30. Pertemuan Maghi & Pelangi

14 2 0
                                    

Dengan tergesa-gesa aku berjalan menuju ruang ICU tempat Ghaima ditangani oleh dokter. Dan tanpa sengaja aku terhenti sejenak saat melihat seseorang yang tak asing. Sosok yang pernah menebarkan tawa di bibirku, sosok yang juga pernah meninggalkan jejak air mata saat perginya tanpa pamit. Sosok yang bahunya pernah menjadi sandaran terhangat bagiku, namun juga berhasil menjadi badai yang meluluhlantakan sekujur tubuhku.

Pandanganku berhenti pada tatapan pilu sosok itu. Tatapan yang dulu menjadi tempat paling syahdu berubah menjadi tatapan penuh pilu. Kali ini aku harus berani, aku harus kuat, aku harus mampu menemuinya, meminta penjelasannya. Telah lama aku menyimpan segala tanya seorang diri, tanpa pernah disambut bahkan dihiraukan sedikitpun.

Aku ingin dengar dengan jelas alasan dia pergi begitu saja tanpa pesan apapun. Aku ingin mendengar segala kepahitan yang selama ini terngiang di pikiranku langsung dari mulutnya. Sekali lagi, aku ingin menatap matanya sekali lagi.

Dengan langkah berat, aku memberanikan diri menghampiri tempatnya membeku.

"Ghi, masih ingat aku?" tanyaku serak menahan segala kegundahan yang terpendam.

Sedangkan sosok itu hanya menunduk tak berani menatapku. Tak berani sama sekali melihat hadirnya diriku.

"Apa salah aku sama kamu sampai kamu pergi begitu aja ninggalin aku, Ghi? Saat aku sudah sepenuh hati sayang sama kamu? Disaat kamu sudah berhasil meluluhkan perasaanku? Disaat aku pun gak punya alasan kenapa aku bisa sesayang itu sama kamu. Kamu kemana, Ghi?"

Maghi masih diam di tempatnya berdiri, tak bergerak sedikitpun hanya suara napas gusar yang terdengar di telingaku bukan sepatah kata apapun.

"Jawab, Ghi. Bilang sama aku kalo kamu emang gak pernah sayang sama aku, bilang sama aku kalo aku perempuan bodoh yang menyayangi kamu tanpa alasan. Bilang, Ghi bilang!" benteng pertahananku mulai runtuh bersama dinginnya suasana rumah sakit dan bau obat yang menyengat. Luka yang kurasakan selama ini kembali menganga dalam sekejap setelah mati-matian aku coba sembuhkan. Sakit ini berhasil kembali menggoyahkan kekuatan yang selama ini aku bangun. Dan sosok di hadapanku hanya diam menyaksikan kekalahanku.

Sampai akhirnya aku luruh bersama seluruh air mata yang mengalir begitu saja, aku luruh hingga membungkukan badanku dan menutup wajah dengan kedua tanganku. Sakit, sangat sakit rasanya. Semua luka, kecewa, penantian dan keabu-abuan yang selama ini kupendam dalam sekejap berhasil naik ke permukaan. Menyiksaku tanpa ampun. Tak membiarkan sedetikpun oksigen masuk ke dalam otakku.

Tangisku tak bersuara, hanya sesak dan serak yang tersisa. Sudah habis segala upaya kukerahkan, hingga saat aku bertemu dengannya namun tak mendapat jawaban sepatah kata apapun. Aku tenggelam dalam kepedihanku sendiri, pada kesakitan yang selama ini kugali lubangnya sendiri di dalam hatiku. Sementara orang yang selama ini kunanti kabarnya, sapanya dan penjelasannya tidak mengucapkan sepatah kata pun padaku. Bahkan dirinya pun tak ada niatan menatapku barang hanya sedetik.

"Keluarga Ibu Santi?" tanya seorang dokter dari balik pintu ruangan rumah sakit.

"Saya, Dok. Bagaimana keadaan ibu saya, Dok?" untuk pertama kalinya aku dengar suaranya keluar dari mulut sosok itu.

"Kami membutuhkan dua kantung darah golongan AB resus negatif untuk ibu Anda. Jika tidak, kondisinya akan semakin memburuk. Gula darah yang menggerogoti tubuhnya sudah sangat berbahaya. Maka harus segera dilakukan cuci darah. Akan tetapi, di rumah sakit ini sedang kehabisan stock untuk golongan darah tersebut. Sebaiknya Anda mencari ke rumah sakit atau PMI sesegera mungkin," ungkap dokter tersebut terdengar samar di telingaku.

"Baik, Dok saya akan mencarinya. Terimakasih," Maghi bergegas pergi mencari darah untuk sang ibu. Tetap acuh, seperti tak melihatku di tempat yang sama dengannya.

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang