[ 33 ]

18 1 0
                                    

[]

Tasya tak percaya dengan apa yang dirinya lihat. Baru sedetik yang lalu dia hendak memasuki rumah kembali, menyuruh Gilbast untuk cepat-cepat. Alih-alih, dia menemukan dua tangan besar mendekap dan menyeretnya. Menarik paksa dirinya menuju sebuah mobil. Gadis itu sempat berteriak, berharap Gilbast akan membantu. Tapi cowok itu tidak segera keluar. Tasya ketakutan.

Tangan dan kakinya kembali bergerak untuk mendorong, memukul, dan melakukan apapun untuk terlepas dari cengkraman orang asing itu. Degupan jantung Tasya sedikit mereda saat memandang Gilbast berada di depan pintu rumahnya. Ada segurat senyum pada bibir gadis itu. Lega terasa pada dadanya yang sesak. Setidaknya, gadis itu mulai berharap lebih banyak.

Namun, melihat tatapan terkejut dan tubuh yang kaku. Tasya tahu, Gilbast tidak akan menolongnya. Cowok itu tidak akan bergerak sesentipun dari tempatnya. Dan dia harus pasrah pada kenyataan yang pahit. Dia di culik. Dia pasti terluka. Dan dia mungkin akan mati. Kemungkinan terburuk adalah Gilbast bahkan tidak menolongnya. Cowok itu mungkin tidak akan peduli. Dan bersikap seperti biasa. Bukankah kehidupannya terasa menyedihkan? Mati muda jelas tidak pernah masuk dalam daftar impiannya.

Mengingat kematian hanya membangkitkan tekadnya untuk selamat. Tasya terus meronta. Berteriak sekencang mungkin, berharap ada yang datang dan menyelamatkannya. Sialnya, hal ini digunakan untuk kesempatan untuk membekap mulutnya. Menyumpal bibirnya dengan sapu tangan berbau eter yang menyengat. Tasya sempat mengelak, tapi kemudian kesadarannya lenyap. Kalah telak oleh bekapan yang kuat.

[ᆞᆞᆞ]

Matanya terbuka dengan pening pada kepalanya. Penglihatannya kabur dan rasanya dia tidak bisa merasakan tubuh bagian bawahnya. Saat kedua tangannya akan terangkat, Tasya baru sadar dirinya terikat. Gadis itu panik.

"Anjir! Lepas. Lepasin brengsek!" Jeritannya terdengar menggema.

Tidak ada yang datang. Dan Tasya menghela napas panjang. Setidaknya, gadis itu bisa melihat di mana dirinya kini. Tempatnya berada sangat sempit dengan pintu besi, lampu temaram, ventilasi udara kecil di atas sana, dan kursi tempatnya terikat. Benar-benar sel buruk.

Tasya menunduk, kembali bernapas lega saat pakaiannya masih lengkap. Orang-orang itu belum menyentuhnya. Kedua tangan gadis itu terikat kuat di belakang kursi. Kaki-kakinya tidak bisa digerakkan dan Tasya tidak tahu kenapa. Padahal di sana tidak ada tali apapun.

Tasya kembali berpura-pura tidur saat ditelinganya menangkap bunyi tapak kaki. Pintu besinya berderit terbuka. Dan gadis itu belum mau untuk membuka mata. Dia ketakutan dalam duduknya. Rasa-rasanya keringat dingin mulai muncul pada tangannya. Dia tahu siapapun itu telah berdiri di depan sana. Tepat, persis di hadapannya.

"Akting kamu buruk. Tuan Putri."

Tasya membuka mata. Tidak terkejut saat mendapati seorang gadis dengan rambut pirang pasir bergelombangnya, yang tengah duduk di hadapannya dan balik memandang kearahnya. Tasya selalu tahu semua ini adalah karena gadis berwajah malaikat tapi berhati iblis ini. Tasya akan selalu tahu.

"Nah gitu Tuan Putri, bangun. Kan aku gak perlu bertingkah sok manis dengan harus nungguin kamu sampai sadar." Ada sesuatu yang Aura keluarkan. Sesuatu bergagang biru.

"Karena aku gak sesabar itu nungguin korbanku sadar."

Itu gunting. Tajam sekali ujungnya. Dan Tasya jelas ingin gegabah. Gadis di hadapannya gila. Tasya harus bisa mengulur waktu selama mungkin sampai Gilbast datang, atau siapapun datang menolongnya. Atau dia yang harus cari cara untuk melarikan diri.

"Jadi, Natasya, mau ikutin apa permintaanku dan pergi dari sini baik-baik. Atau kamu tetap pada pendirianmu dan pergi dari sini dalam bentuk mayat?"

Pertanyaan yang tentu tidak perlu di tanya. Tasya sudah tahu apa yang harus dia pilih.

"Kalau ini masalah keluarga gue jelas gue pilih yang kedua. Tapi kalau semua ini lo lakuin cuma karena Gilbast, maaf gue gak cukup gila buat pertaruhin nyawa gue."

Dengan riang Aura bertepuk tangan, "Smart girl. I like the way you though. But dear, you're so naive. Karena kenyatannya kamu terus-terusan nempel sama Gilbast kayak lintah. Meskipun kamu bilang enggak pun, realitas yang ada kamu selalu nempel sama Gilbast! You playing around him. Forgot what I said before and smiled always. That's damned life. So I still kill you by the way."

"Lo sakit jiwa!"

"Yes, I'm." Ada rasa bangga di sana. Aura memutar guntingnya. Memainkan benda tajam itu di tangannya. Tasya merasa ngeri sendiri membayangkan guntingnya menjadi boomerang bagi Aura.

"Lo cewek sinting gak waras!"

"Terima kasih atas pujiannya."

Entah berapa kalipun Tasya menyumpah serapahi Aura, gadis itu tetap tersenyum dan menerimanya seperti orang bodoh. Dan hal itu, semakin mengembangkan rasa takut yang berada dalam dada Tasya.

"Lo harusnya bebasin gue!"

"Gak ada jaminan kamu bakal jauhin Gilbast. Gak ada jaminan kamu gak akan luluh dengan rayuan dia, Princess."

Tasya menggeleng. Suaranya sangat mantap saat mengatakan hal itu, "Gue gak akan kemakan rayuan dia. Gue bakalan jauhin dia sesuai yang lo mau. Karena sesuai yang gue bilang, gue gak cukup sinting buat ngasih nyawa gue demi dia. Siapa Gilbast dalam hidup gue sampai harus dapetin nyawa gue?"

"He is your prince charming. And will be your knight in shinning armour. And I never like that fact."

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang