisa mengingat siapa gadis itu dan apa alasannya menghubungi Tasya selarut ini.
"Heh, nggak ada yang namanya Tuan Putri di sini. Anda salah sambung."
"Ah, Tuan Putri jangan galak-galak seperti itu. Pangeran Gilbast jelas menyukai kelembutan yang Tuan Putri berikan."
Kata-kata dari penelepon aneh itu membangunkan Tasya lebih cepat. Nama Gilbast yang terdengar dalam pendengarannya benar-benar mengusik Tasya. Otaknya bergerak cepat untuk mengetahui siapa sebenarnya penelepon ini. Dan Tasya tak menemukan siapapun. Tidak ada yang tahu jika Tasya kembali menemui Gilbast dan berbicara dengan cowok itu. Tasya belum sempat mengatakannya pada siapapun. Dan seingatnya, mereka hanya berdua hingga akhir.
"Siapa lo? Jangan aneh-aneh, Gi!"
"Wah, wah, jadi saya dianggap sebagai Pangeran Gilbast? Suatu kehormatan bagi saya."
"Sumpah ya, eneg gue dengar suara lo. Please lah, kalau mau nge-prank jangan gue juga dan jangan jam segini. Sinting lo."
Ada tawa kecil di ujung sana dan itu semakin membuat Tasya merinding. Gadis itu tidak pernah diteror semacam ini sebelumnya. Dan dia tidak pernah benar-benar diteror sebelumnya. Jadi gadis itu tidak tahu harus berbuat apa.
"Sumpah lo sinting! Gue doain cepet masuk surga deh."
[ᆞᆞᆞ]
Semenjak telepon dini hari itu, hidup Tasya kembali tidak damai. Ada banyak teror dan gangguan yang hadir. Mulai dari penelepon-penelepon gelap, hingga paket-paket bangkai binatang yang tak bertuan. Di lain sisi, hubungan keluarganya, hubungannya dengan Gilbast, dan kehidupan sekolahnya baik-baik saja. Bahkan, sangat luar biasa baik. Tapi dengan segala teror yang hadir, Tasya tetap tidak bisa tinggal diam.
Gadis itu mungkin tersenyum dan terlihat bahagia sekali di luar. Namun, otaknya akan terus berpikir dan menempatkan semua orang sebagai pelaku hingga menemukan alibi terbaik untuk mereka.
"Ini udah seminggu kamu bertingkah aneh, Na. Something happens, right?"
Ini kesekian kalinya mereka makan bersama di atap. Sesekali Brian ikut menemani, tapi waktu makan siang mereka lebih sering dihabiskan hanya berdua saja.
Gilbast menatap Tasya bingung. Rautnya sangat kentara, meskipun remaja laki-laki itu sudah mencoba untuk tersenyum. Terlihat jelas ada kekhawatiran, takut, dan bingung yang tercampur satu.
"Probably yes. Ada sesuatu atau seseorang. Firasatku itu Aura, tapi aku belum punya cukup bukti."
"Aura ya," Ada nada sesal dan kesal pada ucapan Gilbast. Tangan cowok ini terkepal erat. "Perlu aku yang memastikan?"
Tasya mengulurkan tangan. Dengan sedikit ragu-ragu menggenggam tangan Gilbast. "Jangan lakuin apapun. Aku rasa Aura akan senang kalau kamu ikut ikut campur. Selama dia nggak bahayain aku, I still can fight alone."
Gurat kekhawatiran pada wajah Gilbast mengendur. Larut menjadi senyuman tulus dan menghangatkan bagi Tasya. Genggaman mereka terlepas, saat Gilbast memilih untuk mengulurkan tangannya pada Tasya. Mengusap puncak kepala gadis itu.
"You're strong girl, Na. Aku nggak akan biarin dia macam-macam sama kamu."
Tasya hanya bisa membalas dengan senyuman. Diperlakukan semacam itu hanya membuat Tasya jatuh hati. Meskipun, gadis itu sempat membuat janji untuk tidak jatuh dalam hati Gilbast. Tapi tetap saja, Tasya akan selalu jatuh.
"Woy! Berduaan mulu. Ti-ati ada setan."
"Lo setan, Yan."
Brian tersenyum masam. Segera mengambil tempat di depan keduanya. Membentuk formasi segitiga.
"Pada bahas apa?"
"Aura mulai gerak." Bukan Tasya, Gilbast yang angkat bicara. Cowok itu bahkan tidak mempedulikan tatapan tajam Tasya.
"Lah iya? Ngapain lagi itu bocah?" Brian menyambut dengan respon heboh. Tangannya membuka bungkus plastik dari roti rasa melonnya.
"Gi!"
"Santai aja, Na. Brian udah kenal lama sama Aura. Kita bertiga sering main bareng dulu. Dan Brian juga udah tahu busuknya Aura." Gilbast segera memberi penjelasan. Membuat Tasya sedikit menurunkan kekhawatirannya.
"Some cased, gue bantu cegah Aura. Gue bakal tahan itu iblis kecil biar nggak ganggu lo."
"Makasih." Ada senyuman pada bibir Tasya.
Gilbast bertepuk tangan sekali. "Jadi, sampai mana Aura neror kamu?"
Bola mata Tasya bergerak gelisah. Sebelum menghembuskan napas sekali dan melepaskan kepalan tangannya. "Awalnya cuma nelepon biasa tengah malem. Kalau beruntung bakalan ada suara berat. Tapi biasanya, cuma ada suara bising. Sampai akhirnya, mulai ada kiriman-kiriman bangkai binatang. Dan paket itu kayak dipastikan harus aku yang terima. Bukan orang lain."
"Ini udah bahaya. Aura udah masuk tahap dua. Satu langkah lagi sebelum titik akhir."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Novela JuvenilSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...