36. Titik Akhir

33 3 4
                                    

Saat ini, aku berada dalam sebuah seminar yang memang sudah rutin selalu kuhadiri. Karena moderatornya memanglah sosok yang sangat aku kagumi. Aku suka penyampaiannya, pola pikirnya dan juga caranya menjawab segala pertanyaan audiens yang hadir.

Terlebih ketika aku bisa duduk di kursi paling depan setiap kali menghadiri seminar seperti ini. Duduk dan menatap hanya ke satu arah moderator di depan, fokus dan menikmati segala hal yang disampaikan.

Moderator ini bukan sekedar pandai berbicara di depan umum dan berbagi ilmu di setiap seminar bisnis ataupun wirausaha. Melainkan pandai sekali membuat hatiku berbunga-bunga setiap berada di dekatnya. Ya, dia adalah Hans Dinanta, suamiku.

Setahun setelah menikah, usaha cafe milik Hans tidak berhenti sampai disitu. Ia berhasil mengembangkan usahanya menjadi lebih dikenal dan memiliki potensi besar untuk sekitar. Terutama untuk anak muda.

Ia berhasil mendirikan sebuah tempat yang bukan hanya berbasis pada bisnis namun juga pada seni. Ya berkat campur tangan orang-orang hebat juga sepertinya, yaitu Gameo Hernanda yang merupakan seorang creative bussinessman sejak dahulu.

Kedua orang hebat ini berkolaborasi mendirikan sebuah studio seni yang juga menyatu dengan cafe dan perpustakaan. Bahkan tempat ini merupakan media untuk banyak sekolah dan pekerja industri kreatif untuk mengadakan pertemuan.

Sedangkan aku? Aku berperan sebagai seorang perempuan yang tidak kalah hebat tentunya, berkat dikelilingi dengan orang-orang hebat sehingga menularlah kehebatannya pada diri ini. Aku masih sering ikut menggarap beberapa proyek desain yang bekerjasama dengan studio milik suamiku dan Gameo.

Lalu hal hebat lainnya adalah ketika aku masih mampu menggarap proyek tersebut berbarengan dengan jadwal senam rutinku selama masa kehamilan. Ini merupakan bulan keenam jabang bayi berada di dalam rahimku. Karena mengalami mual-mual sembari tetap mengerjakan proyek kreatif itu sensasinya luar biasa.

Ide-ide yang muncul pun biasanya jauh lebih liar dibandingkan ketika aku masih single dahulu. Singkat cerita sih, aku berharap proyek yang sedang kugarap saat ini bisa menjadi proyek yang bermanfaat untuk banyak orang sekaligus berhasil menjadi pencapaianku di kala hamil.

"Terimakasih atas partisipasi Anda semua yang telah hadir pada seminar kali ini, sampai jumpa," kata penutup dari sang moderator untuk mengakhiri sesi seminarnya.

Suara tepuk tangan audiens pun terdengar ketika berakhirnya sesi seminar tersebut. Kemudian beberapa orang mulai merapikan buku catatannya, meminum air mineral yang tersaji di meja, ataupun mencicipi segala sajian yang tersedia untuk para audiens.

Hans pun menghampiriku, kemudian merangkulku penuh kasih. "Terimakasih sayang udah jadi penyemangat aku," bisiknya tepat di telinga kananku.

"My pleasure, dear," balasku.

Dan beberapa audiens pun ada yang menghampirinya untuk sekedar berjabat tangan bahkan adapula yang berniat untuk berbincang dengan Hans. Aku hanya menatapnya bangga sembari setia menemaninya.

Rasanya ini semua diluar prediksiku. Tak pernah terlintas sama sekali jika aku akan menjadi istri dari seorang Hans Dinanta. Sungguh benar, rencana Tuhan memang tak pernah ada yang tahu dan tak ada yang dapat menyangkalnya.

Berada di posisi ini membuatku berpikir, betapa banyak hal baik yang Tuhan berikan kepadaku dan keluarga kecilku. Mulai dari mengikhlaskan kepergian Maghi hingga menerima pinangan Hans.

Sebenarnya sekitar dua tahun lalu, Hans sempat mundur sebagai tunanganku. Ia merasa bahwa Maghi lebih layak berada di sisiku. Padahal aku tak pernah mengungkapkan hal itu. Karena antara Hans dan Maghi punya peran yang berbeda di hidupku.

Akan tetapi, takdir membawaku kembali ke dalam dekapan Hans, karena setelah sebulan Hans melepasku untuk kembali bersama Maghi. Ternyata Maghi pun harus pergi, bukan tanpa sebab lagi walau perginya tetap tanpa pamit seperti sebelumnya.

Tepat sebulan aku bersama Maghi, ia mengalami kecelakaan. Ia pergi sekali lagi dari hidupku tanpa pamit, tanpa alasan. Tapi itu adalah akhir dari segala hubunganku dengannya.

Keikhlasan Hans melepasku untuk bersama Maghi saat itu, lantas luruh begitu tahu bahwa Maghi meninggal dunia. Hans menjadi manusia paling setia berada di dekatku, melebihi Gameo ataupun ibunya Maghi.

Hans yang mengantarku ke pemakaman beberapa kali, memberikanku dukungan begitu besar, membuatku percaya bahwa aku bisa bangkit dari jatuhnya aku saat itu. Kehilangan Maghi yang kedua kalinya, tetap terasa berat bagiku. Bahkan sangat berat, karena aku harus melihat dengan mata kepalaku sendiri jasadnya diletakkan di peristirahatannya yang terakhir di liang lahat.

Tangisku pecah saat harus melepas kepergiannya. Rasanya baru sebentar aku merasakan kenyamanan itu, rasa nyaman yang Maghi berikan. Rasanya baru sebentar aku belajar menerimanya kembali dan merajut kisah dengannya.

Berat sekali berada di posisi itu, saat semua orang mungkin hanya memberiku dukungan untuk sabar dan ikhlas. Hans hadir dengan segala kelapangan dan kebaikannya. Sekali lagi, Hans datang dengan segala keistimewaan hatinya.

Hanya ia yang mampu bertahan untuk membuatku bangkit. Menyadarkanku bahwa semua bukan salahku, membantuku mengikhlaskan kepergian Maghi, bukan karena dirinya merasa menang atas Maghi dan akan memilikiku sekali lagi. Tapi karena Hans tulus mencintaiku dengan caranya. Ia rela menemani kapanpun setiap aku merindukan Maghi, ia rela bahunya menjadi sandaranku tatkala menangis mengingat kepergian Maghi.

Sekali lagi, Hans benar-benar memperlakukanku dengan sangat baik. Bahkan Gameo pun sempat kewalahan melihatku terpuruk saat itu. Sedangkan Hans, justru mati-matian membuatku bangkit dari kesedihanku.

Singkat cerita, lambat laun Hans menyadari bahwa ia masih mencintaiku dan kembali ingin bersama denganku. Ia mengungkapkan hal itu beberapa bulan setelah aku mulai ikhlas atas kepergian Maghi, sembari ia mengembalikan cincin pertunangan yang sempat kukembalikan padanya dahulu.

Ternyata Hans masih menyimpannya. Hans masih sekali lagi berharap akulah yang akan menjadi pendamping hidupnya. Dan ternyata Tuhan pun merestui.

Aku sempat menolak untuk kembali dengannya, karena jujur saja aku malu dan merasa sangat jahat telah melepasnya demi orang lain. Aku sempat merasa tak pantas berada di sisi orang sebaik Hans Dinanta. Tapi yang kuingat Hans pernah bilang, "gak pernah ada dalam kamus hidup aku bahwa kamu itu jahat sama aku, Kei. Waktu yang membawa aku dan kamu untuk kembali, itu pun jika kamu mau menerimaku untuk menjadi pendamping hidupmu."

Seketika air mataku luruh saat mendengar ucapannya saat itu. Aku benar-benar tidak menyangka ada seseorang yang menyayangiku sebegitu besarnya. Menerimaku sekali lagi disaat aku rapuh.

Lantas Hans memasangkan cincin tersebut di jari manisku untuk yang kedua kalinya. Lalu memelukku erat.

Diluar sana mungkin orang-orang akan berpikir bahwa kisahku dan Hans selalu baik-baik saja, padahal jauh dibalik dugaan itu semua. Hans belajar banyak dari Maghi dalam mencintaiku. Hans adalah sosok sempurna sebagai pendamping hidupku. Dan oleh karena itu, aku pun sangat mengaguminya setiap detik dalam hidupku. Karena Hans begitu berharga.

- SELESAI -

Gimana tanggapannya untuk cerita Maghi & Pelangi? Kasih aku pendapat dong, gimana kesan-kesannya selama baca cerita ini?

Makasih buat yang udah setia menikmati kisah ini, aku sayang kalian.

Semoga dari cerita ini ada pelajaran yang bisa dipetik yaa!

Salam sayang, Desy.

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang