Negara Gaib

104 9 20
                                    


Orang miskin, kalau saja mereka mampu menyulap air mata menjadi bensin. Mereka akan menangis setiap hari, sejadi-jadinya.
Dengan air mata--
mereka akan makmur, layaknya pemimpin di tanah masing-masing.

Malam tadi, harga BBM naik secara gaib.
Negara kami ini adalah negara gaib.
Kami tinggal dan hidup di atas janji-janji pemerintah.
Kami kelaparan dan mati pada ikrar yang ingkar.

Malam tadi, pukul 00.01 Waktu Indonesia Bagian Ah...besok harus kerja lagi.
Ketika lelap menyelimuti tubuh-tubuh yang lelah.
Dingin malam dan taman-taman yang lengang, mereka tak tahu harga BBM hari ini sudah berubah.
Besok siang, malaikat akan sibuk mencatat dosa dari mulut-mulut yang fasih melantunkan sumpah serapah.
Malam harinya, kulihat bulan sedikit redup, hingga menjelang subuh, bulan pun mati karena kehabisan energi.
Malaikat kesulitan mencari bahan bakar sebab penjual eceran menimbun minyak entah di mana dan di mana-mana.

Hari ke sepuluh setelah harga BBM naik.
Malam itu, bulan tinggal sepotong. Para pencuri miskin telah memaruhnya untuk dijadikan makanan anak-anaknya yang kelaparan.

Di bawah bulan yang sepotong, berdiri seorang ayah muda
yang rutin jatuh miskin
setiap akhir bulan.

Sebelum tanggal-tanggal di kalender lenyap dimakan waktu, ia sibuk ke sana ke mari mencari beberapa helai do'a untuk  membelikan anaknya susu.
Ia kebingungan, apalagi yang mau digadaikan, sedang bulan saja telah dicuri.

Anaknya sibuk menangis, sementara istrinya masih setia menunggu di rumah. Sambil menonton berita di Televisi, ia menjahit kata-kata untuk menambal saku celana suaminya yang bolong oleh pemerintah.
Pandangannya terbagi, sesekali ke celana suaminya, sesekali melihat berita di Televisi.

"Biar pada pake angkutan umum lagi, biar ga macet lagi, biar ga ada cicilan motor dan mobil murah lagi, biar pada jalan kaki lagi. Biar rakyatku pada sehat-sehat lagi dan rumah sakit jadi sunyi." Ujar pemerintah yang sayang rakyatnya saat diwawancara di acara televisi.

"Andai saja kemiskinan ini adalah dosa, nak. Kita sudah sejak lama tinggal di neraka."

Bayi yang haus itu masih saja menangis, ayahnya tak dapat uang untuk membeli susu. Sesekali sesegukan menyentak rengeknya.
Rintik hujan di atas genteng adalah iringan musik kesedihan yang dilantunkan Tuhan untuk menghibur perutnya dari kelaparan.

Hujan sudah hampir reda, ayahnya belum juga tiba.
ketika bayi itu lelah hampir terlelap, kelaparannya sekali lagi disambar petir dan matanya kembali banjir.

PUISIKOPAT Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang