21. Dia kemana?

59 14 2
                                    

Mataku terus memandangi ke bawah seperti ada yang menarik di bawah itu. Aku mendongak ke atas pada saat murid murid mulai berdatangan. Seperti biasalah aku menjalani tugasku sebagai OSIS. Di seberangku ada Citra. Dia sama sekali tidak menyapaku dari minggu lalu. Mungkin dia masih marah.

Dan yang paling anehnya lagi, Jamilah kenapa? Udah 2 minggu kalau gak salah cowok itu gak masuk masuk sama sekali. Dia sakit atau mau pindah sekolah? Yang Jamilah katakan benar, aku merindukan semua yang berkaitan dengannya. Terutama cowok itu nyebelin dan selalu buat aku marah. Tapi sekarang dia ngilang kemana tau. Apa mungkin saja Jamilah keluar kota?  Aish, Dia kemana ya?

"Hai Aisyah." Aku menoleh ke belakang. Melihat Davi yang tepat berada didekatku, jaraknya pula lumayan dekat sampai aku terkejut karna wajahnya yang memang sangat dekat padaku hingga nafasnya tercium. Aku sedikit menjauh darinya karna merasa tidak enak jika terlalu dekat apalagi ini sekolah. "Sorry, kaget ya?" Goda Davi.

"Lumayan." Jawabku sambil terkekeh. Ada yang berbeda dari penampilan Davi. Aku terus memandanginya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Rambut nya di cukur, memakai jas OSIS, sepatu baru. Jujur, Davi terlihat tampan. Di tambah Davi wangi.
Wangi parfum itu--sepertinya aku kenal. Aku seperti pernah menciumnya. Ah jangan aneh aneh, aku selalu saja berhalusinasi.

"Kenapa lo ngeliatin gue? Ganteng ya?"

"Haha, Yaa lo keliatan beda hari ini."

Davi tertawa malah tambah terlihat sangat tampan. Namun dia kali ini memakai Behel berwarna Biru.

"Lo pake behel?"

"Kenapa? Gak cocok ya?"

"Ah gak . Cocok. Cocok banget kok. Nice."

"Gue berubah karna demi lo." Gumam Davi membuatku terdiam dan juga sedikit salah tingkah. Kuputuskan untuk fokus ke gerbang lagi. Citra sedari tadi memperhatikanku dengan tatapan kesalnya, lalu cewek itu pergi dengan mengibaskan rambutnya. Hadeuh, Dasar adek kelas centil.

"Demi gue ? Kenapa?"

"Apa perlu gue jelasin?" Tanya Jamilah--eh salah. Kenapa jadi ke dia, maksudnya Davi. Ya tuhan pikiranku menjadi kacau sekarang hanya karena mengingat namanya.

"Tentu. Gue mau tau."

"K-karna....Gue emang...."

"Hmm??"

"Gue itu Su---"

"Hobah !!"

Aku dan Davi terkejut karena Nabila berteriak tepat di sebelah kami. Sial, padahal aku sangat ingin mendengar apa yang akan dikatakan Davi.
Nabila memandangi wajah Davi sejenak. Ah ya, pasti dia juga terpesona. Tapi aku tidak, ya aku tidak terpesona.

"Davi kok..??" Nabila melirik ke arahku.

"Kenapa?ganteng ya gue?"

"Ha ? Pffttt...hahahahaha."

Aku mengernyit jijik pada saat Nabila mengatakan PFFTT. Asal kalian tahu, ludahnya muncrat. Ewh..
Tanganku langsung memukul pelan kepalanya agar dia berhenti tertawa.

"Anju !! Lo ya, suka banget mukul kepala gue. Emang lo pikir kepala gue apaan?!" Sentaknya kesal.

"Lagian lo kalau ketawa tutup mulutnya gak usah mangap. Bau jengkol !!"

"Aish, jinjja?"

"Ngomong opo iki. Udah ah gue mau cabut!! Kaki gue bakalan melehoy kalau berdiri disini." Aku meninggalkan mereka yang masih terpaku di tempat.
Aku pun duduk di bangku depan kelas, sambil memperhatikan murid-murid yang berlalu lalang. Jamilah masuk gak ya kira-kira ?

Tidak. Aku gak boleh peduli sama tentangnya. Mau masuk kek, mau gak kek. Bukan urusanku. Kuputuskan untuk masuk ke kelas daripada harus menunggu seseorang yang tidak pasti.
Eh tapi---aku seperti sudah melakukan hal ini. Menunggu seseorang....kupejamkan mataku, berusaha keras mengingatnya.

Apa?! Aku menunggu Jamilah di depan ruangan kepala sekolah? Ngapain? Atau jangan-jangan, Jamilah ada masalah?
Itu kan gak mungkin. Aku jadi bingung karena tentang ini.

*

"Lo kenapa dah,beb?" Tanya Nabila padaku di dalam kamar. Aku hanya mendengus pelan, dengan pandangan yang tertuju ke depan. Aku pula gak tau apa yang terjadi denganku. Rasanya ada kaitannya dengan Jamilah.

"Gpp. Oh iya, Jamilah ngasih kabar kenapa dia gak masuk?"

"Gak. "

"Gak??" Tanyaku mengulang kalimatnya.

"I-iya. Kenapa sih? Lo kangen yaaa...Aciaa seorang Aisyah merindukan Jamilah. "

"Apaansi." Aku membuang muka darinya. Masa iya sih aku kangen sama Jamilah? Haha gak mungkin.
Aku bangun dari dudukku, berjalan ke arah meja. Kubuka laci kecil dan mendapatkan sesuatu. Tanpa ragu aku mengambilnya, menunjukkan benda yang kupegang pada Nabila yang sedari tadi penasaran.

"Foto gue sama Jamilah? Lagi makan eskrim? " Aku berjalan kembali ke tepi ranjang dan duduk disana.  Nabila langsung menarik benda yang aku pegang tanpa meminta izin. Bener-bener ini bocah.

"Aisyah. Gue udah bilang beberapa kali lo tentang Jamilah kan?"
Aku mengangguk pelan merespon pertanyaan Nabila. "Nah, Ini dia...Bukti dari semua itu kalau lo emang pacaran sama Jamilah."

Alisku seketika bertautan. Aku tertawa hambar, Nabila hanya mengarang. Jamilah yang ngomong sendiri kalau dia mencintai seorang wanita. Dan-- aku yakin. Dari tampangnya Jamilah aja, dia keliatan playboy banget. Dia pernah pelukan sama Citra !! Jadi aku gak percaya sama omongan Nabila walaupun ada foto aku bersamanya.

"Haha, Nabila...Lo itu emang pinter banget ngarang cerita. Mungkin lo cocok nya jadi penulis. "

"Aisyah !! Ada saatnya gue becanda. Tapi sekarang gue serius!!! SE.RI.US. !!udah jelas foto ini sebagai bukti kalau lo pacar nya dia. Lo tetep masih gak percaya? Lo gak kasian sama Jamilah? Pas lo masih terbaring lemah di rumah sakit, siapa yang ngejagain lo selama itu? JAMILAH !!! Siapa yang megangin tangan lo pas lo masih gak sadarkan diri? JAMILAH. Dan siapa---"

"STOP !!!"

Nabila langsung terdiam mendengar sentakan kasarku. Nabila gak berhak buat ngatur hidup aku apalagi dia maksa. Maksudku, Nabila itu maksa dan yakin kalau aku pacaran sama Jamilah. Padahal Jamilah itu hanya orang asing. Bahkan aku gak kenal sama dia.

"Jangan lo paksa gue, Kalau gue adalah pacar dia. Mendingan sekarang lo pergi."

Nabila masih terdiam, menatapku kecewa. Apa aku salah? Aku sudah kelewatan? Perlahan tatapanku juga berubah menjadi kecewa. Kenapa ujung-ujungnya jadi canggung gini sih. Kulihat Nabila matanya berkaca kaca, dia sedikit buang muka dariku. Dan menatapku lagi dengan senyuman kakunya.

"Seseorang yang gue kenal baik. Teman seperjuangan, Ngusir gue. Apa itu pantas disebut teman? Bahkan bukan teman, melainkan lo sahabat gue. Tapi lo ngusir gue. Itu pantas di sebut sahabat? Kenapa gue maksa supaya lo percaya kalau Jamilah adalah pacar lo...Karna gue kasian sama dia. Dia yang selama ini ngejagain lo sampai dia sakit tapi dia gak peduli yang penting bisa ada di samping lo. Okay, I am done. If you need me, you can ask to me. I am always help you, Aisyah. I don't care if you really hate me cause i am force you to believe it. See ya.."

Nabila mengambil tasnya, keluar dari kamarku. Sedari tadi aku hanya bisa terdiam mendengarkan suara Nabila yang memang terdengar sangat serius. Jamilah pacarku? Benarkah? Apa aku harus merasa senang? Tentu. Entah mengapa rasanya aku senang jika itu memang benar. Aku harus bertanya soal ini pada Jamilah besok. Semoga saja dia masuk..

***

Vote and commentnya ya:)
Yang blm aku feedback kalian bisa PC aku. Dan menurutku, cerita ini bentar lagi bakalan tamat. Tapi kalian jangan khawatir bakalan ada Extra partnya:) thanks.

Aisyah Jatuh Cinta pada jamilah (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang