[7]

828 94 0
                                    

Radika menampakkan raut wajah yang ... aku sendiri tak bisa membacanya. Apakah dia kecewa? Aduh... kenapa harus salah paham lagi, sih?

"Nggak, kok, tenang aja," balasnya dengan nada kalem. "Gue selalu siap kapan aja, kok. Bahkan, kalau lo mau ngenalin gue ke bokap nyokap lo malam ini, gue pasti sanggup."

"Heh!" Aku melotot ke arahnya, Radika pun tertawa.

"Iya, iya. Bercanda. Kapan pun lo siap, gue selalu siap."

Aku pun lega mendengar ucapannya barusan. Setidaknya dia mengerti dengan keadaanku, dan aku pun tidak mau terkesan terlalu terburu-buru.

"Oh, ya," Radika kembali membuka obrolan. "Katanya tadi mau meet up sama Melia, kok malah ngajak gue makan?"

Tanpa sadar aku mendengus gelisah. Aku sendiri masih bingung, ingin menguak udang di balik batu atau membiarkannya begitu saja. Tapi ... mau gimana pun, sepertinya Radika berhak tahu. Mungkin saja setelah kuberitahu dia akan memberikanku solusi.

Dulu, kita bertiga 'kan saling berteman.

Dulu. Iya, dulu.

"Kenapa?" balasku dengan nada judes. Sengaja, mau ngulur-ngulur pembicaraan. "Nggak mau gue ajak makan?"

"Oooh jadi malem ini traktiran nih? Aseeeeek."

Aku pun berdecak sebal. "Jadi, mau ditraktir nih?"

"Siapa coba yang nggak suka gratisan? Aji mumpung dong."

"Iya, iya. Gue traktir."

"Iya, iya. Gue traktir."

Aku melotot ke arahnya saat pria itu membeo ucapanku.. "Ih! Kok nyebelin!"

"Ih! Kok nyebelin!"

Radika terus saja mengikuti ucapanku. Pasalnya, dia sengaja membeo sembari menye-menye. 'Kan nyebelin!

"Iiih! Seriuuus!"

"Iyaaa! Apanya yang seriuuuus?"

"Rad!" Aku menyilangkan kedua tangan. "Fix! Nyebelin lo nggak pernah ilang!"

Radika pun tertawa. "Nyebelin tapi sayang, 'kan?"

Aku langsung memperagakan orang muntah. "Serius, nih, ada yang mau gue omongin."

"Jangan serius-serius, ah. Nanti cepet tua," katanya dengan nada bercanda lagi.

Ingin balik kusemprot, tetapi tiba-tiba waitress datang membawa makanan pesanan kami. Kalau saja pelayan itu nggak datang, pasti kami masih adu mulut yang nggak jelas apa penyebabnya. Padahal cuma gara-gara Radika nyebelin doang. Sudah itu titik. Nggak pakai koma.

"Mau makan dulu apa ngomong dulu?"

"Dua-duanya sekalian," balasku dengan nada kesal.

"Oke. Jangan lupa doa dulu ya, Sam. Masih inget 'kan doanya apa? Jangan baca bismika allahumma ahya wa bismika ammut."

"Iiiiiish!"

Akhirnya kami memilih untuk menyantap pizza terlebih dahulu, kemudian aku memberanikan diri untuk mengungkapkan sesuatu yang sampai saat ini masih kupendam sendiri.

"Ini ... soal Melia," kataku dengan nada pelan.

Radika menaikkan salah satu alisnya, seperti melemparkan pertanyaan 'kenapa?'. Tanpa perlu mendengarkan balasan darinya, aku kembali berbicara.

"Lo tahu kan kalau kita bertiga; gue, elo, sama Melia temenan dari zaman SMA." Radika masih menyimak ucapanku. "Tapi ... gue takut, Rad. Gue takut ngasih tahu tentang 'kita' ke dia. Gue takut dibilang 'makan temen' karena ..."

UNEXPECTED [✔]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang