8. Tak Terduga

16 2 0
                                    

Sepulang dari coffee shop semalam, kami langsung kembali ke hotel untuk segera beristirahat. Kemarin merupakan hari yang panjang bagiku, mungkin juga bagi Gameo. Banyak cerita dan kisah yang telah lama berhasil kami simpan sebelum akhirnya kami bertemu dan berlibur seperti ini. Kalau dulu sih masih sering bagi kami untuk bertemu dan berlibur. Namun setelah Gameo menjadi seorang bussinessman yang super sibuk, kami pun kian jarang menghabiskan waktu bersama atau sekedar chatting via aplikasi.

Akan tetapi, aku tak merasa persahabatan kami merenggang hanya karena alasan sibuk. Masing-masing dari kami justru saling menikmati proses yang ada. Tidak saling sapa bukan berarti tidak saling mendoakan dari kejauhan. Setidaknya begitulah salah satu prinsip antara aku dan Gameo.

"Meeee, bangun sholat subuh dulu!" sembari menggoyang-goyangkan tubuh Gameo yang masih tertutup rapat oleh selimut. Terlihat sangat nyenyak, hingga posisi dia tidur masih sama sejak semalam.

Perlahan dia membuka matanya sambil menggeliat layaknya orang bangun tidur pada umumnya. "Hmmm," suara dengusannya dengan bibir rapat dan mata yang masih seperempat dari posisi melek sesungguhnya. Nyaris terlelap kembali.

Satu-satunya cara membuatnya bangun adalah memencet hidungnya, hingga dia kehabisan oksigen dan pasti akan bangun dengan cepat. Satu dua tiga, dalam hitungan ketiga aku melakukan hal tersebut padanya. Habisnya tak ada cara lain untuk membangunkannya selain itu.

Benar kan dugaanku, hanya butuh waktu sebanyak 10 detik dia akan terbangun. Cara ini memang benar-benar ampuh untuk membangunkan seorang cowok kremi macam Gameo ini.

"Reseeee lu ya!" teriaknya sambil menyingkirkan tanganku dari hidungnya. Kemudian aku beranjak berdiri dari kasur tempat Gameo tidur dan meninggalkannya.

Alih-alih melangkahkan kaki dan berjalan, sialnya kakiku tersangkut gulungan selimut Gameo yang menjuntai di atas lantai kamar. Jatuhlah aku tepat di depan nakas kecil di samping kasur Gameo.

Dengan sigap, tangan lelaki itu menangkapku sebelum keningku membentur sudut nakas. Aku pun tetap terjatuh, namun setidaknya kepalaku tidak terbentur benda keras tersebut dan menjadi insiden penuh darah di pagi hari.

"Lo tuh ya, Kei! Bisa hati-hati gak sih?! Kalo tadi gue gak berhasil nangkep lo, udah luka itu jidat!" dengan nada yang meninggi, Gameo memperingatkanku tanpa ampun. Nadanya lebih tinggi dari nada Papaku kalau sedang marah. Segalak inilah Gameo padaku, jika aku nyaris kenapa-kenapa.

Bukannya berterimakasih, aku justru menahan tangis yang akan keluar dari mataku. Lututku sakit terbentur lantai, perasaan shock dan juga kesal dibentak-bentak tercampur menjadi satu. Aku langsung menyingkirkan tangan Gameo dari keningku dan berdiri tanpa mengucapkan apapun, beranjak ke kasurku untuk menenangkan diri.

Duduk dengan lutut terlipat dan kepala menunduk dengan dagu menyentuh lutut, sembari memeluk kaki. Tanpa terasa air mata yang sejak tadi kutahan, menetes begitu saja. Aku memang sedikit sensitif jika dimarahi/dibentak, karena Mama Papaku tidak pernah memberitahuku dengan cara yang kasar jika aku melakukan kesalahan. Mereka adalah sosok yang penuh kelembutan sekaligus tegas. Jika aku berbuat salah, maka mereka hanya mendiamkanku dan bertanya padaku "apakah yang tadi kamu lakukan itu sudah tepat Keira?" Setiap kata itu terdengar, pasti itu pertanda bahwa apa yg aku lakukan adalah sebuah kesalahan dan aku harus memikirkannya sendiri dengan nalarku. Sedemokratis itulah kedua orangtuaku dalam mendidik.

Selesai sholat subuh, Gameo menghampiriku. Duduk di sampingku dan mengelus rambutku. "Maafin gue, Kei. Gue cuma takut tadi kalo sampe lo kenapa-napa. Gue lebay emang, lo juga lebih lebay digituin aja nangis! Tapi maaf gue udah bentak lo," ucap Gameo padaku.

"Lo gak salah, malah gue harusnya makasih lo udah tolongin tadi. Tapi sebel, kenapa harus dibentak," aku menanggapi ucapannya sembari sesenggukan.

"Iya, maaf. Gue cuma takut, shock tadi."

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang