"Eya mau izin ke rumah Bang Fiyyan, Umi."
Karena tahu kalau di rumah Zahfiyyan ada Zoffan, cepat-cepat Runa mengangguki. Senyuman indah terpatri di bibir. Sebenarnya, ia rindu kepada Zahfiyyan. Runa ingin mendengar cerita Zahfiyyan yang baru pulang dari Malaysia. Ia juga ingin bertemu dengan sulungnya. Runa menekan rindu dan memberikan kesempatan kepada Eya untuk bertemu Zoffan tanpa gangguan darinya.
"Pergilah. Tapi Umi boleh titip makanan?"
"Tentu, Umi."
"Sebentar, Umi siapkan dulu." Runa mengisi rantang stainless dengan nasi, lauk, dan sayuran. Ada juga bakwan jagung yang masih hangat. Ia segera ke depan menemui Eya.
"Ini."
"Kalau begitu, Eya berangkat. Hm... Eya jalan kaki jadi mungkin agak lama di jalannya, di sananya enggak akan lama kok."
"Loh, kenapa jalan kaki? Kamu yakin sanggup jalan sampai ke sana?"
"Moga sanggup. Itung-itung nambahin olahraga."
"Nanti pulang minta antar aja."
Eya mengangguk walau tak yakin Zahfiyyan mau mengantarkannya pulang.
Dengan bekal sebuah rantang, Eya berjalan ke rumah Zura. Eya tahu dari Runa kalau Zahfiyyan tinggal di rumah nenek Zura yang telah meninggal. Katanya rumah itu tak begitu jauh dari sini. Eya nanti akan bertanya kepada tetangga Zura untuk mengetahui yang mana rumah yang ia tuju.
Sepuluh menit sudah Eya berjalan. Matahari sore membakar wajah putihnya. Keringat turun membasahi hijab di bagian pelipis. Eya bersenandung kecil sambil mengusap perutnya. Hari ini adalah hari terakhir ia di kampus. Besok ia mulai cuti. Oleh sebab itu, Eya mencari Zahfiyyan ke rumahnya karena ia tidak akan bertemu Zahfiyyan di kampus.
"Ibu, boleh tanya rumahnya Zura yang mana?" tanyanya pada ibu-ibu yang berjalan berlawanan arah.
Wanita yang ditanyai Eya kelihatan berpikir. "Oh, Zura-Zura yang itu. Cucunya Anduang Rafiyah ya. Tu di sana, lima rumah lagi dari sini. Sebelah kanan dan yang banyak bunganya."
Eya mengangguk dan berterima kasih.
"Zura sudah ketemu?" tanya ibu itu ketika Eya sudah berbalik.
Eya menggeleng.
"Kasihan sekali suaminya. Kena karma itu namanya. Sejak ditinggal Zura mana pernah lampu rumahnya dihidupkan. Cuman satu di kamar mengerlip kecil kalau malam. Rumah Anduang Rafiyah seperti rumah kosong saja padahal berpenghuni. Itu juga rumahnya selalu ditutup. Padahal semasa Anduang Rafiyah masih ada, rumah itu selalu dibuka. Anduang selalu duduk di bangku teras melihat tetangga lewat. Sekarang semuanya sudah berubah.
Eh, kabarnya suami Zura menikah lagi," bisik ibu-ibu itu, "semuanya sudah tahu tapi pura-pura tak tahu. Sekarang lihatlah, menyesal pun tak guna lagi. Meskipun kabarnya pernikahan itu dibatalkan tapi Zura sudah pergi. Barangkali suaminya mau menyusul juga kali."
Eya tersenyum hambar. "Kalau begitu saya jalan, makasih Bu," untuk menyadarkan Eya bahwa dialah dalang dari semua kemalangan Zura dan Zahfiyyan. Eya tidak akan pernah melupakan meskipun sudah tidak ada yang mengingatkan.
Lima rumah sebelah kanan. Banyak bunga. Eya tiba di rumah yang dimaksud. Ia berbelok ke halaman yang banyak ditumbuhi mawar. Rumah itu begitu sepi. Eya mengetuk sebanyak tiga kali.
"Assalamu'alaikum."
Pintu terbuka. Wajah Zahfiyyan yang kusut luar biasa hadir di depan Eya. Lelaki itu menjawab salamnya dalam bisikan. Tidak ada senyuman sama sekali di wajah lelaki yang dahulu terkenal murah tersenyum itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...