Haein menggendong tubuh Eunchae masuk ke dalam mobil. Di dalam mobil pun Eunchae tidur dengan mulut setengah terbuka. Sesekali dia batuk-batuk bahkan ngeracau nggak jelas.
Ngeliat pria itu nyetir, Eunchae pun manggil. "Haein..."
Haein menoleh, lalu menepuk pundak cewek itu. "Tidur lagi, masih lama kok."
Tanpa sadar tangan Eunchae menggelayut ke arah Haein. "Hngg, Haein... aku kangen sama kamu..."
Tiba-tiba Haein ngerem mendadak. Untung jalan rayanya sepi. Dia markirin mobilnya di sisi jalan buat benerin posisi tidur Eunchae yang keliatan nggak nyaman itu. Lalu dia terdiam beberapa menit.
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Tentu aja dia kaget ketika Eunchae ngomong barusan padanya. Soalnya cewek itu pertama kalinya ngomong kayak gitu ke Haein, tapi sayangnya itu dalam keadaan kondisi Eunchae nggak sadar.
Haein juga ngerasa kalo ini deja vu. Bukan sekali ini dia ngedenger 'aku kangen kamu' dari Eunchae, melainkan dari Yejin yang teler juga beberapa tahun yang lalu.
"Ngapain sih mikirin dia," gumam Haein menghapus kenangannya ketika Yejin masih jadi kekasihnya.
"Haein...?" Eunchae membuka matanya, masih dalam keadaan mabuk. "Kok kita berhenti sih?" Dia pun mencet-mencet tombol klakson mobil beberapa kali sebelum Haein meletakkan tangan Eunchae ke semula. Din! Din!
Haein diam sambil menatap cewek itu. "Eunchae, kapan kamu melihat saya sebagai seorang pria di kehidupanmu?"
"Hmm?" tanya Eunchae tetep mainin klakson mobil.
"Nggak, nggak," Haein menggeleng-gelengkan kepalanya. "Nggak usah kamu peduliin pertanyaan saya tadi. Saya tahu kamu lagi mabuk."
Maka Haein pun nyalain mesin mobil dan lanjutin perjalanan.
Setelah keduanya sampai rumah, Eunchae bangun lagi. Kali ini dia bangun dalam keadaan kondisi tiga perempat sadar. Dia merenggangkan tangannya yang pegal, begitu juga lehernya karena posisi tidurnya salah.
"Oh udah bangun?" tanya Haein setelah matiin mesin mobil.
"Ini... udah sampe rumah ya?" Eunchae balik bertanya yang dijawab oleh anggukkan Haein. "Duh... kepalaku pusing banget..." Dia memijat-mijat keningnya.
"Nanti pake minyak angin ya sebelum tidur," kata Haein membantu Eunchae bukain seatbelt.
Eunchae cepet-cepet tutup mulutnya dengan tangan karena dia nggak nyaman pada bagian atas perut. Dia juga ngerasain cairan dari lambung di mulutnya. "Huek..."
"Kamu kenapa, Chae? Mau muntah?" tanya Haein khawatir. Eunchae ngangguk-ngangguk. "Ayo kita cepet keluar."
Cowok itu membantu Eunchae keluar dari mobil dan membawanya ke kamar mandi. Dan bener aja, baru aja Eunchae tutup pintu kamar mandi, dia langsung muntah.
"Hueekkkhhh..."
Nggak lama kemudian dia muntah lagi.
"Huekkkhhh..."
Haein menatap pintu kamar mandi dengan wajah tegang. "Chae, aku masuk ya..."
"Jangan...," jawab Eunchae lemes. "Hueekkkhh..."
"Aku bantu keluarin semua muntahan kamu. Ya?" Lalu pintu kamar mandi terbuka seperempat dan Haein langsung masuk. Cewek itu kebanyakan muntahin air dan makanan yang sempet dia makan bareng Jihoon di restoran fast food.
Cowok itu nekenin tengkuk leher Eunchae supaya dia bisa keluarin semua muntahannya. Berkat bantuan Haein, Eunchae pun muntah lebih banyak.
Selama lima belas menit, Eunchae pusing dan lemes banget. Rasanya dia pengen cepet-cepet istirahat. Perutnya kosong, tadi dia terakhir muntah dan isinya air.
Setelah perutnya dipake minyak, Eunchae pun tidur meringkuk sambil ngelus-ngelus perutnya. Haein makein dia selimut, nutupin sampe lehernya.
"Tadi kamu minum martini, ya?" tebak pria itu.
Eunchae menggeleng lemah. "Tadi kayaknya aku minum cola aja kok..." Dan dia baru ingat. Cowok gadun itu pasti yang ngasih dia martini! Heol!
"Masa? Di mobil tadi saya sempet nyium aroma minuman itu dari mulutmu," kata Haein yakin, walaupun dia tahu kalau Eunchae orangnya nggak bisa bohong. "Ya udah kamu istirahat aja."
Eunchae ngangguk. Walaupun kepalanya masih pusing banget, tapi dia masih inget gimana kejadian itu.
Jihoon dan cowok gadun itu bener-bener deh!
Dari tadi Eunchae memijat-mijat keningnya. Gara-gara dia minum martini pemberian cowok gadun bergelas-gelas itu, dia kapok dan nggak akan pernah buat ke bar lagi. Masalahnya selain pusing, sekarang bawaannya mual terus. Alhasil Eunchae nggak masuk kuliah dulu hari ini. Untung nggak ada tes, hanya materi baru. Lagipula dia belum pernah izin, selalu masuk kuliah (anak teladan wkwkwk).
"Kalau perutmu masih nggak enak, nggak papa kamu izin dulu," kata Haein yang bersiap-siap mau berangkat.
Eunchae mengangguk lemah, menopang dagu. Sesekali dia pijat pelipisnya. "Oh ya, sarapan buat kamu..."
"Nggak usah, aku bisa beli di luar kok sama Changwook," kata Haein menanggapinya dengan senyum.
"Tapi--"
"Udah, nggak papa." Haein memintanya buat duduk lagi.
"Oke oke..." Eunchae menghela napas panjang. "Oh ya, Haein."
"Ya?"
"Pernikahan temen kamu. Siapa namanya, aku lupa."
"Oh, Jongsuk?"
"Nah itu. Kita harus datang tanggal berapa?"
"Masih lama, Sabtu minggu depan. Kenapa?"
"Untuk dress codenya kita harus pake baju apa? Biar aku nggak saltum."
"Monokrom. Hitam sama putih."
Eunchae ngangguk. Untung dia punya gaun putih. "Oke."
"Kamu ada kan gaun putih? Atau hitam? Atau dua-duanya?" tanya Haein yang udah membuka pintu. "Kalau misalnya kamu nggak punya, kita bisa bel--"
"Eh eh, udah nggak usah. Aku ada kok. Warnanya putih, tapi ada di rumah. Nanti kalo aku udah enakkan, aku ke sana."
Eunchae nggak mau pria itu membelikan sesuatu yang mewah dan mahal. Apalagi untuknya. Menurutnya itu buang-buang uang. Ya memang keluaga Haein adalah keluarga berada. Tapi entah kenapa Eunchae tetap nggak mau dan bersikeras ngelarang Haein beli ini-itu yang berkaitan dengannya.
Haein tersenyum. "Ya udah, kalo gitu saya pergi dulu ya."