18. Ruang yang Berbeda

18 2 0
                                    

Aku dan Gameo berlari kecil menuju ruang UGD rumah sakit. Di pikiranku saat ini, aku hanya ingin berada disamping Helfa dalam keadaan terpuruk seperti ini. Aku ingin melihat keadaan Ghaima. Aku ingin memeluk erat Helfa untuk sekedar menenangkan diri walau hanya sesaat.

Aku pernah ada di posisi ini, bahkan sampai detik ini pun aku masih ingat betul kejadian beberapa tahun silam. Sebenarnya lututku sedikit lemas karena ingatan tentang Kak Affan masih dengan jelas menghantui pikiranku. Sakit dan kepiluan itu masih mendekapku dengan erat, seolah tak akan membiarkanku lupa mengenai peristiwa kelam tersebut.

Namun Helfa adalah alasan aku berdiri dan berlari saat ini. Berkat dukungan Gameo, aku mampu melawan semua rasa takut dan ingatan menyakitkan ini. Secara tidak sengaja, aku dipaksa untuk memerangi diriku sendiri. Aku dipaksa untuk mendobrak segala ketakutan dan traumaku ini. Aku dipaksa untuk menjadi perempuan yang lebih kuat lagi dari sebelumnya. Dan aku dipaksa untuk berani menghadapi kenyataan bahwa tak selamanya hidup itu akan baik-baik saja.

Perempuan dengan rambut terurai berbaju merah marun di ujung sana terlihat sedang menunduk sembari menangis di salah satu kursi depan ruang UGD. Aku semakin mempercepat langkahku untuk segera menghampiri dan memeluknya. Dalam tangisnya, ia terlihat nampak pucat pasi menahan ketakutan. Sama sepertiku dahulu, takut akan kehilangan. Bukan sekedar panik terhadap keadaan Ghaima, namun rasa takut akan kehilangan itu jauh lebih menusuk tepat di inti jantung seorang ibu.

Tangisnya pecah tatkala aku membalas peluknya erat. Berat beban yang telah dipikulnya sudah begitu banyak. Hingga kini dirinya bagaikan sebuah patung porselen yang sedikit saja tersentuh maka akan hancur berkeping-keping. Bukan hanya kesedihan yang tampak pada dirinya, namun juga suhu tubuhnya yang tidak menunjukkan keadaannya baik-baik saja. Suhu tubuh Helfa cukup tinggi saat aku memeluknya, kurasa dia pun butuh penanganan medis.

Selepas memeluknya, aku meminta botol air mineral pada Gameo yang sedari tadi berdiri disamping kami. Bermaksud menyuruh Helfa meneguk sedikit air agar keadaan dia membaik. Namun Helfa menolaknya. Ia masih menangis sambil tak henti berdoa dan berharap untuk keselamatan putri kecilnya. Aku hanya bisa mengusap punggungnya, berusaha memberi sedikit kekuatan padanya.

Aku duduk berdampingan dengan Helfa, menggenggam tangannya berusaha menguatkan. Hingga lambat laun, genggaman itu melemah dan terlepas. Tubuh Helfa melemas tak berdaya, matanya pun terpejam. Tubuhnya bersandar tepat di bahuku. Ia kehilangan kesadaran, tubuhnya tidak dalam keadaan sehat dan baik-baik saja.

Lantas aku menyuruh Gameo untuk memanggil perawat untuk menangani Helfa.

Ternyata Helfa bukan hanya shock melainkan ia pun dehidrasi dan mengalami sakit tiphus setelah diperiksa oleh dokter dan dibawa ke ruang perawatan. Dokter pun menyarankan bahwa dirinya membutuhkan istirahat yang cukup. Sehingga aku pun harus menemani Helfa di ruang perawatan, sementara Gameo masih menunggu kelanjutan kabar dari Ghaima di ruang UGD.

Helfa belum sadarkan diri selama beberapa jam, kondisinya cukup lemah sehingga membutuhkan istirahat yang cukup. Sepertinya ia sudah lama menahan sakit pada tubuhnya dan selalu memaksakan kehendak bahwa dirinya baik-baik saja. Aku pun masih duduk disamping ranjang tempat Helfa terbaring. Dimana suhu tubuhnya pun lambat laun menurun menuju normal.

Sementara di sisi lain rumah sakit, Gameo masih duduk menunggu dokter keluar ruangan UGD dan memberi penjelasan. Cemas sekaligus iba terhadap apa yang dialami oleh Ghaima dan Helfa saat ini.

"Maaf, apakah Anda keluarga dari pasien bernama Ghaima Andini?" tanya seorang dokter laki-laki berkacamata pada Gameo.

"Iya, Dok. Saya saudaranya. Bagaimana keadaan Ghaima dok?"

"Mohon maaf, luka yang dialami Ghaima cukup parah sehingga perlu dilakukan perawatan intensif di rumah sakit. Benturan keras di kepalanya menyebabkan keretakan pada tempurung kepalanya. Untuk bagian tubuhnya, tangan kiri pasien mengalami patah akibat kecelakaan tersebut. Oleh sebab itu, kami bermaksud meminta persetujuan apabila dilakukan operasi untuk memasang pen pada tangan kiri pasien."

Gameo bimbang dengan jawaban dokter tersebut. Ia perlu meminta izin terlebih dahulu pada Helfa mengenai pelaksanaan operasi ini. Belum sempat menjawab, dokter pun berbicara lagi, "Jika bisa proses operasi dilakukan secepatnya untuk mengurangi kerusakan dan cedera pada tulang di tangan kiri pasien."

"Tapi bagaimana kondisi Ghaima sekarang, Dok?"

"Kondisi pasien masih belum sadarkan diri, untuk penanganan keretakan pada tempurung kepalanya baru bisa besok didiskusikan karena perlu ditinjau lebih lanjut oleh dokter spesialis bedah syaraf."

"Sebentar, Dok. Saya akan menemui ibunya."

"Baik kalau begitu. Nanti tolong beri kabar pada suster saja, Anda akan diantarkan ke ruangan saya untuk menandatangani surat persetujuan."

"Baik, terima kasih banyak, Dok."

***

Tak lama setelah itu, Gameo mendatangi kamar perawatan Helfa. Bermaksud untuk memberi kabar mengenai keadaan Ghaima sesuai dengan pesan yang telah dokter sampaikan sebelumnya.

Kondisi Helfa yang memang jauh dari kata baik-baik saja membuat sebagian nyali Gameo surut perlahan. Tak tega rasanya untuk memberitahu kabar Ghaima sesungguhnya. Gameo justru berdiri disampingku, sambil meremas erat pundakku. Sementara aku dengan firasat yang tak cukup baik menengok padanya, dan Gameo memberi isyarat agar kami keluar dari kamar perawatan Helfa untuk membicarakan sesuatu.

Di lorong rumah sakit, tepat di bangku seberang pintu kamar perawatan Helfa. Gameo menggenggam tanganku erat, ada kata yang terasa berat sekali untuk diucapkan. Aku biarkan dia menenangkan diri, memberi jeda untuknya.

Perlahan Gameo mulai menceritakan mengenai kondisi terakhir Ghaima saat itu. Suaranya parau, ia merasa sangat sulit menceritakannya padaku. Ini baru padaku, bagaimana menjelaskannya pada Helfa yang merupakan ibu kandung Ghaima. Dengan mata yang mulai berkaca-kaca, aku mengusap punggung tangan Gameo dengan tangan kiriku. Berat rasanya jika kami harus menceritakan hal ini pada Helfa, namun hal ini sangat perlu untuk dibicarakan pada Helfa.

Sementara di dalam kamar perawatan, Helfa masih tertidur pulas. Mungkin pengaruh obat yang telah disuntikkan ke tubuhnya. Tidurnya sangat lelap. Matanya yang nampak sayu menggambarkan seberkas kepiluan yang mendalam. Bagaimana bisa aku menceritakan kondisi Ghaima padahal keadaan Helfa pun cukup lemah saat ini?

Setelah Gameo menceritakan semua hal itu padaku, ia kembali pergi menuju masjid rumah sakit untuk menunaikan ibadah sholat isya. Begitupun aku, dibiarkan kembali memasuki ruang perawatan Helfa.

"Kei..." suara Helfa pelan, takut menggangguku yang baru saja selesai melaksanakan sholat isya.

"Eh udah bangun, Hel? Haus? Tunggu sebentar," ucapku sembari melepas mukena dan mengambil segelas air.

"Terimakasih, Kei."

"Lo harus banyak istirahat ya!"

"Ghaima bagaimana, Kei?"

"Hmm..." aku bingung harus menjawab apa pertanyaan tersebut.

"Kei?"

"Oh, Ghaima dijagain sama Meo kok. Lo jangan terlalu banyak pikiran dulu ya."

"Apa dia baik-baik aja, Kei?"

"Hmm... Besok ya kita jengukin Ghaima. Lo istirahat dulu."

"Gue gak bisa tenang, Kei. Ghaima gimana kondisinya?" sembari bergerak nekat ingin melepas infusan yang melekat pada tangannya.

"Hel, sabar. Besok kita kesana ya. Sekarang lo harus istirahat dulu," sambil membantu Helfa kembali berbaring.

"Apa dia baik-baik aja, Kei?" air mata Helfa mulai mengalir begitu ia menanyakan keadaan Ghaima berulangkali, namun tak ada satupun jawaban yang ia harapkan keluar dari bibirku.

Aku tidak tega harus menjelaskannya sekarang. Aku tidak cukup kuat jika harus mengatakan hal yang sesungguhnya saat ini. Kondisi Helfa masih sangat lemah.

"Dia baik kok," maaf, Hel gue bohong.

"Terimakasih, Kei udah ada disaat gue terpuruk kayak gini. Maafin gue udah repotin lo dan Meo," ucap Helfa.

"My pleasure, Hel. Yaudah istirahat dulu ya!" sekali lagi, maafin gue, Hel udah bohong soal kondisi Ghaima.

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang