31. Perpisahan dan Pertemuan

13 2 0
                                    

Satu hal yang masih kubingungkan, mengapa ada Aura disini. Apakah Hans sedang bersamanya sebelum mendengar kabarku di rumah sakit?

"Aduh aku terharu dengernya, biasanya aku dimaki-maki sama kamu. Sekarang dipuji-puji," tukas Gameo meledekku.

"Jarang-jarang kan lo denger tuan puteri muji lo?" ujarku tajam.

"Hahaha lo sih nenek lampir, cewek disamping gue nih baru tuan puteri."

"Dih? Kok lo kenal sama Aura?" tanyaku tampak bingung. Bahkan Hans pun memasang raut wajah bertanya-tanya ada hubungan apa antara Aura dengan Gameo.

"Wess kenal lah, dia tuan puteri yang gue temuin lagi ngiler ngeliatin gue makan sate di Kendari, Kei," jawab Gameo bercanda membuat seisi ruangan tertawa.

"Issh enak aja, aku gak ngiler loh ya!" Aura mencoba mengklarifikasi ucapan Gameo yang asal-asalan sebelumnya.

Selebihnya kami hanya bersenda gurau sebentar, hingga aku mampu berdiri dan berjalan menuju ruang kamar Ghaima berada.

Setelah meninggalkan ruangan donor darah, aku menyempatkan diri untuk menemui Maghi di depan kamar perawatan ibunya. Entah sejak kapan ia meninggalkan ruang donor darah, tak ada pamit atau gerak-gerik yang terbaca sedikitpun.

"Ghi," sembari mengusap bahunya.

Kemudian Maghi mengangkat kepalanya yang sedari tadi menunduk untuk menemui orang yang mengusap bahunya.
Setelah melihat keberadaanku, dia tetap diam. Tak ada kata yang keluar dari mulutnya.

"Yang tabah ya, aku tau kamu lebih kuat dari yang terlihat. Dan itulah salah satu daya tarik kamu. You're a strong man."

"Makasih, Kei," datar, sangat datar. Terasa kepiluan dan beban yang sedang dipikulnya seorang diri.

"Kalau kamu butuh orang yang bisa dijadikan tempatmu berbagi, aku masih sama. Tetap menjadi orang itu. Ini nomor ponselku, siapatau sudah kamu hapus," sembari memberikan secarik kertas untuknya. Kemudian aku berlalu meninggalkannya menuju ruang perawatan Ghaima.

***

Di depan ruang perawatan Ghaima, semua merasa gelisah. Aku pun merasakannya. Sembari merangkul Helfa berusaha menguatkan, aku pun tak mampu menahan air mataku ketika melihat betapa khawatirnya Helfa dengan keadaan Ghaima.

Mungkin akan seperti itu ketika aku merasakan menjadi seorang ibu. Akan semenyakitkan itu melihat buah hatiku dalam keadaan lemah dan tak berdaya. Helfa sudah bertahan dengan sangat kuat, sudah bersabar dengan kadar yang luar biasa. Dan aku banyak belajar dari dirinya.

Terlebih, ketika kabar itu datang. Kabar dari segala penantian. Tepat di hari itu, Ghaima harus kembali ke pangkuan Sang Pencipta. Ghaima sudah berada di tempat terindah, tanpa harus merasakan sakitnya lagi.

Hanya pelukan hangat dan cium penuh keikhlasan yang Helfa lakukan saat itu. Tak ada tangis histeris atau perasaan berat menerima keadaan. Justru keikhlasan yang nampak pada dirinya.

Dengan penuh kelembutan, Helfa mengecup pipi sang buah hati lama sebelum akhirnya Ghaima harus dimandikan dan diurus jenazahnya. Aku belajar banyak hal hari itu.

Bukan sekedar ikhlas menerima fakta mengenai Maghi. Namun juga, belajar menerima bahwa tak semua hal harus berjalan sesuai keinginanku. Karena Tuhanlah yang Maha Berkehendak atas segala hal.

Hingga akhirnya aku pun menerima kabar bahagia yang tak pernah kuduga sebelumnya. Ketika Hans tiba-tiba melamarku, dua hari setelah pemakaman Ghaima dilaksanakan.

Hans mengungkapkan bahwa dirinya telah lama menyimpan rasa padaku, ya sangat lama sejak masa perkuliahan. Namun dirinya bertekad tak akan mengungkapkannya sebelum ia mampu menjadi lelaki bertanggungjawab versinya.

Mau tau apa tanggungjawab versi dia? Kuceritakan sedikit, bahwa Hans sempat bilang padaku kalau dirinya tak akan mengumbar janji atau sekedar kata cinta untuk memikat perempuan idamannya, melainkan ia harus mampu menghidupi dirinya sendiri dan pasangannya dengan layak. Oleh karena itu, sejak dahulu dia tak pernah menunjukkan rasa sukanya secara terang-terangan atau layaknya orang pedekate pada umumnya.

Sama sekali tak pernah terduga sebelumnya kalau Hans menyimpan rasa padaku lebih dari sekedar teman. Salut rasanya saat mengetahui semua hal yang ia ungkapkan. Betapa setia dirinya, betapa gigihnya dia, betapa mandiri dan dewasanya dia.

Dalam sikap santainya, ternyata ia begitu matang dan bijaksana menjalani hidupnya. Kuharap aku pun dapat menjadi dewasa seperti dirinya, setidaknya aku layak menjadi tulang rusuknya.

Dari Hans aku banyak sekali menerima pelajaran-pelajaran hidup yang beda dengan pola pikirku selama ini. Melalui dirinyalah aku mampu menerima kekuranganku dengan lebih baik. Dan melalui dirinya pula aku merasa dihargai dan diperlakukan dengan sangat baik sebagai seorang perempuan.

Walau sebelumnya Maghi sempat memperlakukanku dengan begitu baik, dan akhirnya pergi. Ternyata Tuhan mengganti sosok Maghi dengan kehadiran Hans, sosok yang telah lama ada di hidupku meskipun sempat hilang juga ditelan waktu. Hingga akhirnya aku dipertemukan kembali dengannya pada sebuah acara kantorku yang diadakan di cafe miliknya.

Pertemuan tak terduga yang berakhir menjadi kisah penuh cinta. Ternyata benar, perihal jodoh tidak ada yang tahu. Hanya Tuhan yang menyimpan rapat semuanya dan menunjukkannya pada waktu yang tepat.

Terimakasih telah menghadirkan sosok Hans sebagai obat sekaligus tempatku berlabu dari ombak yang sekian lama menghantamku. Begitupula dengan pertemuan Gameo dan Aura yang akhirnya mengarah pada jenjang yang lebih serius.

***

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang