[ 18 ]

33 4 0
                                    

[]

Ini mungkin adalah hal tergila dan terbodoh yang pernah Tasya lakukan seumur hidupnya. Lebih gila dari pada saat memergoki mantan pacarnya yang tengah bercumbu dengan gadis jalang. Dan lebih bodoh dari peristiwa kaburnya dulu.

"Dan gue ngelakuin hal ini demi Gilbast. Kenapa berasa bucin banget ya?" Gadis itu menggeleng, tersenyum bodoh, dan terus berlari.

Pandangannya menangkap sosok Gilbast di sana. Tubuh jangkung dengan baju seadanya. Masih berlari, beberapa kali menabrak orang-orang. Ada yang memaki, ada yang terkejut, ada yang biasa saja. Namun yang paling parah, orang-orang itu juga terus mengejar Gilbast. Mereka mengejar dengan cepat.

"Shit. Kenapa serumit ini dah?"

Tasya paling tidak suka dengan hal semacam ini. Kaki-kakinya tidak cukup cepat untuk ikut aksi semacam ini. Kejar-kejaran tidak pernah menjadi hal yang cocok untuk Tasya. Bahkan kejar dan Tasya tidak seharusnya diucapkan dalam satu kalimat yang sama.

Tasya mengerahkan tenaga penghabisannya. Dan usahanya berhasil, gadis itu dapat menangkap lengan Gilbast. "Jangan kabur."

Napasnya patah-patah dan Gilbast hanya memberikan raut wajah yang terkejutㅡwalaupun hanya sekejap saja. Cowok itu segera menarik Tasya menuju celah antara dua bangunan besar untuk bersembunyi sementara.

"Tolong jangan bersuara." Gilbast menekan tubuh keduanya, merapat ke dinding. Semua pasti tidak akan menyangka ada dua anak manusia yang tengah bersembunyi di sana. Menghindar dari orang-orang berseragam yang terus berlarian.

Beberapa menit yang terasa sangat-sangat lama, akhirnya Gilbast melepaskan kunciannya. Mundur, memberikan ruang untuk Tasya. Gadis itu menghirup banyak sekali udara. Mengisi paru-parunya yang terasa kering.

"Apa-apan sih lo?! Lo sengaja mau bikin gue mati?" Amarah Tasya tersulut dengan mudah. Gadis itu tidak suka dengan tempat gelap dan sempit. Sangat-sangat tidak suka. Terlebih lagi disudutkan seperti itu. Benar-benar hal yang sudah di-blacklist dari hidupnya.

"Maaf, aku cuma mau ngelindungin kamu Na. Kamu nggak apa kan?" Wajah Gilbast terlihat panik. Kedua matanya memindai Tasya dari atas hingga bawah dan kembali lagi. Raut lega terlihat begitu Gilbast memastikan bahwa Tasya baik-baik saja.

"Lo sinting. Lo nggak tahu seberapa takutnya gue sama tempat gelap! Lo nggak tau seberapa tersiksanya gue sama tempat sempit. Gak waras lo!" Gadis itu masih histeris, belum dengan benar membersihkan ketakutan yang beberapa saat lalu muncul kepermukaan. Matanya masih bergerak liar dan jantungnya berdetak kencang. Teramat kencang.

"Maaf Na, aku benar-benar nggak tahu kalau kamu nggak suka gelap." Gilbast mendekat lagi. Mengikis jarak di antara keduanya. Memeluk Tasya.

Gadis itu menghirup napas dalam-dalam. Menenangkan diri dalam pelukan hangat Gilbast. Pelukan yang nyaman, hangat, dan pas. Terasa memabukkan.

"Kamu maukan maafin aku?"

Tasya hanya menggumam rendah. Memilih untuk tenggelam dalam ruang nyamannya sedikit lebih lama.

"Syukur deh kalau kamu mau maafin aku. Tapi maaf, aku nggak bisa maafin kamu atas tindakan sembrono kamu." Gilbast menarik napas, secara tidak sadar menghirup aroma sampo yang Tasya kenakan. "Kamu jelas masuk zona bahaya dengan datang langsung mengejarku."

"Gue nggak akan, kalau lo nggak tiba-tiba kabur dan cuma ngasih uang tiga ratus ribu. Gue buta arah, gue nggak tau ini di mana, sejauh apa dari rumah gue, dan nggak ada yang gue kenal. Kalau gue minta tolong abang gue, lo bakalan abis sama dia." Tasya melepaskan pelukan mereka. Memilih untuk berkacak pinggang, menuntut penjelasan.

"Aku nggak bisa ngasih tau kamu kebenarannya, maaf. Tapi apa yang kamu lakuin sekarang itu bahaya banget. Mereka bisa aja balik ke sini dan nemuin kita berdua. Aku nggak bisa jamin keselamatan kamu kalau kita sampai ketauan."

"Lo kira gue mau berurusan sama orang-orang gila itu? Gue tau dari awal yang mereka kejar itu lo. Yang gue mau cuma tanggung jawab lo aja sebagai cowok, lo yang datang jemput gue dan minta izin ke abang gue. Jadi lo juga yang harus bawa gue pulang dengan selamat. Jangan main kasih duit terus lari gitu aja."

Sebenarnya bukan itu permintaan Tasya. Sebenarnya dia hanya ingin tahu kenapa Gilbast dikejar sampai seperti itu. Ingin tahu kenapa Gilbast sampai hati meninggalkan dia hanya untuk menghindar dari orang-orang itu.

"Maaf Na aㅡ"

"Bacot." Tasya memotong lebih dulu. Menatap jengkel ke arah Gilbast, tidak suka dengan sikap cowok itu yang mudah mengumbar maaf. "Sekarang lo jelasin semuanya dan bawa gue pulang."

Namun, belum sempat cowok itu menjelaskan, posisi mereka lebih dulu diketahui. Ada banyak yang datang, menutupi mulut gang dengan cepat dan bergerak ke arah mereka. Tasya sudah siap jika sampai dia harus melawan. Tetapi, belum sempat dirinya melawan, tubuhnya sudah jatuh dan pandangannya merabun.

"Maafin aku Na."

[ᆢᆢᆢ]

Tasya tiba-tiba terbangun. Kaget sendiri dengan hal yang baru saja dia alami. Kemudian, merasa linglung karena sudah berada di dalam kamarnya sendiri.

"Yang barusan itu bukan cuma mimpi kan? Gue nggak mungkin mimpi serinci itu." Tasya bangkit, meraba dirinya sendiri. "Bajunya sama kok! Jadi yang tadi bukan mimpi?"

"Kamu kenapa sih Dek? Bangun-bangun malah teriak, konslet ya otaknya?" Pintu kamarnya terbuka dan ada sosok Miko di ambang pintu. Bersedekap dan menatapnya heran.

"Bang, aku tadi keluar sama Gilbast kan? Terus yang ngantar siapa?" Bukannya menjawab pertanyaan sang kakak, Tasya lebih memilih untuk mengajukan pertanyaan pribadi.

"Iya kamu keluar sama itu cowok. Dan yang nganter kamu juga cowok itu. Emang kenapa? Kamu kira semua itu cuma mimpi?" Tebakan Miko tepat sasaran. Dan Tasya hanya bisa melongo, tidak percaya dengan apa yang baru saja terjadi.

"Terus kata Gilbast apa? Apa alasannya pulangin aku dalam keadaan pingsan?"

Miko mengernyitkan dahi, pandangannya sangat bingung dengan apa yang Tasya katakan. "Pingsan? Katanya, kamu ketiduran di rumah neneknya bocah itu. Emang kamu pingsan?"

"Serius Bang. Tadi aku sempet pingsan, suer dah nggak bohong." Tasya masih berpegang teguh dengan apa yang baru saja terjadi.

"Terserah kamu Dek, mending makan dulu. Ada semur ayam bikinan bibi, masih hangat."

Selepasnya, Miko langsung balik kanan dan berjalan menjauhi pintu kamar Tasya. Gadis itu sendiri masih tidak yakin apa yang sebenarnya terjadi padanya adalah mimpi atau bukan. Dia tidak bisa menjelaskan segalanya secara logis.

"Bodo amat dah. Nanti tanya Gilbast aja, sekarang butuh makan."

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang