6. Pertama Kalinya

30 2 0
                                    

"Bantuin kek, ini kacamata gue mau jatoh. Tangan gue bawa beginian," sambil memiringkan bahu menahan kacamata agar tidak jatuh, tangan kanan memegang tas, dan tangan sebelah kiri menggenggam jaket.

Laki-laki di depanku hanya melihatku dengan tatapan acuh sambil tetap asik mendengarkan lagu melalui headset putih yang masih hinggap di lubang telinganya. Bukannya membantu, dia hanya menatapku kebingungan tanpa bertanya satu kata pun.

Sesampainya tepat di depan Gameo yang sedang duduk di sofa, hanya terbatas oleh sebuah meja marmer berukuran kecil. Lantas aku langsung menaruh jaket di atas meja dan langsung membenarkan posisi kacamataku. Lalu menarik headset yang bertengger di telinga lelaki berkulit putih di hadapanku. "Lo tuh ya, pelanga-pelongo doang bukannya bantuin gue," celoteh mencuat begitu entengnya dari bibir tipisku ini.

"Lagian lo ngapain sih bawa barang-barang begini? Cukup sekaleng Coca Cola sama Chitato aja kali buat nemenin gue di bawah sini. Lonya gak perlu turun bawa barang-barang gini."

"Ayo cabut!" jawabku singkat tak mau berargumen apapun pada Gameo yang super rese ini.

"Hah?" tatapannya bingung tapi masih duduk bersandar di sofa dengan santainya.

"Sekarang atau gak jadi pergi sama sekali?!" ucapku ketus sambil melipat tangan di depan dada dengan ekspresi wajah yang mulai cemberut pertanda bete mulai melanda.

"Yuk! Udah kali mukanya gak usah dijelek-jelekin gitu, udah jelek dari sananya," ucap Gameo sambil mengacak rambutku tanpa rasa berdosa sama sekali dan senyum lebar mulai terpancar dari wajahnya.

Sebelum beranjak pergi, Meo meraih jaketku yang berada di atas meja, berjalan memutari meja dan merangkulku. Kami berjalan menuju basement, tempat mobil Gameo terparkir.

***

"Masa gitu doang aja ngambek sama gue? Ngajak jalan atau ngajak perang dingin ini namanya?" setelah beberapa lama kami sama-sama diam. Akhirnya Gameo berhasil memecah keheningan dan mengalahkan egonya.

Padahal yang seharusnya bete kan dia, bukan gue. Kenapa jadi gue yang betean gini deh hari ini. Duh moody banget sih lo, Kei.

"Abisnya lonya tadi gitu bukannya bantuin, gue tuh tadi ribet dan buru-buru turun nemuin lo karena mana tega gue biarinin cowok kremi kayak lo diem di lobby sampe sore. Eh yang disamperin malahan cuek bebek ketek bengek ngeliat gue kerepotan. Kan sebel," akhirnya semua keluhan yang selama beberapa menit kucoba tahan meledak juga diantara bunyi klakson kendaraan di tengah macetnya ibukota.

"Maaf deh, mana gue tau lo mau ngajak cabut. Eh tapi kok bisa? Kan belum jam pulang."

"Bisalaaaah, karyawan kesayangan bos," ungkapku sambil menepuk dada berlagak sombong sedikit, ya sedikit saja kok tidak banyak takut overdosis sombongnya kayak Gameo.

"Jangan-jangan abis lo kecup ya pipi bos lo, terus lo izin cabut deh? Waaah jago juga lo jadi selir," tawa Gameo meledak saat mengucapkan kalimat sembarangannya itu.

"Sialan, temen macem apa lo yang mikirnya kesana. Jelas-jelas gue permaisuri dari khayangan, mana mau kecap-kecup sembarang orang secara murahan," ungkapku membela diri sekaligus sekali lagi menyombongkan diri walau hanya bercanda.

"Hahaha, udah capek gue ketawain lo. Seriusan kok bisa lo diizinin balik cepet?"

Sambil pura-pura mendengarkan lagu dari radio yang baru saja dinyalakan dan menggerak-gerakan kepala seolah menikmati lagu yang terputar. Aku mengabaikan ucapan Gameo. Berusaha tak peduli dengan apa yang dia tanyakan, padahal aku sepenuhnya mendengar ucapannya.

Maghi & PelangiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang