Sebelum pulang ke rumah, kami menyempatkan untuk mampir ke salah satu penjual nasi goreng pinggir jalan. Letaknya tidak jauh dari gerbang perumahan tempatku tinggal. Masakan sang penjual memang terkenal enak, sehingga sudah menjelang larut malam pun masih ramai yang berkunjung untuk membelinya. Dan kami pun mendapatkan urutan antri kelima.
Sembari menunggu nasi goreng tersajikan, kami menghabiskan waktu dengan mengobrol sambil meminum es teh dalam kemasan botol. Sebenarnya hanya membahas berbagai hal secara random dan ringan. Berawal dari membahas kabar teman-teman kami, membahas mengenai pekerjaan masing-masing, hingga tidak sengaja merembet ke pembahasan tentang Maghi.
Namun ketika aku bercerita pada Gameo tentang Maghi, semua hal terasa mengalir begitu saja. Sudah tidak ada sekat yang menghambat di tenggorokanku saat menceritakan sosok Maghi. Sudah tidak ada lapisan sejenis embun yang melapisi bola mataku. Rupanya aku sudah mulai mengikhlaskan dirinya dengan perlahan namun pasti.
Padahal hari-hari sebelumnya, jangankan menceritakannya sejauh ini. Mendengar namanya disebut saja lantas bisa membuatku badmood sepanjang hari. Bahkan air mata bisa meluncur begitu saja kala itu.
Karena sosoknya tak pernah benar-benar hilang dari ingatanku. Walaupun wujudnya sudah 99% hilang dari jangkauan pandangku. Sosoknya telah terpatri dalam ingatan, namun keikhlasan dalam melepaskan seolah menjadi bukti bahwa bayangnya kian mampu terhempas bersama waktu.
Siapa sangka, aku mampu menceritakan sosoknya dengan perasaan yang lapang seolah sedang menceritakan sejarah mengenai diriku sendiri bersamanya. Sepertinya selama ini Gameo diam-diam mengajariku cara melepaskan dengan ikhlas bukan melupakan tanpa jejak, seperti apa yang ia lakukan ketika mengikhlaskan mantan kekasihnya.
Rupanya aku menyadari satu hal, bahwa selama ini aku hanya butuh teman berbagi keluh kesah untuk menghilangkan segala penatku. Akan tetapi, aku tidak memiliki sosok teman dekat yang dapat kupercaya selain Gameo. Bagiku, berteman memang dengan siapa saja. Namun untuk menjadikannya teman dekat, aku akan berpikir ratusan kali, karena mempercayai seseorang bukan perkara mudah bagiku.
Aku sangat bersyukur bisa mengenal sosok Gameo sedekat ini. Karena jika tanpa dirinya, mungkin aku belum bisa berada pada titik mengikhlaskan sejauh ini. Diluar batas yang terpikirkan olehku. Akan tetapi, Gameo mampu mendobrak batasanku, ia mampu membuatku bergerak lebih dari yang kukira.
Darinya aku belajar merelakan hal yang menurutku baik, namun belum tentu baik bagi Tuhan. Nyatanya setelah ditelaah lebih jauh lagi, aku belajar satu hal yang cukup penting. Yaitu sebelum aku menyayangi orang lain sebesar itu, aku harus lebih bisa menyayangi diriku sendiri terlebih dahulu.
Hal lainnya yang mulai aku sadari yakni aku pantas mendapatkan sosok yang jauh lebih baik dan menyayangiku jauh lebih tulus dari yang sebelumnya. Walaupun rasanya, untuk membuka hati pada laki-laki saja belum ingin sama sekali. Ternyata tetap waktulah yang berperan penting dalam setiap perubahan dan perkembangan apapun, termasuk perasaan seorang manusia.
***
1 tahun kemudian
"Umur udah nambah, tapi makan mah tetep ya disini-sini aja," celetukku pada Gameo yang baru saja meletakkan bokongnya pada kursi kayu berwarna putih di restoran serba mie, tempat favorite kami.
"Hahaha ya gimana, maunya sih doyan sushi gitu biar keliatan sehat. Tapi gue mah eneg banget sama makanan begituan," Gameo menyahuti ucapanku sebelumnya.
Sembari melihat buku menu yang sudah puluhan kali kami buka, bahkan kami hafal susunan menunya. Kami berencana memesan makanan pendamping selain menu kesukaan kami. Hitung-hitung menjadi ajang percobaan saja, apakah menu dessert-nya seenak hidangan utamanya. Sekedar memesan menu dessert berupa pudding cokelat dengan waffle sebagai alasnya. Selebihnya tetap pada menu favorite yang tidak lain adalah udon, sang kebanggaan.
Sesekali aku dan Gameo beradu game online pada masing-masing ponsel kami. Aku mulai menyukai game online semenjak kejadian 3 bulan yang lalu, aku pergi meninggalkan Gameo di restoran salah satu mall tanpa mengucapkan sepatah kata pun. Dimana setengah jam kemudian, ia meneleponku ketika aku sudah berada di dalam taxi dalam perjalanan pulang ke rumah.
Dia berpikir aku hanya pergi ke toilet sebentar, tapi aku justru pulang tanpa pamit padanya. Habisnya aku jenuh pergi ke mall bukannya mengobrol, bermain timezone ataupun jalan-jalan, ia malah asyik sendiri dengan ponselnya.
Aku tidak melarangnya untuk bermain games sama sekali, tapi aku juga malas jika diperlakukan seperti manekin hanya diam saja saat bertemu. Kalau mau main games, lebih baik tidak perlu mengajak hangout ke mall atau kemanapun itu. Lagipula, aku dan Gameo bersahabat. Jadi tidak mungkin aku bersikap seolah otoriter padanya. Namun jika ia merasa lebih asyik dengan games-nya lebih baik aku juga pergi sendiri saja.
Mungkin saat itu aku merasa sangat jenuh pada Gameo yang sedang asyik dengan ponselnya. Ketika aku bercerita, kata yang keluar dari mulutnya hanya "ya, hmm, oh begitu" berulangkali hingga aku malas berada di dekatnya saat itu. Oleh karena itu, aku beranjak pergi dan pulang untuk menonton serial drama atau tidur sekalian.
Setelah sekitar 45 menit aku sampai di rumah, tiba-tiba Gameo datang ke rumahku dan menyusulku ke kamar. Buat apa juga dia harus menyusulku segala? Jelas-jelas aku mau menghabiskan waktuku sendiri. Kalau dia saja bisa menghabiskan waktunya sendiri dengan bermain game online, masa aku harus berdiam diri menjadi penontonnya. Oh big no for me. Sia-sia sekali waktuku jika harus seperti itu.
"Kei, kok lo cabut tiba-tiba sih?" tanya Gameo padaku, saat dirinya baru saja duduk di kursi belajarku.
"Ya terus? Kenapa emangnya?" bukannya menjawab, aku justru bertanya balik padanya.
"Ya gak bisa gitu dong, setidaknya lo bilang kalo mau cabut. Gak ninggalin gue sendirian kayak tadi. Rese lo, Kei," gerutu Gameo.
"Kenapa harus gak bisa? Lo aja bisa kan asyik sama hape lo sendiri. Kalo mau main game tuh gak perlu ngajak gue hangout ke mall, main aja sendiri di rumah. Dan satu lagi, lo baru sadar gue gak ada tuh setengah jam kemudian setelah gue cabut dari restoran tadi! Itu tandanya, ada ataupun gak ada gue ya gak ngaruh juga kan? Soalnya lo fokus sama hape lo itu. Daripada gue kayak kambing conge, mending gue cabut lah."
"Yaa... tapi gak gitu dong, Kei. Gue yang ngajak lo, jemput lo, pamit sama Tante Kintan (nama mamaku) tapi masa lo tahu-tahu pulang sendirian. Apa kata beliau coba, Kei?!"
"Tenang aja, Mama gak akan mikir macem-macem kok," ucapku santai, berniat tak ingin melanjutkan adu argumen dengannya.
"Lo tuh ya, rese abis."
"Yaudah kalo gue rese, ngapain lo segala nyamperin gue ke kamar?" ternyata mulutku masih gatal untuk menyahuti omelan Gameo.
"Ya gue khawatir lah, gue kira lo kenapa-napa!"
"Gue udah gede jadi gak usah lebay, urusin aja sana hape lo."
Akhirnya perdebatan kami pun reda, lebih tepatnya diberhentikan dengan sengaja oleh Mama yang ternyata diam-diam lewat kamarku sehingga mendengar pertikaian antara aku dan Gameo. "Ehemm.. Gitu aja ribut," celetuk Mama di depan pintu kamarku yang sejak kedatangan Gameo tidak tertutup.
"Abisnya dia rese, Ma. Yaudah aku tinggal pulang aja."
"Ssst... Udahan lah Kei, Me. Baikan lah kalian, jangan kayak anak kecil ah," sanggah Mama sekaligus menyuruh kami baikan untuk hal sepele itu.
Akhirnya emosiku dan Gameo mereda dengan sendirinya, bukan karena perintah Mama. Melainkan karena sama-sama capek untuk melanjutkan perdebatan itu.
Sejak kejadian itulah, Gameo lantas mengambil alih ponselku dan mengunduh game online yang biasa ia mainkan, lalu mengajariku cara memainkannya. Sehingga aku pun mulai teracuni virus game karena bakteri bernama Gameo Hernanda.
KAMU SEDANG MEMBACA
Maghi & Pelangi
RomanceTentang semu yang selalu menjelma bagaikan debu. Penuh rasa namun tak pernah teraba oleh asa. Bahkan terhisap habis oleh udara. Ketika berdiriku tak lagi kokoh, tolong ingatkan aku pada secercah harap agar ku dapat bangkit dari segala cemooh. Sendi...