Setelah pertemuan di restoran waktu itu, hubunganku dengan Hans menjadi lebih akrab. Kami sering hangout bersama, terlebih kemarin aku sempat diajarkan cara brew coffee di kafenya.
Bahkan ia sempat mengirimiku sekotak puding coklat yang merupakan salah satu makanan kesukaanku ke kantor. Yang aku ingat di dalam paperbag itu terdapat sebuah note bertuliskan "Cobain nih puding buatan gue, gak kalah sama puding buatan chef ternama kok."
Mentang-mentang jago masak, seolah dirinya mampu mengalahkan chef ternama. Emang deh jiwa pedenya semakin lama mirip sama Gameo.
Baru sesuap aku mencicipi puding tersebut, nyatanya benar-benar berhasil meluluhkan lidahku. Ini benar-benar enak dan fla-nya pun super creamy.
Maafkan aku, Ma puding buatan Mama sedikit terkalahkan oleh buatan Hans.
Dengan refleks tanganku langsung mencari kontak sang pengirim puding dan menelponnya.
"Gimana? Pasti mau bilang terimakasih Hans pudingnya enak bangettttt?" ledek Hans di ujung sana.
"Yeeeh pede banget sih, aduh gue keracunan nih, mules nih aduh aduhhh pudingnya lo kasih racun apasih?" berpura-pura kesakitan.
"Eh serius, Kei? Eh udahan jangan dimakan lagi, gue lupa kalo tadi pagi kejatuhan cicak itu puding sebelum dikirim."
"Huekkkk..." aku sontak menahan muntah mendengar ucapan Hans yang menjijikan tersebut.
"Eh eh gue bercanda Keira Shevaniaaaa. Masa iya gue sejahat itu sama lo? Paling cuma gue kasih upil aja dikit."
"Udahlah, mau gue buang aja pudingnya. Jijik proses masaknya," dengan suara yang mulai bete.
"Keira, gue bercanda. Gue gak kasih racun apapun ke lo. Buktinya aja lo masih bisa nelpon gue kan, gak terkapar keracunan. Kalo gak enak ya tinggal bilang aja gak enak, jangan pake pura-pura keracunan segala. Aku sakit dengernya, Kei," dengan nada yang berlebihan.
"Oke, cut. Actingnya udahan. Suara lo lebih menjijikan ternyata hahaha."
"Rese juga lo, Kei. Hahaha"
"Oh ya pudingnya numero uno. Terimakasih yaaa juragan kafe."
"Kalo aku gimana?"
"Hah? Maksudnya?" tanyaku bingung.
"Kalo aku numero uno juga gak di hati kamu? Ciaaat ciat ciat," kata Hans sembari bercanda. Memang suka lebay dia tuh.
"Numero uno duo tigo dongg hahaha," aku pun menanggapinya dengan bercanda.
Akhirnya selama jam makan siang, sembari menghabiskan puding tersebut aku mengobrol dengan Hans. Dan seperti biasa, aku lebih banyak mendengarkan ceritanya dibanding aku yang bercerita. Karena mendengar hal-hal yang diucapkannya selalu mampu membuatku merasa tenang.
***
Bukan Gameo namanya kalau tidak penuh kejutan. Dirinya sudah berada di lobby kantorku, entah sejak kapan. Tidak ada kabar maupun pesan yang ia kirimkan padaku.
Refleks aku langsung berlari ke arahnya dan memeluknya. Aku rindu pada si cacing kremi. Aku rindu makan udon bersamanya atau sekedar menonton film di rumahku atau sekedar bertengkar dengannya mengenai snack yang selalu ia habiskan dalam sekejap.
"Maaf, Mbak siapa ya? Kok peluk-peluk saya?" ucap Gameo berlagak dingin seperti orang tidak kenal.
Aku pun langsung melepas dekapanku dan bergegas jalan meninggalkannya. Namun tanganku berhasil ditarik olehnya.
"Gitu aja ngambek, gak kangen nih?" ledek Gameo padaku.
"Maaf katanya gak kenal, kok pegang-pegang tangan saya?" sekarang gantian aku yang meledeknya.
"Jangankan pegang tangan, acak-acak rambutmu juga saya berani, Mbak," ucap Gameo sembari mengacak rambutku.
Kami pun lantas beranjak meninggalkan lobby menuju parkiran motor. Walaupun aku sudah biasa berboncengan dengannya, namun ada yang beda hari ini. Gameo tiba-tiba duduk di sebuah motor sport berwarna hitam yang entah milik siapa. Karena yang kutahu motor kepunyaannya adalah vespa berwarna hitam.
Wah udah gila ini anak, motor orang main dudukin aje.
Aku hanya melihat tingkahnya, tidak ikut duduk di jok bagian belakang motor tersebut. Karena aku yakin, dia hanya bergaya saja dengan menaiki motor milik orang yang terparkir disitu.
Sampai saat bunyi mesin motor tersebut terdengar barulah aku mendekat ke arah Gameo. "Motor siapa ini? Jago juga lo ngakalin kuncinya pake kawat," ucapku sembarangan seolah dirinya tengah mencuri motor milik orang lain.
"Hahaha sialan, motor si Oka ini. Bukan nyuri gue," ujar Gameo santai sembari tertawa.
"Nih helmnya, buruan naik. Jangan sampe gue berubah pikiran mau bonceng mbak-mbak receptionist," sembari menyerahkan helm kepadaku.
Dan aku pun langsung menaiki motor tersebut. Lalu kami pun langsung meninggalkan lahan parkir menuju ke restoran favorit kami.
Jarak antara kantorku dan restoran tersebut memang tidak terlalu jauh, ditambah saat ini Gameo mengendarai motor. Maka secara otomatis semakin cepat kami sampai di lokasi tersebut.
Tak tanggung-tanggung saat buku menu diberikan oleh pelayan restoran, si cacing kremi langsung memesan 2 porsi menu udon kesukaannya. Mungkin ia sedang mengidam layaknya ibu hamil.
Yeay akhirnya aku kembali ke restoran ini lagi bersama Gameo. Setelah sebelumnya hanya ditemani melalui sambungan video call.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maghi & Pelangi
RomanceTentang semu yang selalu menjelma bagaikan debu. Penuh rasa namun tak pernah teraba oleh asa. Bahkan terhisap habis oleh udara. Ketika berdiriku tak lagi kokoh, tolong ingatkan aku pada secercah harap agar ku dapat bangkit dari segala cemooh. Sendi...