[21]

511 70 0
                                    

"Ooooh, jadi selama ini kalian main di belakang gue?"

Aku terlonjak kaget begitu mendengar suara yang sangat familiar di runguku, begitu pula dengan Radika. Saat melihat sosok yang kukenali tengah berkacak pinggang sembari melotot ke arahku dan Radika, aku hanya bisa menutup mulut; tak berani mengatakan apa pun.

Berasa kayak lagi ketahuan selingkuh.

Tanpa berbasa-basi, Melia menarik kursi dan melempar bokongnya untuk duduk di sana. Posisi wanita itu tepat di antara aku dan Radika yang berseberangan; bak sedang melakukan pengadilan.

"Coba jelasin, jelasin," tuntut wanita itu dengan nada yang menahan kesal; membuatku semakin menciut. "Yang, duduk di sini aja, ya? Ini temen-temenku. Kamu pasti inget 'kan yang kemarin dateng ke acara kita?"

Setelah mengucapkan hal tersebut, aku bahkan baru sadar kalau Melia datang ke tempat ini bersama calon suaminya. Aku hanya bisa memberikan senyuman tipis saat menoleh ke arah pria tersebut.

Namun sepertinya calon suami Melia tampak ragu. "Ng ... Aku nunggu kamu ngobrol dulu aja, nggak enak juga kalau tiba-tiba langsung nimbrung. Aku duduk di sana, ya."

"Ya udah, tungguin sebentar ya. Aku nggak akan lama kok."

Setelahnya, mata Melia kembali menindai kami berdua, macam sedang ingin diintrospeksi sama polisi. Duh, kenapa Melia bisa tiba-tiba ada di sini, sih? Waktunya benar-benar nggak tepat!

Sekarang aku malah ditatap oleh Radika. Anehnya, pria itu malah menampangkan raut santainya, seolah dia tak peduli kalau rencana pernikahan kami terbongkar lebih awal.

"Mau lo apa gue?" tanya pria itu dengan nada kalem.

"Hah?"

Radika hanya mengangguk sekilas, membuatku semakin bingung. Setelahnya bahkan dia beranjak dari kursi dan menoleh ke arah Melia.

"Gue kasih waktu buat lo berdua, ya. Kalau gue yang ngomong lo pasti nggak bakalan percaya," katanya sambil menepuk pundak Melia dan kemudian pergi meninggalkan kami berdua.

Lagi dan lagi, aku mendapatkan laseran mata dari Melia. "Ayo, Samsudin. Jelaskan apa yang gue lihat hari ini. Kenapa lo bisa berduaan sama Radika? Dan ..." Melia menarik tangan kiriku. "Cincin apa ini? Cincin ini nggak mungkin hadiah dari bungkus ciki, 'kan?"

Sebenarnya, tanpa kujelaskan dengan detail, seharusnya Melia sudah paham. Hanya saja, sepertinya dia memang butuh pengakuan langsung dari mulutku. Sehingga, apa yang dia pikirkan tentangku dan Radika merupakan hal yang valid.

Tapi, jujur saja sekarang aku nggak bisa menatap wajahnya. Perasaan bersalah sejak zaman sekolah dulu masih saja menyelimutiku.

"Mel ... maafin gue ..."

"Ya, ya. Lo memang harus banyak sungkem ke gue."

Aku menghela napas. Aku bahkan nggak tahu mau bilang apa lagi. Intinya sih sebenarnya aku ingin bilang bahwa aku dan Radika ingin menikah. Sudah, itu saja. Kenapa jadi aku yang ribet sendiri?

"Gue ... Gue minta maaf, gue nggak bermaksud--itu Radika, aish, maksud gue nanti--aduh, tapi dulu gue--"

"Lo mau ngomong apa, sih?" timpal Melia dengan nada yang kesal. "Ngomong yang bener kenapa. Gemes gue sama lo."

"Ya tapi sebenernya lo juga udah tahu 'kan tanpa gue kasih tahu sebelumnya?"

Melia berdecak dan menyandarkan kunggungnya pada kursi. Setelah itu dia menyilangkan kedua tangannya di depan perut. "Dari awal gue emang udah curiga, apalagi pas ngelihat kalian berdua di sini. Tapi gue mau lo yang langsung ngomong, biar jelas. Ayo cepet," paksa wanita itu.

"Tapi ... lo nggak marah 'kan?"

"Siapa yang nggak marah?!" Melia sedikit meninggikan suaranya, membuatku tersentak. "Lo berdua mau nikah tapi gue nggak dikasih tahu?! Siapa yang nggak marah?!" beo wanita itu lagi.

Tuh, 'kan. Dia sudah tahu. Aduh ... Gini nih kalau Melia marah. Bikin sakit di telinga. Si Radika mana lagi, aku malah ditinggal sendirian. Awas saja nanti!

"Kalian berdua tuh ya ... ergh! Sama-sama nyebelin," ucapnya ketika selama beberapa detik kami saling terdiam. "Kenapa lo berdua nggak ngasih tahu gue, sih? Sakit hati tahu gue. Sahabat macam apa lo berdua?"

"Nggak gitu, Mel ..."

"Nggak gitu gimana?" sambar Melia tak sabaran. Gini nih menghadapi orang yang sumbunya pendek.

Aku menghela napas dengan pelan. "Bukannya kita nggak mau kasih tahu elo. Lagi pula, memang belum ada yang tahu kecuali keluarga kita berdua."

"Terus lo mau kasih tahu pas kapan ke guenya?"

Kali ini aku berdecak. "Dengerin gue dulu, ish. Potongnya nanti aja, sih. Gue manusia, bukan kue yang bisa dipotong-potong."

"Ya udah, buruan lanjut."

Aku kembali menghela napas, dan aku masih belum berani menatap Melia. "Sebenernya gue nggak mau kasih tahu elo dari awal karena ... gue ngerasa bersalah sama lo, Mel. Maaf ... kalau kesannya gue kayak ngerebut Radika dari elo ... Nusuk elo dari belakang ... Karena alasan itulah gue nggak berani bilang ke elo. Gue takut ... kalau gue bilang ke elo, persahabatan kita bakal putus."

Melia menutup kelopak matanya sambil memijat pelipisn dengan gerakan pelan. "Elo orang tergoblok yang pernah gue temuin."

"Hah?"

"Iya. Tolol. Bego. Goblok. Stupid. Ever."

"..."

"Lo pikir dari dulu gue nggak tahu kalau lo suka sama Radika?"

"Hah?"

Melia berdecak. "Tuh, 'kan. Gobloknya keluar lagi."

"Lo bilang apa barusan?"

"Goblok. Gue tahu kalau dari dulu elo suka sama Radika. Lo pikir lo bisa nutup-nutupin dari gue?"

Aku mengempaskan punggung pada sandaran kursi, menghela napas tak percaya. "Terus?"

"Apanya yang terus? Nabrak?" Aku berdecak. Melia kembali meneruskan ucapannya. "Gue nunggu elo cerita, tapi bahkan sampai detik tadi pun lo masih nggak mau cerita, dan tiba-tiba aja lo berdua mau nikah. Just what the fuck duuuuude? Lo mau ngagetin gue lagi dengan bilang lo berdua udah punya anak? Apa salahnya sih Sam jujur sama gue? Gue 'kan sahabat lo. Iya, 'kan?"

"..."

Melia menghela napas. "Dan sebenernya, harusnya gue yang minta maaf. Maaf karena dulu gue terlalu egois. Gue tetep bilang suka sama Radika di saat gue udah tahu kalau lo juga suka sama Radika," kali ini nada suaranya lebih rendah. "Maaf kalau ternyata sampai sekarang lo masih menyimpan rasa bersalah itu. Gue ... minta maaf."

Aku memegang tangannya. "Aduh, Mel. Jangan minta maaf terus, dong. Ini salah gue juga kok ..."

"Emang!" Aku kembali dibuat tersentak olehnya. "Kurang ajar emang ya lo berdua! Kampret bener, mau nikah aja pakai sembunyi-sembunyi. Lo pikir ajaran sesat yang perlu sembunyi-sembunyi?!"

Hah ... balik lagi Melia yang dulu. Namun, kali ini aku bisa tersenyum lega, karena apa yang selama ini kusimpan rapat nyatanya terasa sia-sia.

Satu hutang pun terlunaskan.

[***]

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang