🌽🌽🌽
Saat kontraksi semakin menyakitkan, dia datang dan mengucapkan kata maaf. Maaf. Satu kata itu tak pernah Eya bayangkan akan dia dengar dari bibir suaminya. Eya tidak mengerti kenapa ia tidak menginginkan kata maaf. Justru Eya yang ingin mengucapkan maaf kepadanya.
Semalam ia begitu menginginkan Zoffan di sisinya. Eya mau lelaki itu melihat betapa Eya harus menanggung sakit akibat perbuatannya. Lebih dari itu, Eya begitu mengiba sebab hari yang ditunggu-tunggu Zoffan, hari kelahiran anak mereka, terjadi saat Zoffan tidak ada di samping Eya. Eya ingin menghubungi Zoffan malam itu, tapi ia tidak menemukan ponselnya.
Handphone-nya sudah hancur. Bangkainya mungkin telah dibuang oleh uminya. Menahan rasa sakitnya, Eya menangis karena menyesal telah begitu emosi.
Dan apa itu di pelipisnya? Darah? Kenapa dia? Eya memutar kepala ke kiri. Sebenarnya apa yang terjadi kepada suaminya hingga mendapatkan luka begitu parah?
Kontraksi kesekian melandanya. Eya merasa seakan dunia ingin menghukumnya. Dunia menguji sudah layakkah ia menjadi seorang ibu dari seorang anak yang sedang mencari jalan keluar dari rahimnya.
"Ey, kamu kuat. Kamu pasti bisa. Kamu bisa menyelamatkan anak kita. Kamu bisa membawa nyawa baru milik kita. Dia nanti akan melengkapi kebahagiaan kita. Berjuang, Hani. Aku percaya kepadamu."
Zoffan keluar.
Buliran air mata di sudut mata Eya mengalir lebih deras. Eya malu. Ia ingin berteriak agar lelaki itu tinggal. Sayangnya, gengsi Eya lebih besar. Ia tidak ingin memperlihatkan kepada Zoffan bahwa Eya lemah dan bergantung kepadanya.
Menit demi menit Eya berjuang, mengejan sekuat tenaga agar anaknya menemukan jalan keluar. Ia harus menggigit sapu tangan yang diberikan suster agar tidak berteriak. Ya Allah, jika seandainya nanti ia tidak berhasil selamat bersama anaknya, satu harapan Eya yaitu anaknya tidak kekurangan kasih sayang. Eya percaya bahkan yakin, Zoffan akan mencintai anak mereka. Lelaki itu yang sejak awal begitu terobsesi agar Eya tidak mencelakakan anaknya. Zoffan selalu mengingatkan Eya agar menjaga kandungannya. Lelaki itu sangat memperhatikan kandungan Eya. Tidak. Eya yakin anaknya tidak akan kekurangan kasih sayang. Meskipun Zoffan kasar dan jahat, tapi kepada anaknya, lelaki itu begitu penyayang.
"Sebentar lagi, Ibu. Tahan sebentar ya."
Eya pun berhenti mengejan. Napasnya tak beraturan. Ia benar-benar hampir putus asa.
"Ayo, sekali lagi Ibu dorong."
Eya membulatkan tekat, menguatkan hati, dan menjernihkan pikiran. Anaknya harus selamat. Ia kuat. Ia bisa bertahan. Lelaki itu percaya kepada Eya. Eya tidak ingin dianggap lemah dan tak mampu memegang kepercayaan. Eya wanita tangguh. Ia tidak boleh kalah.
Suara tangisan bayinya membayar seluruh perjuangan Eya. Tubuh Eya lemas. Ia terbaring tanpa tenaga di tempatnya. Perawat membawa bayinya, memperlihatkan kepada Eya rupa manusia baru yang selama sembilan bulan hidup bersama dalam dirinya.
"Alhamdulillah. Bayi Ibu Eya laki-laki. Dia begitu tampan."
Eya menyentuh pipi merah bayinya.
"Kami akan membersihkan bayi Ibu."
Ketika perawat pergi, Eya memejamkan matanya. Lelah sekali. Sakit sekali. Namun ia bahagia. Ia kini tidak sendirian lagi. Ia telah memiliki seseorang yang begitu berharga.
"Anak kita laki-laki. Makasih ya, Ey. Terima kasih sudah mau berjuang untuk anak kita."
Eya melepaskan tangan Zoffan yang menggenggam tangannya. Biarlah ia dianggap keterlaluan. Ia kini belum bisa melihat lelaki jahat itu. Lelaki itu hanya ingin anaknya dilahirkan dengan selamat, Eya sudah melakukannya. Lelaki itu tidak punya inisiatif untuk membantunya berjuang. Ia lepas tangan dan ingin hasilnya saja. Banyak manusia yang jahat di dunia ini, tapi hanya Zoffan yang jahatnya membuat Eya begitu sakit hati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...