"Fikri haus banget."
"Astagfirullah!!"
Eya menjauhkan kepala Zoffan dengan tangannya. Dirinya begitu kaget saat lelaki itu—tanpa Eya sadari—sudah menunduk di sisinya yang tengah menyusui Fikri. Ibu baru tersebut tidak nyaman ada orang yang melihatnya.
Zoffan justru membuat genderang di dada Eya sebab lelaki itu mencium punggung tangan Eya sebelum menggenggamnya dengan hangat. Lelaki itu kembali mengawasi kegiatan Fikri di dada Eya.
"Kalau seperti ini terus dia rajin minum ASI, bentar juga udah gede. Ya nggak, Han?" tanya Zoffan tanpa menuntut jawaban. Pasalnya, ia begitu terpesona oleh bayinya.
"Namanya juga bayi. Makan, tidur, nangis, dan buang air. Pertumbuhan bayi juga nggak disangka-sangka. Sebentar lagi dia udah lari-lari aja sama temannya." Eya mengelusi pipi anaknya. Ia begitu takjub dengan tekstur lembut sang bayi.
"Eh sudah tidur." Eya memberesi pakaiannya. Ditidurkannya Fikri ke tempat tidur bayinya.
"Betul. Habis makan, udah tidur lagi. Padahal baru juga bangun."
Eya tergelak. Ia menggeleng-geleng.
"Fan."
"Hanii." Zoffan menekan kedua belah pipi Eya. "Kamu tuh kalau panggil nama aku gini, kok manis banget siiih, honey."
Eya mencubit tangan Zoffan hingga wajahnya terbebas dari lelaki itu.
"Apaan sih. Aku mau ngomong serius sama kamu."
"Aaah, apa itu? Kamu bikin aku deg-degan deh, Haniii."
Eya memelas memohon agar lelaki itu sadar. Zoffan enggak banget sih. Dia bukan seperti Zoffan yang Eya kenal.
"Okeh. Ayo kita duduk biar nyaman."
"Enggak penting. Langsung aja."
"Tuh, kamu ternyata suka enggak sabaran, ya."
"Zoffaaan!!"
"Ayo, Hani, panggil namaku sekali lagi."
"Zoff—" Eya melotot. Eya menarik napas membuang kesal akibat sikap Zoffan. "Udah bilang sama Abi buat aqiqahannya Fikri?"
"Oh, itu. Sudah. Kata Abi kita aqiqahan Fikri terus malamnya syukuran juga buat Dedek."
Eya mengangguk. Eya mengambil kartu ATM dan memberikan kepada Zoffan. "Kamu yang pegang. Jangan Abi yang ngurusi buat acaranya anak kita."
Zoffan mengembalikan kartu itu ke tangan Eya. Ia merasa lebih rendah dari istrinya? Ya. Ia tersinggung? Tidak. Zoffan mengerti maksud Eya baik.
"Enggak, Hani. Uang kamu, kamu yang simpan. Kamu enggak usah khawatir. Anak kita, aku yang harus biayain dia. Simpan aja uang kamu untuk keperluan kamu. Untuk yang pokok, aku yang pikirin."
"Aku mau bantu."
"Tidak. Aku enggak akan biarkan istriku mengulurkan tangan memberikan uang buat aku. Percaya, aku enggak pakai uang Abi."
Eya meremas jemarinya. Ia tarik napas. "Aku menyinggung kamu? Aku minta maaf," kata Eya. Ia kembali ingat bahwa Zoffan paling tidak suka saat Eya menyinggung masalah uang. Dimana Zoffan masih menadahkan tangan meminta uang kepada abinya.
Zoffan menggeleng.
"Tapi aku mau minta maaf."
"Ya udah, sih," balas Zoffan tidak mau ambil pusing. Wanita memang aneh, sudah dibilang enggak apa-apa tapi mereka masih saja merasa salah. Pekanya Eya salah tempat.
"Fan. Aku mau—" Eya menarik napas. Eya, kamu harus mulai jujur. Eya memejamkan matanya sejenak sebelum mengaku. "Fan, sebelumnya aku minta maaf sama kamu."
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...