[ 11 ]

43 6 0
                                    

[]

Tak ada lagi raut wajah ceria yang Tasya pasang. Gadis itu masih berusaha mengusir bayangan sore tadi. Bagaimana ayahnya menampar mamanya dengan mudahnya. Bagaimana mamanya meluruh dan menangis di lantai. Harusnya saat itu Tasya datang menolong, mendekap mamanya dalam pelukan. Harusnya saat itu Tasya tidak kabur, pergi ke tempat Miko. Harusnya gadis itu tidak pernah pergi.

"Cha." Panggilan Miko membawa pikiran Tasya kembali ke dunia nyata. Gadis itu mendongak, menatap Miko dengan mata sembabnya.

"Itu makan, dihabisin ya."

Tasya menunduk, melihat sudah ada hidangan di depannya. Sepiring spaghetti dengan kornet sapi. Harusnya makanan ini dapat menggugah selera makan Tasya, tapi yang gadis itu dapati adalah nihil. Dia tidak sama sekali ingin menyentuh makanannya. Dia hanya ingin bayangan di kepalanya pergi.

"Maaf, Abang telat dateng. Abang gak tau apa aja yang kamu lihat di sana. Tapi abang janji, Abang bakalan bikin keluarga kita bahagia lagi. Jangan dipikirin ya Dek, kamu fokus sekolah aja. Serahin hal ini sama Abang."

Tasya hanya memandang kosong Miko yang masih menatapnya teduh. Pria itu tahu adiknya masih trauma, terkejut melihat pemandangan yang tidak seharusnya gadis itu lihat. Tasya bahkan baru genap enam belas tahun, tidak seharusnya gadis itu melihat pemandangan seperti itu.

"Abang tinggal mandi dulu ya, bau banget." Miko perlahan berdiri. Masih memandang cemas ke arah Tasya yang menatapnya kosong.

"Ayah brengsek banget ya, Bang."

Demi mendengar ucapan yang Tasya keluarkan, Miko berhenti di tempat. Berbalik dan langsung kembali duduk. "Ayah cuma khilaf."

"Khilaf gak akan sampai mukul Mama. Kalau emang selingkuh ya harusnya kasih tau aja. Brengsek." Tangan Tasya terkepal. Gadis itu sudah sangat marah.

"Jangan gitu Dek, beliau masih Ayah kamu. Ayah kita." Suara Miko tegas, dia tidak suka melihat ada gurat kebencian yang Tasya tebar pada sosok ayahnya. Tidak seharusnya seorang anak membenci ayahnya.

"Mama ditampar keras banget. Gak tau nasib Mama sekarang kayak gimana. Acha merasa bersalah banget gak dateng dan meluk Mama. Mungkin kalau waktu itu Acha dateng, Mama sama Ayah bisa bicara soal ini dengan kepala dingin." Tasya menatap Miko, dan dari matanya Miko dapat melihat sebersit luka. "Ayah brengsek."

"Jaga bicaramu Dek. Inget dia masih Ayah kamu. Gak seharusnya kamu bicara kayak gitu sama Ayah. Kalau gak ada Ayah, gak bakalan ada kamu."

"Terus aja Bang, belain si brengsek itu. Terus aja." Tasya berdiri, masuk ke dalam salah satu kamar di sana. Membanting pintunya keras. Gadis itu menangis, raungan kerasnya teredam oleh bantal. Tasya terus menangis hingga dirinya jatuh tidur.

[ᆢᆢᆢ]

Jam satu malam Tasya terbangun. Gadis itu merasakan denyut mengerikan pada kedua matanya. "Bengkak nih pasti."

Tangan gadis itu bergerak mengambil ponselnya. Saat matanya menangkap bar pemberitahuannya penuh. Ada banyak chat masuk, tapi gadis itu tidak menghiraukan. Dirinya memilih untuk turun dan mencari kompres untuk matanya. Hingga dering itu terdengar.

Gilbast's calling ...

"Eh njir, ngapain nih anak telepon jam segini? Gak tidur ya?" Gadis itu memilih mengangkat teleponnya pada dering ke ketiga.

"Apa?"

"Diangkat juga. Aku kira gak bakalan."

"Kalau cuma mau ngisengin orang, gue tutup teleponnya." Gadis itu berkata ketus. Dirinya sudah sampai di dapur, mencari air dingin dan baskom. Juga sebuah handuk kecil.

"Kamu ngapain? Dari tadi grasak-grusuk. Lagi ngejar tikus?"

"Nyari baskom." Tasya berjinjit, mencari hingga rak paling atas. Dan dia menemukan sebuah baskom yang pas.

"Ngapain nyari baskom? Ada yang demam?"

"Lah, kok jadi demam?"

"Iya, demam kan identik dengan kompres, baskom, air, dan lain sebagainya."

Tasya tertawa kecil, "Kebanyakan nonton FTV ya? Jadi hapal sama alur kayak begituan."

"Well, nope. Cuma udah ...."

Nada suara Gilbast mengecil di ujung sana. Membuat Tasya meminta pada Gilbast untuk mengulangi perkataannya.

"Bayar dulu baru bisa ulang."

"Cuma ngulang aja. Gak sampai semenit."

Gilbast terkikik kecil di ujung sana. "Udah deh, aku tutup aja teleponnya. Udah malem, kamu jangan tidur malem-malem ya, see ya Na."

"Eh, Gi, bentar." Tasya menghentikan terlebih dahulu gerakan Gilbast di ujung sana.

"Ya, ada apa? Masih kangen?"

"Dih, bukan. Gue cuma mau nanya, ngapain telepon malem-malem? Ini dini hari loh."

"Gak ada, rindu suara kamu aja. Dan senangnya bisa denger suara kamu, plus ada bonus ketawa tadi."

Dan begitu saja, Gilbast memutuskan sambungannya. Membiarkan Tasya bertanya-tanya sendiri di dalam pikirannya. Tentang alasan tidak masuk akal yang cowok itu berikan.

"Iya juga, kenapa tadi bisa ketawa ya?"

[] K.R

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang