'Membuat seseorang menyadari kesalahannya, cukup perlihatkan seberapa parah akibat dari perbuatannya. Ia tidak mampu dipaksa melakukan sesuatu jika hatinya belum menginginkan. Dia akan sadar dengan sendirinya selama dia masih manusia.'
✳✳✳
"Nomor Eya dihubungi dari semalam nggak bisa-bisa sih?""Ganti nomor kali. Bosan kamu cereweti terus-terusan."
Zoffan menyandarkan tubuhnya ke dinding kamar Radeka. Temannya itu sudah pulih dari demam. Selama Radeka sakit, Zoffan menemani Radeka dan mengenyangkan perut sahabatnya itu. Zoffan tidak memasak tentu saja. Ia membeli semua makanan itu.
"Sudah kuat?" tanyanya kepada Radeka.
Radeka mengangkat kepalanya.
"Manjat, bro!" cetusnya dan membuat semringah wajah Radeka.
Sekarang mereka berada di area wall climbing Mapala kampus. Radeka lebih cepat bersiap daripada Zoffan sebab ia merindukan olahraga satu itu. Sejak sakit dan dinyatakan positif tipus, dirinya dilarang dokter berkegiatan yang berat-berat. Merasa tubuhnya telah sangat sehat, Radeka tak akan membatasi dirinya lagi.
"Cepat, pasang helmmu, kita mulai."
Zoffan mengangguk dan menyusul Radeka.Di rumah Runa, ibu dua orang anak itu tengah bersih-bersih. Untuk menyapu bagian-bagian bawah lemari, tempat tidur, dan lain-lain, tak mungkin ia biarkan menantunya yang mengerjakan. Sejak kehamilan Eya semakin besar, membersihkan kamar Zoffan dan Eya ia yang mengambil alih. Ketika membersihkan kolong tempat tidur, keningnya mengernyit menemukan pecahan ponsel.
"Punya siapa ini?"
Runa melanjutkan bersih-bersih dan membuang pecahan ponsel menggunakan pengki. Ia tidak menyadari bahwa sim card ponsel tersebut terbawa ke tong sampah.
"Ya, itu handphone—"
"Enak. Batagor ini Umi beli dimana?"
Beberapa hari Eya merasakan seleranya dimanja banget. Uminya membeli makanan yang enak dan itu memang sesuai seleranya. Makan Eya jadi lahap. Kalau tak ingat ia harus jaga makan agar anaknya lahir normal, Eya akan minta dilebihkan porsinya. Tapi begini saja ia sudah senang. Hari ini beda lagi. Kalau kemarin Eya makan soto medan yang lezat, sekarang ia makan batagor.
"Oh itu, kamu suka, ya?" Runa duduk di samping Eya.
"Suka dong, Umi. Makasih ya," senyumnya.
"Umi enggak tahu itu belinya dimana. Yang beli 'kan suami kamu."
Eya terbatuk. Segera ia ambil gelas dan minum dengan cepat.
"Abang yang beli? Kapan dia pulang? Udah boleh pulang sama Abi? Emang dia enggak diizinkan pulang kenapa, Umi?" Eya terlalu menikmati batagor hingga tak sadar pertanyaannya beruntun.
"Biasa. Dia sama Abi memang seperti itu. Sejak kecil memang sudah sering dihukum tapi nggak berubah-ubah malah semakin menjadi."
Eya membenarkan dalam hati. Tak heran lagi kalau yang diceritakan uminya saat ini adalah Zoffan. Zahfiyyan terlalu sempurna jika dibandingkan Zoffan. "Aw, Umi, ini batagornya dikasih apa? Perut Eya sakit sekali."
"Sakitnya gimana?"
Eya menggeleng. "Udah nggak sakit lagi, kok. Padahal nggak pedas banget," katanya sambil menghabiskan batagor kembali. Eya minum air putih sebanyak hari-hari biasanya. Namun, kemihnya terlalu sempit hingga ia sering ke kamar kecil untuk buang air.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...