Peluk guling sebelum membaca.
❤❤❤
Eya menggeleng-geleng dalam keadaan mata terpejam. Kedua tangannya begitu erat meremas bed cover. Napasnya berlarian bagai ada yang memburu dengan senapan di tangan. Padahal ia tidak belari. Ia berbaring di tempat tidur yang nyaman—tempat ia tidur setahunan ini. Harusnya ia tenang. Namun yang terjadi, keringat membasahi pelipisnya. Bayangan-bayangan gelap terputar di memori. Eya rasa ia telah menjerit keras tetapi tidak ada yang datang menolong. Pedih dan perih di pusat dirinya seperti akan membawa ia mati. Eya menjerit lagi tetapi mulutnya dikunci. Ia menggeleng-gelengkan kepala lagi. Teriakan demi teriakan yang ia lakukan percuma.
"Ey, bangun. Kamu bikin aku khawatir."
Eya membuka mata. Sepasang mata teduh menatapnya dengan sorot cemas. Eya melihat keadaan tubuhnya. Ia hela napas keras sebab dirinya masih berpakaian utuh. Itu artinya, yang tadi ia alami tidak benar-benar terjadi.
"Enggak apa-apa kalau kamu belum siap." Zoffan menyelipkan rambut di telinga Eya. Lelaki itu sedikit menjauh untuk duduk di ujung tempat tidur.
Beberapa menit yang lalu, Eya begitu percaya diri menerima ajakan Zoffan untuk ibadah sebagai pasangan suami istri. Sebagai istri, tentu Eya tidak menolak Zoffan. Namun, saat Zoffan mulai membisikkan puji-puji dan rayuan sembari memujanya di beberapa titik, ketakutan itu menyerang kepala Eya. Eya merasa ngilu di sekujur badan dan perih di beberapa bagian yang pernah mendapatkan kekerasan.
Sebutir air mata yang mengkristal lalu mencair dan meleleh ke pipi Eya. Rasa hangat menggaris di wajahnya. Usapan lembut dirasakan Eya pada pipinya. Eya yang tak sadar telah memejam kini melihat kembali.
"Maafin aku." Eya menjauhkan tangan Zoffan dari wajahnya. Ia menarik napas panjang. "Aku siap. Aku siap, sekarang."
Mungkin dulu pengaruh hormon kehamilan yang menyebabkan kepala Eya tidak memutar kejadian mengerikan itu di kepalanya. Waktu itu, alih-alih ingat trauma—kalau bisa disebut trauma—Eya justru membutuhkan Zoffan bagai manusia butuh udara untuk bernapas. Rasanya ia begitu rakus mengharapkan Zoffan melakukannya terhadap Eya. Namun, lelaki itu tidak melakukannya. Eya merasa sakit sekaligus malu. Bisa-bisanya Eya merasa seperti itu.
Lalu kenapa sekarang ia harus mengingat malam sialan itu saat dirinya telah berniat menyerahkan dirinya secara utuh kepada Zoffan?
"Fan, bisa kamu ceritakan hal-hal menarik padaku?"
Eya menarik tangan Zoffan hingga lelaki itu berbaring di sebelahnya. Ia merentangkan dan menjadikan tangan kiri lelaki itu sebagai bantal kepalanya. Eya menyamping agar dapat melihat wajah Zoffan. Dari samping Zoffan terlihat berbeda. Ia terlihat tiga kali lipat lebih memesona.
Zoffan menautkan jemari kanannya dengan jemari Eya. Lelaki itu mengambil napas. "Aku suka dengan bayi. Hidup menjadi anak tunggal secara paksa—"
"Kamu bukan anak tunggal. Masih ada Bang Fiyyan."
"Dengarin dulu aku cerita. Tadi siapa yang minta didongengin?
Aku anak tunggal sejak umur dua tahun karena Bang Fiyyan diasuh oleh Mami Rana. Umi tuh enggak seheboh Mami Rana jadi aku merasa kesepian tinggal di rumah."
Eya merapatkan tubuhnya mencari posisi yang lebih nyaman. "Bukannya Mami Rana sudah ada anak. Tayara. Kenapa Bang Fiyyan diambil oleh beliau?"
Bibir Zoffan menipis. Ia menoleh ke samping hingga menyisakan jarak beberapa sentimeter dengan Eya. Jantung Eya berdetak keras. Pandangannya terkunci oleh manik Zoffan yang menatap ia secara tajam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Crazy Revenge (Ful Bab)
General FictionDendam mengawali semuanya. Hujan, hitam, dan pekat. Malam dan hujan menyatukan mereka secara paksa. Dapatkah mereka keluar dari carut marut perasaan dendam yang tak berkesudahan? Hingga suatu hari, cinta mendatangi kediaman mereka. Dapatkah merek...