[18]

571 72 4
                                    

Aku dan Radika sudah berunding mengenai budget. Kami berdua sepakat untuk tidak mengikutsertakan orang tua; alias budget pernikahan hanya berasal dari kantung kami sendiri. Salah satu alasannya adalah kami hanya ingin mengundang teman-teman terdekat saja, termasuk orang-orang penting yang berada di wilayah rumahku dan Radika.

Kami juga sepakat untuk menggunakan jasa katering dan menyewa wedding organizer untuk membantu lancarnya acara pernikahan nanti.

Hari ini aku dan Radika sedang dalam perjalanan untuk mengecek venue yang telah direkomendasikan salah satu temanku. Sejujurnya aku memang pernah ke sini, tentu saja saat temanku tersebut mengadakan resepsi pernikahan.

"Di sini ya tempatnya?" tanya Radika setelah menghentikan laju motor.

Aku menganggukkan kepala sebagai jawaban. Selanjutnya, aku turun dari motor dan membuka gerbang yang hanya terbuka sedikit tersebut. Sebelumnya aku memang sudah membuat janji dengan sang pemilik untuk mengecek tempat ini.

Setelah membuka gerbang, ternyata terdapat seseorang yang sedang menyapu sisi jalanan. Langsung saja kuhampiri pria tersebut. "Misi, Pak. Bapak Joe-nya ada?"

"Bapak Joe lagi di luar kota, Mbak," aku mengernyitkan kening. Padahal tadi Pak Joe bilang langsung ke sini saja untuk sekadar melihat-lihat. "Mbaknya udah janjian sama Pak Joe?"

"Udah kok, Pak. Kemarin kata Pak Joe saya bisa langsung ke sini, karena rencananya saya mau buat acara di sini."

Pria itu manggut-manggut. "Adanya sih anaknya Pak Joe yang lagi di sini. Mungkin udah dititipin juga sama beliau. Sebentar ya, Mbak. Saya panggilin dulu orangnya."

"Oke deh, Pak. Makasih."

"Itu Mas-nya disuruh parkir di dalem aja, Mbak."

"Oooh oke, siap Pak."

Selanjutnya aku kembali menuju Radika, menyuruhnya untuk membawa motor parkir di dalam; sesuai dengan perintah bapak-bapak tadi.

"Bapak Joe-nya ada?" tanya Radika setelah pria itu mematikan mesin motor dan melepas helm.

Aku pun menggeleng. "Katanya Pak Joe lagi keluar kota. Nanti kita ketemuan sama anaknya."

Tidak lama kemudian, bapak yang tadi datang kembali bersama seseorang yang lebih muda darinya. Seketika aku merutuk dalam hati.

Sialan.

Astaghfirullah!

Istighfar lo, Sam!

"Lho? Samara?"

Aku tidak langsung menjawab, melainkan memasang senyum terpaksa. Mau berusaha untuk saling nggak kenal satu sama lain ... tapi orang itu sudah menyebut namaku terlebih dahulu. Sialan! Kenapa dia ada di sini sih?!

Eh, sebentar ...

Tadi 'kan kata bapak itu dia bakalan memanggil anaknya Pak Joe. Itu artinya ... Farhan anaknya Pak Joe? Anak yang punya tempat ini?

Apa aku pura-pura mules saja? Pura-pura pusing? Atau pura-pura kesurupan sekalian sambil makan beling?!

Oke ... Santai, Sam. Santai. Dia hanyalah halaman lama, nggak perlu dibuka atau bahkan dibaca-baca lagi.

"Udah lama banget nggak lihat kamu. Kamu sehat?"

Langsung saja kudapati lirikan heran dari pria di sampingku ini. Pasalnya ... kenapa Farhan harus menggunakan kata 'kamu' padaku sih?! Aku yang mau menikah dengan Radika saja masih menggunakan bahasa gue-elo.

"Eh? Hmm ... Alhamdulillah sehat," aku masih menampakkan senyum paksa. Maaf-maaf saja ya, bahkan sekarang rasanya aku ingin kabur. "Lo gimana? Sehat juga, 'kan?"

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang