Rintik hujan jatuh membasahi tanah hijau Sumatra Barat. Gemericik air bersahutan menyentuh hidung sang daun. Kelopak segar melati putih terbuai rinai yang jatuh mencumbu kemanisannya. Ia bergoyang gemulai diajak angin dalam hujan pagi itu.
Zoffan menyentuh kaca buram yang tirainya telah ia geser untuk memandangi riuh hujan di luar rumah. Berkali-kali saliva ia telan dan rasanya begitu perih. Ada gelombang dahsyat yang ingin memecahkan matanya hingga meniru si hujan yang mengamuk.
Pagi berhujan, semakin lumpuh perasaannya. Sepi mendekap setiap kali ia menghela napas. Ditolehkan kepalanya ke belakang, kepada putra yang setiap detik tumbuh dan berkembang. Kini, hanyalah Fikri kekuatannya. Jika Fikri tak ada, mungkin ia telah menceburkan dirinya ke samudra dan mematikan jiwa akibat kehilangan Eya.
Detik terus berjalan. Waktu telah banyak berlalu. Ikhtiar sejak dahulu tak hentinya ia usahakan. Namun, Tuhan masih belum menjawab pertanyaan, 'Di mana Eya berada?'
Yang paling ia cemaskan, ia meninggalkan Eya dalam kondisi sakit. Tubuh Eya terasa panas, sayangnya ia abaikan saja. Ia tinggalkan wanita galaknya untuk mencari putra mereka. Apa salahnya jika pada hari itu ia bawa Eya ikut dirinya?
Ah, penyesalan memang selalu datang di akhir cerita. Penyesalan selalu membuat manusia berandai-andai. Padahal, tidak ada gunanya berandai untuk kembali memperbaiki masa lalu. Manusia harus lebih keras lagi mencegah penyesalan itu datang kembali. Bukan menyesali diri seperti manusia yang ingin mati.
Zoffan belum ingin tinggalkan status sebagai manusia. Ia ingin bertemu Eya, apa pun keadaannya. Ia ingin membesarkan Fikri bersama.
"Pi... Pi... Pi... Gi!"
Gumaman kecil itu membuyarkan Zoffan yang tadi kembali menatap ke luar halaman. Ia berjalan ke arah Fikri lalu tersenyum cerah berbanding indah dengan mendungnya hari dan hati. Fikri sedang menengkurap dan melihat kepada papinya. Anak itu tengah mencoba duduk. Zoffan segera menghampiri sang putra.
"Selamat pagi, Fikri. Fi dingin, ya? Hujan gini kita enaknya main apa?" Dipegangnya tangan Fikri lalu diarahkan agar anaknya dapat mencium punggung tangannya. Bersalaman.
"Jan!" Fikri tertawa manis sekali. Hati ayah mana yang tidak terenyuh melihat anak sekecil ini harus terpisah dengan ibunya?
"Kita ganggu Nenek saja, yuk!"
Fikri kembali meniru kata-kata Zoffan kemudian mengulurkan tangannya. Zoffan menggendong Fikri menuju dapur di mana Runa sedang menyiapkan sarapan.
"Ah, cucu Nenek sudah ganteng."
Runa membersihkan tangan lalu mengelapnya sebelum mengambil Fikri dari papinya.
"Zoffan yang nata makanannya ke meja." Papi muda itu segera melaksanakan perkataannya.
Minggu yang terlalu rugi untuk dihabiskan mengenang kesedihan. Namun, apa daya pikiran Zoffan tidak sejalan dengan teori itu. Kala tangannya menyibukkan diri dengan piring-piring makanan, kepalanya berkelana membayangkan sang istri yang kini entah di mana. Terkadang ia menyumpahi diri sendiri. Ia pikir, semua ini terjadi karena kesalahannya di masa lalu. Atau memang Tuhan memperpendek perjodohan dirinya dengan Eya?
Tidak. Ini semua karena laki-laki tidak beradap itu. Zoffan sampai sekarang masih mengusahakan pencarian terhadap tersangka bajingan yang membawa lari Eya. Janjinya, jika sampai bertemu, ia akan menjebloskan lelaki itu ke penjara. Itu juga karena Zoffan mendapatkan kenyataan dari Parwati, ibu kandung Zaysar, bahwa lelaki itu aktor di balik kecelakaan ayah dan ibu Eya. Sayangnya, pencarian belum juga membuahkan hasil. Zoffan menghendaki aparat dapat meluaskan pencarian ke provinsi lain karena sepertinya jejak Zaysar tidak ada di Sumatra Barat. Ia pasti membawa Eya ke luar daerah. Harapan kini ia tumpukan kepada Tuhan. Serta kepada Eya, semoga wanitanya itu baik-baik saja dan mampu melarikan diri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...