[]
Hari berikutnya Gilbast kembali datang. Mencoba peruntungannya, cowok itu hadir sama dengan waktu kemarin. Dan belum sempat Gilbast dapat memandang Tasya, Miko lebih dulu mengusirnya pergi. Hampir saja keduanya terlibat adu jotos lagi jika tidak ada dokter yang kebetulan lewat. Maka Gilbast harus berbesar hati dengan tidak melihat gadisnya hari itu. Tapi Gilbast tidak akan menyerah secepat itu, masih ada hari esok seperti kata Brian. Dia akan terus berusaha untuk melihat Tasya. Itu membutikan gadis itu masih hidup.
"Gimana caranya supaya gue bisa masuk ke sana?"
Yang ditanya masih sibuk dengan sate kambing pada piring kedua. Tidak terlalu peduli dengan kegelisahan sahabatnya saat ada makanan di depan mata. Brian akan selalu seperti itu. Mereka berdua tengah berada di warung sate kaki lima dekat dengan rumah sakit. Baru saja mencoba keberuntungan untuk melihat gadis itu.
"Woy Yan!"
"Ssst! Mang, sate kambingnya satu lagi." Brian mengangkat tangan kanannya, memesan lagi.
"Eh kambing. Gue ajak lo keluar buat kasih saran, bukan buat dipalakin kayak begini."
Kalau itu uang Brian tidak akan ada yang masalah. Sayangnya dua piring sate yang sudah bersih dan dua gelas susu soda dingin itu, semuanya menggunakan uang Gilbast. Harusnya Gilbast mengajak sahabatnya itu pergi ke pemakaman saja. Atau di mana saja yang tidak ada orang berjualan.
"Selagi ada Pak Bos, kenapa gak dimanfaatin?" Dengan cengiran lebar tanpa berdosa Brian mengatakan hal itu. Sebelah tangannya mengambil piring ketiga dari tangan tukang sate. Benar-benar tidak habis pikir bagaimana perut Brian masih sanggup untuk menahan semua makanan itu.
"Bangsat lo kambing."
"Yang penting gue dengerin semua bacotan lo."
"Tapi gue butuh saran Brian. Bukan cuma didengerin."
"Hiwa, hiwa, tar kawih sawan." (Iya, iya, ntar kasih saran.)
"Telen dulu dodol. Heran, kenapa gue masih mau temenan sama orang kayak lo. Jorok, gila, maniak kekerasan. Kayaknya semua hal buruk ada di lo."
Brian tertawa, menelan bulat-bulat makanannya, dan meminum habis susu sodanya. Berdeham sekilas sebelum mengubah arah pandangnya. Kali ini, sorot mata cowok usia delapan belas tahun itu terlihat sangat serius. Sangat jauh berbeda dengan gambaran yang diperlihatkan sehari-hari. Gambaran seorang Brian yang urakan dan suka menjahili banyak orang.
"Gue pikir udah gak ada jalan. Bang Miko bener-bener gak suka sama lo. Akan susah buat ketemu sama Tasya. Jalan-jalan di daerah sekitar kamar dia aja susah. Apalagi buat nengok." Brian menatap ke arah Gilbast. Menepuk pundak cowok itu sekali.
"Gue saranin, berhenti aja. Yang lo lakuin sia-sia."
[ᆞᆞᆞ]
Esok harinya Gilbast benar-benar berhenti. Bukan hanya karena Miko yang kembali menghadang di depan pintu kamar rawat Tasya. Tapi, juga karena Tasya yang sudah tidak lagi di rawat di sana. Kamar rawatnya sudah selesai dibersihkan. Tidak ada siapa-siapa yang terbaring di atas kasur itu. Selimut putihnya sudah terlipat dengan rapi. Dan tiang penggantung infus hanya berdiri kosong, tidak ada kantung infus yang menggantung.
"Mana Acha Bang?"
Setelah segala insiden itu, Gilbast memutuskan untuk menggunakan nama kecil Tasya sebagai panggilan. Dia suka saat bagaimana nama itu keluar dari bibirnya. Dia merasa sedikit lebih dekat dengan Tasya.
"Lo gak perlu lagi datang ke sini ataupun ke rumah gue. Lo gak perlu datang kemanapun, lanjutin hidup lo sama kayak sebelum ketemu adek gue."
Jawaban Miko jelas tidak menjelaskan apa yang Gilbast tanyakan. Dan jawaban itu bukan jawaban yang ingin Gilbast dengar. Dia tentu akan datang untuk mencari tahu dimana Tasya sekarang. Dia pasti datang.
"Acha mana, Bang?"
"Lo mending pergi. Gak guna lo terus-terusan di sini." Miko berjalan melewatinya. Dan sebelum benar-benar melewati, Gilbast menahan bahu pria itu.
"Acha mana?"
Pertanyaan sama dan raut wajah serius yang sama. Gilbast ketakutan.
"Udah gak ada."
"Jangan konyol Bang. Gue tahu kalian pindahin Acha. Dipindahin ke mana?"
"Gue bilang udah gak ada."
Miko menggerakkan bahunya, melepas pegangan yang Gilbast lakukan, berjalan pergi. Membiarkan cowok itu terpaku pada depan pintu kamar rawat. Menghalangi jalan. Tapi Gilbast tidak peduli. Dia lebih peduli dengan ucapan Miko yang aneh.
Apa yang udah gak ada? Apanya?
Acha? Jangan konyol.
Gilbast tahu kondisi Tasya semakin hari semakin membaik. Cowok itu tahu karena dia tidak pernah absen untuk bertanya pada dokter yang menangani Tasya. Dan kalau perkiraan dokter itu benar, harusnya hari ini Tasya sudah membuka mata. Harusnya hari ini Tasya bisa kembali melihat dunia. Harusnya hari ini Tasya bisa kembali melihat Gilbast. Gadis itu tidak mungkin pulang hari ini. Kondisinya masih akan sangat lemah, meski ia sudah membuka mata. Meski ia sudah bisa bangun dari tidurnya yang seperti orang mati.
"Ini bohong kan? Apa sih mereka lagi akting ya? Acha dipindahin ke kamar rawat nomer berapa?"
Gilbast bangkit, memilih untuk berlarian menuju meja resipsionis pada lantai dasar. Bertanya pasien bernama Natasya berada di mana. Sialannya suster tidak bisa memberitahukan, pihak keluarga memutuskan untuk tidak mengizinkan sembarang orang mengetahui lokasi Tasya saat ini. Menyebabkan Gilbast tersulut emosi dan menggebrak meja dengan amarah besar. Gilbast hampir bertindak terlalu jauh, beruntung Brian segera datang. Menyeret laki-laki itu keluar dan memberikan satu hadiah pukulan keras.
"Bisa gak, sehari aja jangan bikin stres?"
"Gue cuma mau tahu di mana Acha, Yan. Apa yang salah?"
"Cara lo bego!" Emosi Brian benar-benar mencapai ubun-ubun. Pikirnya dia akan keriput di usia yang ke sembilan belas tahun, jika harus menghadapi Gilbast yang segila ini. "Kan udah gue bilang, berhenti aja. Semua yang lo lakuin itu sia-sia."
"Apa salah kalau gue cuma mau lihat Acha?"
"Kagak. Tapi kan Bang Miko gak setuju. Udah, berhenti aja."
"Gue gak yakin bisa hidup kalau berhenti Yan. Gue butuh Acha."
"Apa sih yang Tasya lakuin sama lo sampai-sampai lo segila ini?" Brian menarik rambut sendiri frustasi.
"Please Yan, bantuin gue."
Brian menatap Gilbast yang terlihat seperti anak anjing yang dibuang. Kotor, menyedihkan. Menghela napas keras, Brian mencoba mendengarkan apa permintaan konyol yang akan dia buat.
"Kalau emang gue gak bisa lihat Acha lagi, gue berharap buku ini bisa sampai ke dia."
Gilbast menyodorkan sebuah sketchbook bersampul warna-warni. Itu buku yang selalu ada di dalam tasnya. Buku yang Brian tahu isinya adalah gambar-gambar Gilbast. Gambar tentang Tasya. Brian juga tahu ini akan sedikit sulit, tapi dia akan mencoba. Hanya sebuah buku, Miko tidak akan menolak.
"Fine."
[] K.R
KAMU SEDANG MEMBACA
My Serendipity : Are You Mine?🔒
Ficção AdolescenteSelesai : 15 Jul 2020 Telah di rombak ulang | BELUM DIREVISI "Hai, aku Gilbast. Mulai detik ini, kamu jadi pacarku." "Aku pastiin kamu akan bahagia, meskipun itu berasal dari sakitku." "Aku ini sabar, apalagi buat ngadepin tingkah kam...