[ 41 ]

25 1 0
                                    

[]

Masih dalam minggu kedua setelah kejadian. Apa yang terjadi pada Tasya disorot oleh banyak media. Nama gadis itu dan Aura terpampang pada layar-layar televisi, platform-platform berita daring, dan masih banyak lagi. Kedua keluarga dari pihak masing-masing sudah sangat setuju untuk menghentikan pemberitaan. Dan sudah jelas, keluarga Tasya menuntut hukuman seberat-beratnya. Ibu gadis itu bahkan sampai berteriak untuk meminta hukuman mati. Hukuman yang sebenarnya pantas, tapi harus terhalang umur Aura. Gadis itu tidak bisa masuk dalam penjara karena umurnya yang masih dihitung sebagai anak-anak. Gilbast tidak tahu akan seperti apa akhirnya, tapi dia tidak akan memilih akhir di mana Tasya tidak akan bangun kembali.

Dua minggu dan Gilbast sudah seperti orang lain. Persiapan kenaikan kelas menuju tingkat akhir membuat kepala Gilbast semakin kusut. Sebenarnya cowok itu tidak terlalu ambil pusing untuk masalah sekolah, karena dia yakin dia akan naik kelas. Gilbast hanya frustasi dengan kenyataan bahwa Tasya tidak kunjung sadar dari komanya. Cowok itu juga tidak percaya dengan kerusakan fisik yang Tasya derita. Beberapa tulangnya patah nyaris hancur, tapi seluruh dokter sedang mencoba yang terbaik. Hingga akhirnya gadis itu bisa pulih fisiknya secara perlahan. Tapi perkembangan otaknya masih sama, tidak ada tanda-tanda Tasya akan sadar dalam waktu yang cepat.

"Hai Cha, aku datang lagi. I wish, today I can see your beautiful eyes. Hearing your voice and feel your exist."

"Sorry, aku datang di jam sekolah. Aku bolos lagi hehe. Rasanya sangat aneh saat gak menemukan kamu di sekolah. This make me crazy. I'm crazy for every second see you like this. You might breathe, but you don't respond to anything. I'm afraid you will leave without seeing me again."

"Kamu berhasil nyakitin aku dengan seburuk-buruknya."

Gilbast tidak suka saat dirinya harus kembali pada fase ini. Fase yang paling dia benci dalam hidupnya. Di mana dia harus kebingungan. Di mana dia tidak tahu harus bergantung pada pilihan yang mana, karena dua-duanya terdengar sama buruk. Dia harus memilih hidup tanpa Tasya di dalamnya. Atau kemungkinan melihat gadis itu seperti ini sepanjang hidupnya. Gilbast tidak bisa memilih di antara kedua pilihan konyol nan tak masuk akal itu.

"Ngapain lo masih di sini?" Suara dingin itu terdengar. Miko datang dengan bendera permusuhan.

"I want to see her. Make sure she lives."

"Harusnya lo sadar, setelah kenal lo adek gue udah mati. Lo yang buat dia kayak gini secara gak langsung. Lo yang udah buat si Aura-Aura itu cemburu dan nyakitin adek gue separah ini. Lo harusnya cukup malu buat mastiin hidup adek gue." Miko berjalan menuju sofa, menurunkan kantong kertas berisi buah-buahan.

"Because you killed her."

"I didn't kill her." Tanpa di sadari kedua tangan Gilbast mengepal. Dia tidak suka disudutkan dan dicap sebagai pembunuh. Dia tidak melakukan tindak pembunuhan. Dia bukan pembunuh.

"You make her dying. Lo buat adek gue sekarat di gedung bekas itu. Lo yang buat adek gue dalam keadaan semembahayakan itu. You killed her."

BUGH!

Gilbast melayangkan pukulannya. Napasnya memburu, ada perasaan tidak nyaman yang timbul, dan detak jantungnya berpacu terlalu cepat.

You killed her.

Nggak! Gak ada yang bunuh dan dibunuh. Gue bukan pembunuh!

Bukan pembunuh. Bukan. Gilbast terus merapalkan hal tersebut di dalam kepalanya. Tapi ucapan Miko terus-menerus memberikan teror. Gilbast merasa hampir kehilangan dirinya untuk sesaat. Sebelum pukulan balasan yang Miko layangkan membuat laki-laki itu mendapatkan pikiran logisnya kembali. Gilbast jatuh dengan duduk, merasakan denyut lain pada sisi pipi kanannya. Ada darah yang merembes dari hidungnya. Pukulan Miko tidak main-main.

"Brengsek lo! Keluar dari sini, jangan pernah temuin adek gue lagi."

Pria itu kini berdiri tepat di hadapan Gilbast. Memandang cowok itu dengan tatapan kebencian dan tidak suka yang sangat dalam. Amarah terlihat dari kedua tangannya yang mengepal. Ada sedikit darah yang keluar dari sudut bibirnya. Miko menjadi sangat geram saat Gilbast tidak bergerak dan tetap diam di tempat. Kedua tangannya terulur, mencengkeram kerah seragam Gilbast, menariknya berdiri.

"Gue bilang keluar."

"Gue ga-gak ma-mau. Gue ma-mau pas-tikan Acha hi-dup." Napasnya tersenggal karena eratnya tarikan Miko pada kerah seragamnya.

"Lo bener-bener minta dipukul."

"Do it."

Belum sempat pukulan itu mendarat, pintu kamar rawat lebih dulu terbuka. Ada Brian yang langsung melotot horor melihat kedua manusia di hadapannya. Cowok itu segera berlari dari melepaskan Gilbast dari Miko.

"Lo pada gila ya? Ini rumah sakit bukan arena tinju."

"Bawa tuh temen lo dan pastikan dia gak muncul lagi di sini. Muak gue."

"Gue akan terus datang Bang, sampai Acha buka matanya lagi. Sampai gue bisa lihat dia baik-baik aja. Sampai gue lihat dia hidup."

Tidak ingin suasana kembali memanas, Brian dengan cepat menyeret temannya itu keluar dari kamar rawat. Meski Gilbast protes dengan tidak main-main, tapi tenaga cowok itu tetap kalah saing dengan tenaga Brian. Dengan cepat Brian bisa membawanya sejauh mungkin dari daerah kamar rawat Tasya.

"Anjing Yan! Lo kenapa geret gue? Gue masih mau lihat Acha. Lepasin gue Yan!"

"Eh curut, lihat kondisi napa? Bang Miko lagi kesel gitu sama lo, jangan maksain keadaan kenapa sih, Bast? Jangan masokis di sini lo."

Gilbast akhirnya diam, duduk menekuk lutut di lantai lift rumah sakit. Mereka tengah bergerak menuju lantai dasar. Untung kondisi lift sedang tidak penuh, maka Gilbast tidak perlu menjadi pusat perhatian semua orang. Dan Brian tidak perlu merasa terlalu malu karena kondisi sahabatnya itu.

"Gue cuma mau lihat dia sebanyak yang gue bisa, Yan."

"Bisa besok-besok, kalau Bang Miko udah lebih tenang."

Gilbast menjawab dengan gumaman. Menyembunyikan kepalanya pada lipatan siku. Tiba-tiba merasa sangat lelah.

"Itu masalahnya, gue gak merasa akan ada hari esok."

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang