Eya duduk dengan gelisah di bangku depan cermin besar. Dipandangnya wajah yang tanpa pulasan make up. Bibirnya terlihat pucat. Ia basahi berkali-kali tapi tak jua membuat warnanya kembali. Ia pukul pipinya tak kuat, sakit. Memejam sebentar, Eya pun membuka matanya perlahan. Bola matanya masih merah. Bukan merah akibat baru bangun tidur tapi karena menangis.
Huft.
"Gimana ini?"
Tangannya masih menampakkan getaran akibat petistiwa tadi. Ketika bangun dari tidur, ia dapati bercak di celananya. Walaupun sedikit tapi membuat Eya kalang kabut. Ia takut kandungannya kenapa-kenapa.
Matahari telah tergelincir ke barat. Sepertinya Eya enggak bisa pulang hari ini. Kalau dia nekat, dia bisa kemalaman di jalan. Bukan-bukan karena itu. Eya merasa cemas, ia takut nanti ia akan memasukkan dirinya beserta mobilnya ke jurang tanpa kendali. Enggak lucu. Dia tak akan memimpikan hal seperti itu lagi. Cukup Zoffan saja yang menjatuhkan ia ke jurang yang gelap.
Bagaimana kalau Zoffan tahu?
Eya harus bertanya kepada Ibu Parwati. Ya benar. Kalau dia menduga-duga sendiri apa yang sedang terjadi pada kandungannya, ia akan stres sendiri. Bertanya kepada orang yang lebih berpengalaman semoga bisa meminimalisasi kekhawatirannya.
"Ibu Par!!" Eya ketuk pintu rumah Parwati sebanyak tiga kali. Pintu pun segera terbuka bersamaan dengan kehadiran Parwati dalam setelan baju kurung berawarna abu-abu.
"Eya mau pulang Nak?"
"Bukan."
Eya menarik tangan Parwati masuk ke dalam. Lalu ia ceritakan apa yang terjadi dengannya.
"Apa itu tandanya janin Eya dalam bahaya Bu? Tapi Eya nggak apa-apa. Nggak merasakan sakit."
"Biasanya flek seperti itu karena kelelahan. Coba kita putar ulang, apa saja yang kamu lakukan beberapa hari belakangan ini?"
Eya menggaruk lehernya di balik kerudung. "Tapi Bu, Eya takut. Kita periksa yuk Bu. Ayo Bu."
"Iya, iya. Habis Maghrib saja kita ke rumah Halifah." Halifah adalah tetangga yang membuka praktek dokter tak jauh dari rumah Eya dan Parwati. "Kamu tidak berniat pulang hari ini juga 'kan?"
Eya menggeleng.
"Tunggu di sini saja, ya. Ibu resah membiarkan kamu di rumah besar itu sendirian."
Eya mengangguk. "Makasih Bu Par." Kedua sudut bibir Eya tertarik ke samping membentuk segaris lurus.
🍑🍑🍑
"Ibu Par sama Eya mau kemana?"
Zaysar Alkadri mendekati Parwati. Eya di sebelah Parwati mundur teratur dan bersembunyi di belakang wanita itu. Diremasnya ujung baju kurung Parwati.
"Kami akan ke klinik. Kamu mau apa lagi? Tidak kerja malam ini?"
"Ini juga mau berangkat lewat sini. Kebetulan melihat Eya. Bareng aku aja gimana?"
"Tidak usah. Ibu sama Eya jalan kaki juga bisa sampai dengan cepat."
Zaysar Alkadri mendekat kepada ibunya. Ditariknya tangan Eya hingga wanita itu memekik kecil.
"ZAY!" teriak Parwati.
Teriakan itu tak didengari oleh Zaysar. Ia mengamati wajah Eya dari dekat. Cahaya lampu teras rumah Parwati membuat matanya sedikit sulit menangkap warna wajah wanita itu. Namun, setelah ditelitinya dengan saksama, kedua bola mata Zaysar mengenali perubahan wajah Eya dari terakhir ia temui di pemakaman.
"Sakit? Kenapa bibirmu pucat sekali?"
Parwati menarik Eya ke sisinya kembali.
"Kamu ini! Kamu juga bisa membuat Eya tambah pucat. Kamu menakuti dia! Pergi pergi," usir Parwati.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
Narrativa generaleDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...