[ 08 ]

54 7 0
                                    

[]

Pagi ini cuaca sedikit mendung. Beberapa tetes air terlihat jatuh dari langit, membasahi secara perlahan bumi beserta isinya.

Tasya memandang ke luar jendela, baru dua hari yang lalu dia merasa kecewa, patah hati dan sejenisnya. Bagaimana mungkin kemarin dia sudah merasakan jatuh cinta lagi, jangan katakan jika dia adalah gadis yang suka mempermainkan perasaan.

"Gak mungkin! Masa aku kayak gitu." Tasya menggeleng pelan. Tangannya menepuk sendiri jidatnya sedikit keras. Mencoba menyadarkan diri sendiri.

"Napa dah lo?" Dion yang sedari tadi menatap teman sebangkunya itu, akhirnya ikut angkat suara.

"Ha? Nggak apa."

"Lo kayak orang gila. Suer dah." Dion masih mencerca Tasya. Tatapan malasnya teracung sempurna pada gadis itu.

Tasya yang tidak suka dipandangi begitu, segera mendorong wajah Dion menjauh. "Apa sih, Yon? Jangan jadi orang nyebelin deh." Setengah berbisik gadis itu mengancam.

"Bodo."

Tasya menghembus napas pelan. Pandangannya beralih pada papan tulis, gurunya tengah menerangkan tentang Ancaman Integrasi Nasional.

"Ancaman Integrasi Nasional dibagi atas dua bidang. Yang pertama dari militer dan yang kedua dari non militer." Guru botaknya menjelaskan. Hampir semua isi kelas mengantuk saat Bapak itu menerangkan.

"Ancaman dari bidang militer dapat berupa banyak hal. Satu, mendapatkan rahasia pertahanan negara dari negara lain atau spionase. Dua, terorisme atau menebarkan teror ketakutan yang mendalam dan mengancam keselamatan negara. Tiga, agresi militer atau menyerang dan menduduki wilayah negara lain dengan menggunakan kekuatan militer.

"Sedangkan ancaman dalam bidang non militer dapat berasal dari era globalisasi yang semakin merajalela. Hal ini biasanya menyerang para manusia-manusia muda dari dalam, yang mana dapat membahayakan kedaulatan negara dan lain sebagainya."

Tasya melamun, meskipun pandangannya mengarah pada papan tapi pikirannya mulai berkelana. Tangannya bergerak, menulis yang tertulis di papan. Namun pikirannya mengucapkan hal lain.

Ancaman ya. Apa Gilbast bisa dibilang ancaman? Cowok itu sudah berhasil merusak kepala dan mungkin bergerak ke hatiku.

[ᆢᆢᆢ]

Jam makan siang selalu penuh dan sesak. Kantin sudah seperti medan perang dengan banyak mayat bergelimpangan, meskipun kenyataannya tidak semiris itu.

Tasya menyeka peluh pada pelipisnya. Panas, gerah, bising, paduan yang sempurna untuk kesengsaraannya. Untung saja dia, Frista, dan Ines bisa mendapat bangku kosong.

"Duh gila! Ini apa-apaan sih? Berasa anak satu sekolah pada nongkrong di kantin. Penuh banget anjir." Ines berkomentar. Gayanya yang tomboy membuat gadis itu tidak tahu malu mengangkat kakinya dan bersila di atas bangku panjang.

"Nes, turun ih! Jangan gitu di kantin. Malu tau dilihatin sama kakak kelas." Frista yang bersebelahan dengan Ines, mengingatkan dengan tatapan mengancam.

"Santai kali Fris, masa bodo aja sama kakak kelas. Mereka gak bakalan ganggu, kalau ganggu ya ganggu balik." Ines masih dengan gayanya mulai memakan pesanannya. Bakso.

Tasya tidak menanggapi pertengkaran kecil kedua sahabatnya itu. Dia tidak terlalu peduli karena dirinya masih sibuk dengan pikirannya sendiri. Ada satu hal yang masih mengganjal pada otaknya. Apakah benar bahwa dia adalah gadis yang mudah untuk melupakan dan jatuh cinta, jika benar iya. Maka dia sangat merasa rendah.

Pundak Tasya ditepuk dua kali. Membuat gadis itu mendongak dan melihat siapa yang melakukan hal itu padanya. "Makan jangan bengong. Itu mie pangsit kagak bakalan jalan sendiri ke mulut lo."

"Bacot Yon. Nggak ada kerjaan ya sampai-sampai harus gangguin aku?" Tasya mengerucutkan bibir, kesal.

"Makan Sya. Ribet banget sih masih harus tau alasan gue." Dion mulai memakan makanannya.

Keempatnya tidak ada yang membuka suara untuk sejenak. Hening di tengah ramai, aneh. Namun ada seorang yang datang. Langsung dudukㅡdi atas kursi yang dia bawa sendiri, pada satu-satunya tempat kosong. Persis di antara Tasya dan Ines. Menghalangi jalan pula.

"Pada diam nih?" Itu Gilbast. Dengan rambut cokelat gelapnya yang terpotong rapi. Ada sebuah roti berisi selai blueberry di tangannya.

"Ngapain ke sini? Ngehalangin jalan tuh." Tasya berkata singkat. Matanya melirik sejenak dan kembali fokus pada mangkuk mie-nya.

"Nothing. Just want to see my beautiful Princess."

Ines terbatuk-batuk. Frista menganga tidak percaya. Sedangkan Dion hanya mengatupkan mulut, memilih untuk diam.

Gombal, Tasya berucap dalam hati. "Hm, jauh-jauh deh. Gue gak suka lihat lo."

"Why?"

"Pingin muntah bawaannya. Mual."

"I'm not do anything. Why you get pregnant?"

"Siapa yang hamil sih!"

Ines, Frista, dan Dion tergelak demi melihat ekspresi Tasya yang mayun dan cemberut begitu. Gilbast sendiri hanya memberi senyuman manis lantas melanjutkan makannya kembali.

Aku nggak mungkin jatuh cinta sama makhluk menyebalkan kayak dia ini.

Tatapan Tasya menajam, kala pikiran itu terlintas. Gadis itu mengangguk sekilas dan kembali memakan makanannya.

"Oke, kamu makan yang benar. Sampai ketemu lain kali, pacar." Gilbast mengakhiri makannya, cowok itu bangkit berdiri dan menepuk dua kali puncak kepala Tasya sebelum berjalan pergi.

"Bener kan firasat gue. Lo berdua udah jadian." Ines menyeringai.

"Yah, gue sih ikut seneng aja. Jangan lupa Pe-Je ya, Bu." Dion ikut membenarkan ucapan Ines.

"Nyebelin ya kalian. Nggak ada bedanya kayak Gilbast."

"Bahkan Tasya udah manggil namanya. Frista percaya ini udah jadian."

Gadis itu hanya menatap datar pada teman-temannya, mereka menyebalkan sekali. Padahal dia belum jadian dengan cowok itu.

Eh, belum katanya. Apakah aku tengah berharap?

[] K.R

Dedicated to : NatasyaShafaKhairana

My Serendipity : Are You Mine?🔒Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang