Ponselku hampir saja terlempar saat tiba-tiba Radika melakukan sambungan telepon. Aku tuh paling nggak suka telponan, rasanya risi dan bikin canggung. Belum lagi pasti nanti bakalan ada momen bingung mau ngebahas apa lagi.
Haish. Tapi, kalau aku nggak mengangkatnya, pasti dia tahu kalau aku sedang menghindarinya. Jujur saja aku takut. Padahal kalau dilihat-lihat, jika Radika memang benar-benar serius, seharusnya aku senang dong kalau ternyata perasaanku akhirnya terbalas juga?
Angkat. Enggak. Enggak. Angkat. Angkat. Angkat. Enggak. Enggak. Angkat.
Oke. Aku angkat.
Aku menggeser bulatan hijau di layar ponsel, lalu mendekatkannya ke arah telinga. Ogah banget kalau harus loudspeaker, bisa-bisa mamah dan ayah mendengarnya. Apalagi kalau ada adik, bah. Bisa mulai perang dunia ketiga.
"Assalamualaikum."
Aku nggak langsung menjawabnya. Entah kenapa aku tiba-tiba terhipnotis hanya karena mendengar suaranya setelah sekian lama.
"Sam?"
"Eh, iya, wa'alaikumsalam ..."
Terdapat jeda singkat di antara kami berdua. Tuh 'kan! Aku bilang juga apa! Rasanya jadi canggung begini. Tapi ini 'kan dia yang menelpon duluan, seharusnya dia bisa membawa suasana, dong?
"Menurut lo, gue orangnya nggak pernah serius, ya?" tanyanya dengan nada pelan, yang entah kenapa membuatku merasa bersalah sebab sudah menilainya seperti itu.
Cuma ... apa ya? Jujur saja, aku memang takut jatuh di lubang yang sama, sehingga yang bisa kulakukan memang hanya membentengi diri sendiri. Yang membuatku sampai seperti ini 'kan memang dia. Jadi, ini sepenuhnya bukan salahku dong jika aku meragukan keseriusannya?
Tapi, mendengar nada vokal Radika yang seperti itu, sepertinya dia memang sedang tidak main-main.
"Kenapa harus gue?" Akhirnya aku menjawab juga, kendati sebenarnya menjawab dalam bentuk pertanyaan.
Padahal, kami sudah cukup lama tidak saling mengontak satu sama lain. Bukankah persenan bakalan lebih besar jika dia memilih untuk menikahi teman kerjanya dibanding aku yang bahkan hanya pernah menjadi teman belajarnya saat SMA?
"Sam. Di dunia ini ada beberapa hal yang kita nggak punya jawabannya, salah satunya tentang yang lo tanya tadi. Gue emang nggak punya jawabannya, tapi gue punya firasat tentang lo bahwa oh, she's the one."
Sialan. Bahkan di saat dia tidak memiliki alasan, jawabannya itu tetap dapat mendebarkan hatiku. Memang dasar hati bihun!
"Yeee! Masa gitu?" balasku dengan nada skeptis, kendati sebenarnya aku sedang berusaha menenangkan debaran jantung.
"Tuh 'kan nggak percaya lagi," desahnya pelan. "Ini gue boleh dateng ke rumah lo aja, nggak? Biar lo percaya kalau gue emang serius."
"Eh, jangan, jangan!" sahutku panik.
"Kok jangan?"
"Iya, gue percaya, percaya kok," ucapku pada akhirnya.
Tercipta kesunyian beberapa detik. Sepertinya sekarang malah dia yang ragu dengan ucapanku.
Sumpah. Walaupun ada kalanya secara kebetulan aku ingin sekali menemuinya atau paling tidak melihatnya secara sekilas, tapi kurasa itu bukan sekarang. Aku nggak mau ketemu sama Radika. Entah kenapa rasanya menakutkan. Aku belum siap.
"Oke. Berarti niat gue diterima, ya?" Aku hanya balas dengan berdeham. "Alhamdulillah. Sam lagi apa?"
"Sebenernya tadi gue baru mau tidur, sih," balasku jujur. Tapi, setelah mendapat shock therapy dari Radika, siapa juga yang bisa kembali menjemput lelap? Mataku berasa disiram air cuka begini.
KAMU SEDANG MEMBACA
UNEXPECTED [✔]
Lãng mạnSetelah delapan tahun tidak pernah lagi berjumpa, nyatanya hatiku masih berdebar pada pria yang sama.