19. Persetujuan Helfa

15 2 0
                                    

Pagi menyapa dengan suasana yang cukup cerah, semoga kondisi Ghaima dan Helfa pun secerah hari ini. Begitulah harapanku di hari yang baru ini, setelah menghadapi malam yang cukup berat dari biasanya.

Setelah menyuapi Helfa santapan pagi menu rumah sakit, aku meminta izin padanya untuk membeli sarapan karena aku pun lapar sejak semalam belum makan apapun. Diluar kamar aku menelpon Gameo untuk menemuiku di kantin rumah sakit.

Sesampainya di kantin, aku memesan nasi rames dan 2 gelas es teh manis sebagai pilihan menu sarapan kali ini. Tidak peduli enak atau tidak, yang penting aku makan. Sembari menunggu nasi rames pesananku diantar, aku menikmati es teh manis sambil melihat ke arah taman sekitar rumah sakit yang cukup asri.

Tiba-tiba seseorang duduk di depanku, meraih gelas es teh manisku yang satunya lalu meneguknya tanpa menggunakan sedotan. Ia adalah Gameo, penampilannya kali ini terlihat berantakan. Kaos yang dikenakannya terlihat lusuh dan rambutnya pun tak beraturan.

"Dih belom cuci muka lu ya?!"

"Ehehe," Meo hanya tertawa kecil.

"Pantesan kayak gembel lu."

"Coba liat," Meo memberi kode padaku untuk mengarahkan kamera depan ponselku padanya seolah bercermin.

"Eh iya juga ya berantakan banget haha, untung ganteng. Jadi bebas aja," emang dasar urat pedenya sudah putus, beginilah akhirnya.

"Wuuuuu najong," ucapku sambil menyoraki dan mengacak rambutnya.

"Mbak, ini nasi ramesnya," seorang laki-laki paruh baya datang menghampiri mejaku dan Gameo berada serta meletakkan menu yang kupesan sebelumnya.

"Mas pesen satu lagi ya, sambelnya banyakin taro pinggir," ucap Gameo pada laki-laki tersebut.

"Oh ya, Mas sama nambah es teh manisnya satu lagi," pintaku.

Selama menikmati menu sarapan ini, aku dan Gameo benar-benar merasa kalap seperti orang tidak makan berhari-hari. Memang dasarnya kami kelaparan mungkin, hingga tak banyak percakapan selama menyantapnya.

Setelah selesai menghabiskan makanan dengan bersih tak tersisa, aku dan Gameo lantas membahas bagaimana mengenai kondisi Ghaima pada Helfa. Mau tidak mau, kami harus menyampaikan berita tersebut pada Helfa. Karena ia adalah ibu dari Ghaima.

Sehabis cukup lama berbincang menyusun strategi terbaik menurut kami. Akhirnya kami pun menguatkan diri untuk bersama menemui Helfa di kamarnya dan menyampaikan pesan dokter semalam.

Sesampainya di kamar perawatan Helfa, aku dan Gameo perlahan mulai membuka percakapan ringan dengan Helfa. Pelan namun pasti, bahasan kami menuju pada kondisi Ghaima saat ini. Air mata Helfa mengalir begitu saja membasahi kedua pipinya. Tak terlalu lama untuk membuat dirinya kembali tenang, karena Helfa adalah sosok perempuan tegar yang kami kenal. Walaupun sakit dan pilu yang ia derita sangat jelas melukai hati dan pikirannya.

Sampai akhirnya, aku dan Gameo meminta izin pada dokter yang menangani Helfa untuk membawanya menjenguk putri kecilnya di UGD menggunakan kursi roda. Lalu dengan penuh kelembutan, Helfa menciumi pipi Ghaima yang masih tak sadarkan diri. Mengelus badan mungilnya. Menciumi tangan kanan putri kecilnya itu.

Situasi ini membuatku dan Meo, tak mampu menahan tangis. Tanpa terasa air mata pun mulai membasahi pelupuk mata kami. Dengan usapan lembut di punggungnya, aku berusaha menguatkan Helfa. Sementara Gameo sudah sejak tadi, berdiri di samping Helfa sambil memegangi botol infusnya.

Ghaima beruntung memiliki ibu sebaik dan setulus Helfa. Ghaima beruntung memiliki seorang ibu yang kuat dan tegar dalam menghadapi kerasnya cobaan yang menghampirinya silih berganti. Ghaima beruntung dilahirkan dari seorang perempuan penuh kasih seperti Helfa.

Tak lama kemudian, dokter yang semalam menemui Gameo datang untuk memeriksa perkembangan Ghaima. Lantas kami bertiga pun diminta untuk segera meninggalkan ruang UGD untuk memperlancar proses pemeriksaan.

Kondisi Helfa masih sama seperti sebelumnya, air matanya masih betah mengalir di kedua pipinya. Sementara wajahnya sudah mulai mengalami perubahan cukup signifikan, tak sepucat semalam.

Aku bersama Gameo, duduk di kursi panjang depan pintu ruang UGD. Sementara Helfa masih tetap duduk di kursi rodanya. Aku dan Meo tak banyak berbicara karena sungguh kami pun terpukul setelah melihat kondisi Ghaima saat ini.

"Keluarga Ghaima Andini?" tanya sang dokter pada kami bertiga.

"Iya, Dok saya ibunya," ucap Helfa.

"Perkembangan Ghaima cukup baik, hanya saja pasien belum sadarkan diri berkat benturan keras di kepalanya. Sebelumnya saya telah membicarakan soal operasi pemasangan pen pada tangan kiri Ghaima. Apakah saudari menyetujui?"

"Iya, Dok. Tolong lakukan perawatan yang terbaik untuk anak saya. Saya mohon selamatkan, Ghaima."

"Kami berusaha semaksimal mungkin, Bu. Akan tetapi, akan lebih baik jika ibu dan keluarga tetap memberikan doa untuk kesembuhan pasien."

"Baik, terimakasih banyak, Dok. Kapan saya harus menandatangani persetujuan itu, Dok?"

"Sekarang bisakah Anda ikut saya ke ruangan?" ucap dokter laki-laki tersebut.

Serentak kami bertiga pun mengikuti kemana dokter menuju.

***

Ternyata persetujuan penanganan medis untuk Ghaima lebih dari sekedar operasi pemasangan pen pada tangan kirinya, melainkan ada hal yang lebih mengkhawatirkan yakni luka dan keretakan yang terjadi pada tempurung kepala Ghaima hanya bisa dipulihkan bertahap untuk saat ini. Dikarenakan usia Ghaima yang masih sangat kecil untuk dilakukan operasi di bagian kepala. Sebagai efeknya, kemungkinan besar tumbuh kembang putri kecil nan lincah tersebut akan mengalami keterlambatan.

Berita tersebut sangat membuat Helfa terpukul ketika mendengarnya. Runtuh seluruh benteng pertahanan dalam dirinya tatkala harus menerima kenyataan pahit tersebut.

Namun sikapnya yang tangguh dan bijaksana, membuat dirinya dengan lapang menerima segala konsekuensi yang akan terjadi. Ia siap menerima segala kekurangan yang akan Ghaima hadapi. Ia bersedia untuk senantiasa merawat putri kecilnya dengan sejuta harapan. Dirinya percaya bahwa Tuhan tak akan memberinya cobaan jika tak mampu untuk ia hadapi.

Setelah menandatangani surat persetujuan, kami bertiga pun meninggalkan ruangan dokter dan lantas menuju ruang UGD untuk kembali menunggu perkembangan pada Ghaima. Namun ternyata kondisi Helfa yang masih lemah mengharuskannya kembali ke kamar perawatan.

Dengan berat hati, Helfa harus menurut ketika seorang perawat membawanya kembali ke kamar perawatan. Sementara aku dan Gameo justru menjadi orang yang dibiarkan untuk tetap tinggal di ruang UGD tersebut. Sebelumnya aku hendak menemani Helfa di kamar, namun ia justru menyuruhku tetap berada di ruang Ghaima berada bersama Gameo.

Mungkin Helfa butuh ruang sendiri untuk sementara waktu. Ia butuh menjernihkan pikiran dan menenangkan hatinya saat ini, maka aku memaklumi permintaannya.

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang