SESUATU YANG TAK PERNAH TIBA

218 9 4
                                    

Sudah hampir senja usia wanita itu, kulitnya pun sudah menguning dijilati matahari. Sebentar lagi, matahari juga akan tenggelam di dalam dirinya. Sedangkan ia; masih menunggu sesuatu yang takkan pernah tiba.
Bangku taman yang sudah terhitung windu menemani sepertinya hampir bosan. Bangku itu usang, bangku itu lebih memilih tubuhnya dihabisi rayap ketimbang menemani wanita itu menunggu.

"Setelah aku tiada, siapa yang akan menemanimu menunggu sesuatu yang tak pernah tiba?"

Umur bangku itu tak lebih panjang dari penantian si wanita tua.

"Tenang saja. Di ujung jalan sana, kudengar ada lampu jalan dan trotoar yang suka begadang sepanjang malam, kurasa mereka takkan keberatan menemaniku, menunggu sesuatu yang tak pernah tiba. Hancurlah kau dengan tenang!"

Bangku itu hancur dan debu-debu mengadopsinya dengan suka cita.

Keesokan harinya, wanita itu terlihat bergumam sendiri. Sedang lampu dan trotoar tak mengindahkannya samasekali.
Tanpa mandi dan berganti pakaian, aroma tubuh wanita itu memabukkan hingga ke bulan.
Kepadanya, tak ada yang lebih setia selain bangku taman.

Entah sudah berapa ratus sore telah dilewati.
Entah berapa ribu malam dengan demam yang paling dedar ia hadapi.
Tapi penantian wanita itu tak kunjung padam.
Bahkan, ketika kesedihannya diguyur sisa hujan terakhir yang menetes dari kemuning.
Sudah seratus hari terhitung sejak hari terakhir penantian wanita tua, hujan tak pernah lagi turun dari langit-langit kota.
Kata lelah pun merekah pada setiap gersang tanah yang pecah.
Juga resah nafas burung gereja yang bosan melihat wajah yang sama dengan segala penantian yang sia-sia.
Semua tahu; sebentar lagi senja akan mati.
Dan penantian wanita tua itu-- masih abadi.
Semenjak hari pertama penantiannya, tuhan sangatlah sibuk, belum selesai satu doa di-amin-kan, mengatri lagi do'a-do'anya yang lain untuk dikabulkan.

Tak ada yang tahu kapan wanita itu akan berhenti menunggu dan entah takdir apa lagi yang akan ia hadapi selanjutnya.
Yang jelas, kepalanya tak pernah berhenti menoleh-- ke kiri dan ke kanan.
Tak dilewatkannya satu orang pun yang berlalu-lalang.

Dari ujung persimpangan, ia melihat sosok laki-laki yang baru saja turun dari bis kota. Lalu berjalan menuju ke arahnya. Sayup-sayup terlihat "Tuhan, semoga itu lelakiku."

Semakin dekat, sosok itu semakin jelas. Lelaki itu--
Ia tak hanya datang membawa dirinya sendiri, tapi juga dengan kecewa yang ia hadiahi untuk penantian si wanita tua.
laki-laki itu, tak pernah ia kenal sebelumnya.

Secarik senyuman dari wajah lelaki itu, wajah yang mulai bergambar usia dengan noktah-noktah waktu hampir di seluruh porinya, juga langkah kaki yang pincang terseok-seok. Mungkin kakinya mengalami cedera.
Entah karena keseleo atau terinjak paku, atau bisa jadi karena kelelahan mengejar wanita yang tak sudi menerima cintanya.
Langkah itu akhirnya terhenti, tepat di depan wanita tua.

Tak sepatah kata pun terucap, hanya angin yang memulai percakapan di antara mereka, dengan mengibaskan rambut masing-masing yang seakan mengatakan "Hallo"

"Kibas rambutmu menyapa ku, Nona. Adakah yang bisa aku bantu?"

Tak bergeming sedikitpun bibir wanita tua itu. Ia menatap kosong ke segala arah, hingga ke ujung alis lelaki pincang.
Sejak penantiannya di hari pertama, senyum tak pernah lagi merekah dari bibirnya. Bahkan, ketika ia melihat burung-burung yang menghiburnya dengan segala tingkah di atas langit senja.

"Nona, aku adalah kesepian, setiap malam aku begitu sibuk mencari orang-orang yang putus asa untuk kucuri sedikit senyumnya. Apabila kuceritakan kepadanya kematian, maka hilanglah satu-persatu gurat senyum dari bibir mereka."

"Kau tahu? Bibirku dulu serupa bulan sabit di atas langit kota ini, Pak tua. Se-kepergian lelakiku, senyumku raib, hilang beserta harum tubuhnya. Sekarang, aku hanya bisa mencintai bau amis tanah selepas hujan, barangkali hujan ini telah membawa keringatnya mengalir ke tempatku. Sebab, hanya ini kemungkinan yang bisa aku terima selain penantian yang tak ada habisnya."

Wanita yang malang, membunuh segenap usia demi kekasihnya. Tapi sampai di umur menjelang 50, tak ada seorangpun yang datang menjemputnya.

"Lelakimu itu, Nona. Pematah hati nan lihai, dia menghancurkan hatimu, lalu bagaimana mungkin kau masih bersedia menunggunya pada separuh kehidupanmu?"

"Bagaimana mungkin kau bisa mengatakan dia yang telah menghancurkan hatiku? sedang aku dengan sengaja menjatuhkannya. Aku memecahkan hatiku, dan tak membiarkan orang lain memungutnya"

"Begini saja, Nona. Kau hentikan penantianmu yang sia-sia itu! jika melupakannya terasa sulit, silahkan kau coba dengan cara mencintaiku!"

"Akan ku hentikan tahun-tahun penantianku.
Sampai pada suatu ketika lelakiku tiba.
Aku ingin memberinya kado; sebuah penantian panjang yang telah aku persiapkan. Setelah itu, aku akan bunuh diri. Hingga tak ada lagi penantian-penantian yang akan datang menghampiriku. Bahkan aku tak sudi menanti kematianku sendiri.
Saat ini, lelakiku mungkin ia sedang mencari buku takdir, mungkin ia sedang mencari agenda dosanya yang disimpan entah di mana oleh malaikat yang iseng, mungkin juga ia sedang mencari Tuhan, atau bisa jadi dia sedang mencari aku. Itu sebabnya dia tak pernah tiba, karena dia tak pernah tahu, bahwa aku menunggunya di tempat ini."

"Kalau begitu baiklah, aku pergi. Apa boleh buat. Aku tak punya cukup mantra yang bisa membuatmu jatuh cinta"

"Silahkan, pak tua. Perlu kau tahu. Akan ada hari di mana kelak, terbangun aku pada sebuah batu nisan kuburanku sendiri, dan aku akan tetap menunggunya, hingga aku mati-- sekali lagi"

PUISIKOPAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang