55. Masa lalu atau masa depan ya?

32 1 1
                                    

Walah kok pertanyaannya monohok banget sih?
Aku terdiam dengan tatapan masih menuju ke wajah Jamilah yang datar. Lantas aku berdehem sekali sebelum menjawabnya.

"Masa depan." jawabku santai.

"Kenapa?" Tanya lagi Jamilah penasaran.

"Ya...karena Masa lalu gua itu pahit, jadi gua mendingan masa depan siapa tau cerah." jawabku lagi sambil tersenyum.
Jamilah malah buang muka dariku, seketika rautnya berubah. Ya ampun, emang aku salah ngomong lagi?
"Jadi menurut lo, gua itu pahit?" tanya Jamilah dengan suara ketus.

"Maksudnya?" tanya aku kurang paham.

"Gua kan masa lalu lo, dan lo tadi bilang kalau masa lalu lo itu pahit. Jadi gua termasuk pahit? Begitu?" Suara Jamilah meninggi.

Oke oke dia mulai kesel-_-

"Ih engga! Bukan gitu maksud gua...lupain dah! Ngapain juga ngebahas kayak gitu. Mendingan gua balik sekarang." aku mengambil tas selempang lalu berdiri dari duduk tapi buru buru Jamilah menahannya membuatku kembali duduk.

"Duduk." ucap Jamilah dingin.
"Apaansih?"
"Lo mau kemana?" tanya Jamilah, aku menyisingkan rambutku ke samping.
"Kepo lu kayak mantan." jawabku kesal.
"Kan gua emang mantan lo." Ujar Jamilah.

Eh?
Iya ya-_-
Dia emang mantanku.
Oh ya ampun kenapa aku jadi bodoh begini sih?!

"Mau kemana?" tanya lagi Jamilah.
"Gua mau balik, PUAS?"
"Ayo gua anter lo pulang."

Jamilah memegang tanganku, menarikku keluar cafe secara paksa. Kebiasaan nya yang selalu menarik tangan orang memang belum pernah berubah. Ya sebagian sifatnya memang belum ada yang berubah. Eh--- Bianca gimana nanti?

"Tunggu!" aku menahan Jamilah membuatnya berhenti, dia nengok dan memasang wajah kesalnya. "Gua bareng sama Bianca, jadi gua engga bisa pulang sama lo." ucapku padanya. Matanya melirik ke arah Bianca lalu beralih lagi ke arahku,"dia lagi sibuk sama cowok lain, daripada lo nungguin dia disini kayak kacung." katanya.

Sialan

"Okeoke! Gua balik bareng sama lo sekarang, puas?" aku menepis tangan Jamilah kasar dan melewatinya. Kurasakan cowok itu berjalan mengikutiku dari belakang. Ya tuhan...bisa bisanya dia bikin kesal.
Aku memperhatikan Jamilah yang sedang membukakan pintu mobil nya untukku, padahal aku bisa melakukannya sendiri bukan? Dia berlebihan.

"Kenapa bengong? Ayo buruan masuk." suruhnya, pakai nada ketus segala. Aku memutarkan bola mata darinya lalu masuk ke dalam dan di susul olehnya.
"Rumah lo dimana?" tanya dia. Serius? Dia lupa rumahku?"lo lupa alamat rumah gua?" tanyaku balik.

"Engga lupa, cuman takut nya lo pindah." jawab nya tanpa melirik ke arahku.
"Rumah gua masih yang lama, dan lagi pula kalau gua pindah ya pindah kemana? Engga ada tempat lain." jelasku sedikit kesal.
"Ada tempat lain." mendengar ucapannya, sontak aku langsung menoleh ke arahnya. Sialan, dari sampung juga Jamilah masih terlihat tampan.

"Tempat lain? Dimana?" tanyaku penasaran.

"Rumah gua." jawabnya singkat. Apa?? Rumah dia? Dia gila?
Aku tergelak singkat setelah mendengar ucapannya yang menurutku itu tidak masuk akal. "Ngapain gua tinggal di rumah lo? Ogah." ujarku sambil tertawa kecil.

"Kita pernah bikin perjanjian buat tinggal bareng, dulu." ucapnya tiba tiba. Kenapa dia malah bahas masa lalu?
"Please Mil, gua engga mau bahas yang dulu."

"Gua tau lo masih nyimpen perasaan sama gua,Aisyah.", katanya dengan rahang yang menegang.

" itu dulu, dan--- kenapa lo bahas masa lalu? Itu masa lalu dan engga perlu dibahas lagi. Kalau lo mau kayak dulu lagi itu pun percuma, salah sendiri kenapa lo ninggalin gua?"

"Gua ninggalin lo dan lo sama yang lain, itu artinya perasaan lo engga tulus buat gua! Kalau lo emang sayang sama gua, walaupun gua jauh lo engga akan buka hati untuk orang lain." sentaknya sedikit membuatku terkejut.

"Lo pikir gua engga tau?! Lo disana seneng seneng sama cewek lain sedangkan disini gua nungguin lo sampai sampai----"

"Sampai lo jenuh dan bosen gitu? Lo emang engga pernah tulus sama orang,Aisyah." potongnya cepat membuatku bungkam. Dia memang sudah keterlaluan. "Berhenti disini." perintahku dengan nada dingin.

"Kita belum nyampe rumah lo."

"Tapi gua mau berhenti disini!" sentakku, kehilangan kesabaran. Ia mengerem mendadak sampai tubuhku maju ke depan, untung nya aku memakai sabuk pengaman. "Lo emang engga pernah berubah ya,Mil. Selalu ingin menang sendiri." ucapku memasang wajah miris. Melepaskan sabuk pengaman lalu keluar dari mobilnya tanpa pamit.

Tau begitu aku tidak menerima tawarannya untuk pulang bareng.
Aku lebih memilih mencegat taksi ketimbang pulang bersamanya. Sampainya di depan rumah, aku mengambil kunci rumah di dalam tas namun suara langkah kaki terdengar membuatku menoleh ke belakang.

Jamilah menyusul?

Wajahnya sangar, tatapannya tajam, baru kali ini aku melihat ekspresi nya seperti itu. Dulu dia selalu tersenyum namun rasanya akhir akhir ini dia jarang menampilkan senyuman. "Lo ngapain nyusul gua?" tanyaku ketus saat dia sudah ada di hadapanku. Tepat di hadapanku.
Mataku membelalak saat Jamilah mencium bibirku. Apa apaan?! Aku mendorong Jamilah kasar, berani nya dia mencium ku? "Lo apaan sih main nyosor aja!" sentakku kesal.

"Back to me, babe." ucap nya dengan nada lembut. Aku hanya terdiam entah harus merespon apa, dia memintaku untuk kembali?
"Kita jalanin dari awal, gua janji engga akan bikin lu kecewa." ucapnya lagi meyakinkan. Saat dia ingin memegang tanganku buru buru aku menjauh. Ia tidak berkomentar lagi lantas aku membuka pintu dan masuk ke dalam tanpa pamit kepadanya.

Mengapa dia memintaku untuk kembali di saat aku sudah lupa?

Aisyah Jatuh Cinta pada jamilah (hiatus)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang