Sebelum menuju Pantai Parangtritis, Gameo mengarahkan kemudinya menuju sebuah toko oleh-oleh ternama di daerah Yogyakarta. Tidak seperti biasanya, kali ini Gameo tampak bersemangat dan sibuk mencari makanan apa yang sekiranya akan dia beli. Biasanya kalau sudah urusan belanja hal-hal seperti ini, dia paling malas dan sangat acuh. Paling berinisiatif membawakan keranjang belanja dan aku yang sibuk memilih snack apa saja yang akan dibeli.
Entah kenapa kali ini Gameo yang jauh lebih semangat dibandingkan aku, mungkin karena kondisi hatiku masih dalam fase galau stadium 3 hingga aku merasa tak bersemangat dalam melakukan hal apapun. Apa boleh buat, insiden di basement itu diluar kendaliku dan Gameo. Tuhan mempertemukanku dengan Maghi tanpa aba-aba maupun prediksi sedikitpun dalam pikirku. Mana kutahu pula jika dia sedang berada di Yogyakarta saat ini.
"Tumben lo semangat banget milihin makanannya, biasanya juga cuma jadi pembawa keranjang belanja dan gue yang sibuk milih," celetukku pada Gameo.
"Ya abisnya, lo lagi galau gitu. Loyo banget kayak koyo. Ya gue inisiatif aja lebih aktif dari lo, masa kita pulang ke Jakarta nanti gak bawa apa-apa? Sayang banget jauh-jauh kesini gak bawa oleh-oleh," ucap Gameo santai.
"Tapi itu yang lo pilih udah banyak banget loh, Me. Mau buat siapa coba? Kan di rumah lo cuma ada Kak Gaby sama Bi Narsih."
"Nanti gue ajak lo deh, biar tahu sebagian ini untuk siapa."
"Hmm, oke," tanpa banyak bertanya, aku hanya mengiyakan ucapan Gameo.
***
Setelah selesai berbelanja bukannya langsung menuju Pantai Parangtritis, Gameo justru membawa mobil ini mengarah pada sebuah rumah bergaya mediterania klasik dengan aksen ukir di setiap kayu penyangganya.
Bisa dibilang bangunan ini sudah lumayan lama berdiri kokoh, berumur sekitar 50 tahunan menurut prediksiku yang asal. Tua namun terlihat terurus dan nyaman. Di bagian teras terdapat sebuah meja berbentuk bundar berbahan dasar kayu jati, dikelilingi dengan empat buah bangku rotan berukuran pas untuk diduduki 1 orang di setiap bangkunya.
Gameo berjalan mendahuluiku menuju pintu rumah tersebut. Pintu dengan aksen ukir bermotif flora berwarna coklat tua. Lalu mengetuknya dengan lingkaran berbahan dasar logam berwarna keemasan dan bentuknya mirip sebuah tapal kuda atau gelang yang ukurannya agak besar. Aku tidak tahu apa itu namanya, namun benda seperti itu memang dipergunakan untuk mengetuk pintu.
Aku segera menghampiri Gameo dan ikut berdiri disampingnya, di depan pintu tersebut. Dari dalam terdengar suara perempuan yang dari suaranya aku menebak berumur sekitar 40 tahun, "iyo, sek sek, tunggu sebentar."
"Bu," suara Gameo pada perempuan paruh baya tersebut, sambil memeluknya erat. Sedangkan aku hanya menatapnya bingung, siapa perempuan ini. Gameo terlihat sangat mengenalnya.
Tidak lama kemudian, Gameo melepaskan pelukannya terhadap perempuan itu seraya merangkulnya penuh kehangatan. "Bu, ini Keira, sahabatnya Meo. Dia ini perempuan keempat yang Meo sayang setelah ibu, mama dan Kak Gaby."
Senyum sopan menghiasi bibirku seraya menjabat tangan perempuan itu, untuk mencium tangannya. "Assalamualaikum, Bu."
"Walaikumsalam, nduk. Ayu tenan koe, nduk," ucap perempuan itu seraya mengelus rambutku.
"Ibuuu, jangan dipuji kayak gitu. Nanti dia bisa langsung terbang nembus genteng. Kan sayang rumahnya bu kalo rusak," ledek Gameo padaku.
Aku langsung menatapnya nyalang pertanda bahwa dirinya sudah diluar batas aman dan harus bersiap bahwaku akan melakukan serangan. Entah itu pukulan pada lengannya ataupun menginjak kakinya. Sayangnya saat ini ada orang lain, jadi harus kutahan hasrat untuk menyerang Gameo.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maghi & Pelangi
RomanceTentang semu yang selalu menjelma bagaikan debu. Penuh rasa namun tak pernah teraba oleh asa. Bahkan terhisap habis oleh udara. Ketika berdiriku tak lagi kokoh, tolong ingatkan aku pada secercah harap agar ku dapat bangkit dari segala cemooh. Sendi...